Bukan Gadis Biasa

Leona duduk di sofa besar, sedangkan di kiri, kanan dan depannya sudah ada sembilan sepupu laki-lakinya serta tiga saudara kandung Leona sendiri.

Sabara tertawa lebar melihat putrinya yang kebingungan. Sejak dulu memang selalu begitu. Dia senang putrinya selalu dikelilingi oleh para sepupunya.

Sabara sendiri memiliki empat orang saudara kandung. Sabiru Subroto 62 tahun, merupakan paman pertama Leona. Dia memiliki dua anak yang bernama Haidar (33) dan Harsa (31) lalu ada Tama Subroto 60 tahun, merupakan paman kedua Leona, beliau memiliki tiga orang anak. Yang pertama bernama Satya (30), lalu ada Seno (28) dan Hafid (25).

Lalu yang terakhir ada paman keempat Leona yakni Byakta Subroto, usianya (56) dia memiliki empat orang anak, Yakni Arjuna (28), Davino (27), Lucky (26) dan yang terakhir Gio (25). Paman keempat Leona ini memang agak lain dulu sangking takutnya ditinggalkan pergi sang istri, sampai-sampai setiap tahun istrinya dibuat hamil.

"Jadi kamu belum tahu beritanya? Oh, ini pasti karena Leon sudah keluar dari grup WA keluarga. Makanya dia tidak tahu. Tadi pagi kakek Wira mengirim pesan. Kita semua disuruh berkumpul untuk ikut menyeleksi calon suami kamu," ucap Lucky, pemuda itu tampak senang karena bisa bertemu dengan sepupu perempuannya.

Leona menengadah, menatap papinya dengan wajah penuh tanda tanya. "Bener, Pi?"

"Papi juga belum tahu jelasnya. Sebaiknya kita tunggu kakek saja."

"Pokoknya kalau beneran aku dijodohin, aku ga bakal mau pulang." Leona memberengut kesal. Dia melipat kedua tangannya di depan dada.

"Aduh Leona, Sayang, jangan marah. Info yang sampaikan oleh kakek belum tentu benar. Apalagi kamu cucu perempuan satu-satunya di keluarga ini. Kakek tidak akan dengan mudahnya menjodohkan kamu," ujar Haidar.

Meski Haidar sudah menikah, tapi rasa sayangnya pada Leona tidak pernah berkurang. Bagi pria itu, baik istrinya, ibunya dan Leona memiliki tempat tersendiri di hatinya. Bahkan Haidar pernah berkata pada istrinya agar tidak cemburu pada Leona yang selalu mendapat perhatian dari seluruh keluarga.

"Iya, apa yang Mas Haidar katakan benar," sahut Lucky dan sepupu-sepupu Leona yang lainnya mengangguk setuju.

"Ayo, makan malam sudah siap. Segera ke taman." Suci, istri Haidar masuk dan memanggil semua orang.

Semuanya langsung bangkit, namun tidak ada satupun yang beranjak sebelum Leona melangkah terlebih dahulu. Agak lebay, memang, tetapi begitulah para keturunan keluarga besar Subroto mengistimewakan Leona.

Di taman kediaman Subroto sudah di sulap seperti perjamuan besar. Beberapa meja ditata memanjang dan di atasnya terdapat menu makanan dari western maupun masakan nusantara. Semua duduk mengelilingi meja. Mereka makan sambil sesekali mengobrol santai.

Leona cemberut tiba-tiba, dia menatap piringnya dengan kesal. Bagaimana tidak, para sepupu yang ada di kiri, kanannya berlomba memberi dia lauk kesukaannya. Alhasil sekarang diatas piringnya telah menggunung lauk pauk beraneka macam.

"Apa kalian pikir aku b*bi?" tanya Gadis itu. Semuanya terkekeh.

"Biar kakak bantu menghabiskannya," ucap Alexiuz yang sudah berdiri di samping Leona. Leona menggeser duduknya. Sekarang dia berbagi kursi dengan Alexiuz. Semua orang memandang keduanya dengan wajah penuh senyuman.

"Oh, ya, Paman, ku dengar kemarin yang menculik Leona adalah Abizar Widjaja itu ya?" tanya Harsa. Leona yang sedang disuapi oleh Alex tiba-tiba menoleh.

"Ya. Dia orangnya," jawab papi Sabara tak Acuh.

"Lalu, apa kita akan diam saja?" Haidar ikut melontarkan pertanyaan. Namun, kali ini pertanyaan itu berhasil membuat wajah seluruh anggota keluarga mereka masam. Bagaimana mungkin diam saja.

"Seharusnya kakek sudah bergerak," ucap Napoleon sembari mengiris sepotong steik daging domba.

Leona terdiam, dia jadi merasa iba pada Abizar. Dia menatap seluruh anggota keluarganya sebelum akhirnya berbicara. "Ehm, sebenarnya kalian tidak perlu melakukan apapun padanya. Dia juga tidak menyakitiku sama sekali," kata Leona.

"Iya, bagaimana pun juga dia rekan bisnisku. Akan sangat canggung jika-"

"Dari kemarin kamu membelanya, Huh?" Napoleon mendengus. Entah siapa yang sedang dia tegur, tapi yang jelas ucapan itu membuat Leona merasa sedih.

Bukan dia tidak tahu tentang kekhawatiran keluarganya. Hanya saja Abizar bukan penjahat yang perlu mendapat hukuman.

Apalagi Leona juga baru tahu jika Abizar itu, adalah Abizar yang sama dengan Abizar yang dulu sering diam-diam memperhatikannya. Leona sebenarnya tahu, hanya saja dulu dia masih sangat polos dan mengira jika Abizar hanya sedang sekilas melihatnya.

Leona terdiam menatap semua saudaranya. Mama Wulan menyadari kesedihan Leona, segera bicara. "Siapa yang kamu tuduh membela keturunan Widjaja itu?"

"Siapa lagi, Ma? Mama dengar sendiri 'kan, Alex selalu membelanya."

"Tapi kamu membuat sedih Leona," ujar mama Wulan.

Leona bangkit dari kursinya dan berujar, "Aku sudah kenyang, aku mau kembali ke kamar."

Papi Sabara hendak mengatakan sesuatu, tapi Leona sudah buru-buru pergi meninggalkan perjamuan malam itu.

"Leon, aku harap kamu bisa bicara sedikit lembut," kata Satya.

"Sudah, sudah. Kalian jangan malah berdebat. Yang perlu dipikirkan adalah menyikapi masalah ini," kata Sabiru, kakak pertama papi Sabara.

"Maksud papa apa?" tanya Harsa.

"Kalau papa lihat, sepertinya Leona memiliki perasaan pada pria itu," kata Sabiru dengan pandangan yang begitu mantap dan penuh keyakinan

"Itu ga mungkin," ujar Napoleon dan hampir semua sepupunya ikut bersuara. Mereka tidak terima jika sepupu dan adik kesayangannya menyukai seorang pria.

Papi Sabara memijat pangkal hidungnya. Dia merasa pusing juga saat mendengar pendapat dari kakaknya.

"Kalian ini kenapa? Leona sekarang sudah tumbuh menjadi gadis yang luar biasa. Tidak mungkin dia akan terus melajang sepanjang hidupnya," ucap Inayah, istri Sabiru.

"Iya, lagi pula kasihan Leona jika kalian terus menerus bersikap posesif seperti ini. Sesekali tanyakan padanya, apa keinginannya? Apa yang dia rasakan jika kalian bersikap seperti ini padanya? Apakah dia nyaman atau tidak. Setidaknya cari tahu," timpal Sakinah, istri dari Tama, kakak kedua papi Sabara.

Semua menghela napas panjang. Perjamuan makan semula yang dibayangkan akan berlangsung menyenangkan kini terasa sedikit tegang.

"Tapi laki-laki itu tidak normal, Tante," ucap Napoleon.

"Maksudnya?" tanya Sakinah heran.

"Dia itu pedof*l. Dia sudah menyukai Leona sejak Leona sekolah dasar. Usia mereka terpaut lima hampir enam tahun, Tante."

Sabiru dan Byakta berdehem. "Jadi apakah paman Biru dan paman Byakta tidak normal juga, Leon?" Byakta yang sejak tadi duduk di samping istrinya dan menjadi pendengar tiba-tiba bersuara.

Kriik, kriiik, kriik

Suasana mendadak hening dengan pertanyaan Byakta. Bagaimana tidak? Semua keluarga tahu jika Sabiru dan Inayah memiliki perbedaan umur hampir 10 tahun, sedangkan Byakta dan istrinya Nurma memiliki selisih usia tujuh tahun.

Napoleon tiba-tiba terhenyak. "Tapi ini beda, Paman."