Seorang gadis yang selalu mengeluh tentang hidupnya yang membosankan tiba-tiba saja di transmigrasi ke sebuah dunia antah berantah, menguak rahasia besar yang selama ini ia lupakan.
Penyerangan yang tiba-tiba membuat dirinya mau tidak mau harus meninggalkan seseorang yang menarik perhatiannya saat ia tiba.
Akankah gadis itu berhasil menguak identitas yang ia lupakan? Bisakah takdir mereka menyatu kembali? Apakah benang merah mereka mengkhianati mereka?
⚠️Perubahan pov akan terjadi untuk mendukung cerita, harap teliti agar tidak terlewat dan bingung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iyan al, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pangeran kedua, Xian
"Tuan muda, sudah aku peringatkan untuk CEPAT BANGUN!"
Bagai sebuah petir di tengah hari, teriakan itu berhasil membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat daripada biasanya.
Suara itu diakhiri dengan sebuah tendangan yang mendarat di punggungnya, sontak saja tubuh pemuda terguling jatuh dari kasur empuk yang ia tiduri hingga bunyi "BUG" terdengar sangat kencang.
Pemuda itu meringis setelah merasakan badannya terasa ngilu, tangannya mengelus sumber ngilu di pundaknya sedangkan matanya melihat sekeliling yang terasa familiar. Ruangan itu luas namun terasa sangat kosong, hanya berisi sebuah kasur yang besar berlapis kain putih yang menutupi kasur tersebut. Di samping kasur terdapat sebuah meja berukuran sedang yang di atasnya terdapat tumpukan-tumpukan perkamen berwarna coklat, ada juga gulungan bambu berbagai ukuran yang terletak di ujung meja.
Fokusnya beralih keatas kepala kasur, di sana terpajang sebuah lukisan besar yang terbingkai dengan rapih. Lukisan itu dominan warna merah dan coklat kayu, seperti pemandangan hutan mapel yang di sisi kirinya terdapat dua orang pemuda dan seorang wanita. Garis-garis merah terlihat samar di lukisan itu, seperti ada hujan darah yang membasahi ketiga orang itu.
"Auh! Bukankah sudah kubilang berhenti menendangku, Arius!"
"Selamat datang, omong-omong aku kemari untuk meneruskan pesan dari pengadilan." Ucap Arius acuh tak acuh, tangan kanannya memegang gulungan kertas yang masih tersegel. Dia mendekat ke arah nakas dan melempar gulungan kertas itu ke nakas.
Arius memerintahkan beberapa pelayan yang berjaga di luar kamar untuk mengambilkan makanan untuk pemuda itu.
"Oh benar, aku sudah kembali." Pemuda itu berjalan ke arah jendela besar yang ada di belakangnya, kedua tangannya dengan ringan membuka tirai dengan lebar, membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamar.
Setelah tirai terbuka, cahaya berlomba-lomba mengisi kamar yang gelap nan pengap itu, menyinari wajah Arius yang sudah membaringkan tubuhnya di atas kasur sambil menyangga kepalanya, menatap ke arah pemuda yang baru saja ia tendang.
Sebuah senyuman terukir di wajahnya ketika melihat pemuda itu sedang mengusak rambut tanpa mengalihkan perhatiannya dari jendela. Sebuah pemandangan yang sangat indah, tubuh pemuda itu tinggi, pundaknya tegap dan kokoh seakan beban dunia tidak akan bisa membuatnya bungkuk.
Setelah puas mandi sinar mentari, pemuda itu membuka gulungan kertas dan membaca dengan seksama tulisan yang tertulis di gulungan kertas tersebut. Keningnya mengkerut dalam dan bibirnya terbuka, menggerutu dan mengutuk yang tertuju pada pengirim surat dan tentunya pemandangan itu tidak luput dari penglihatan Arius.
"Apa salahku? Mengapa aku dipanggil tidak ada hentinya?" Gerutu pemuda itu yang tidak dibalas dengan gelengan Arius.
"Namun sebelum itu cepat pergi ke ruang tahta, aku dengar pak tua menunggumu." Ucap Arius ketika dirinya merasa puas memandangi pemuda itu.
"Bukankah dia sudah mengusirku? Untuk apa sekarang memanggilku? Bahkan aku tiba-tiba tidur di kamar ini."
Setelah mengatakan itu pemuda tersebut sudah berpindah ke ruang tahta tanpa mengganti baju piyama tidur ataupun merapihkan rambutnya yang berantakan, hal itu membuat dirinya mendapat tatapan tajam dari seluruh penghuni istana yang melihatnya.
Pemuda itu menyenderkan tubuhnya di salah satu pilar dengan tatapan tajam dan dingin, jika itu pedang maka orang-orang di hadapannya sudah tewas seketika, kedua tangannya bersedekap di dada, wajahnya terangkat dengan sombong.
Ruang tahta itu terlihat sangat megah, anak tangga dan pilar-pilar yang berdiri kokoh berlapis emas menambah kemegahan ruang tahta. pakaian berbalut benang emas dengan jahitan yang rumit namun kokoh yang dipakai raja terlihat seirama dengan tampilan ruang tahta.
Sang raja duduk di kursi tahta di temani beberapa penasihat yang duduk tidak jauh dibawahnya, menatap pemuda itu dengan tatapan merendahkan.
"Xian, kau ini seorang pangeran, dimana letak sopan santunmu?" Ucap salah satu penasehat kerajaan yang mukanya sudah tertutupi warna merah menahan amarah.
"Tidak ada sisa kesopanan untuk sekumpulan sampah." Meski Xian mengatakannya dengan datar, namun nada mengejeknya masih bisa ditangkap dengan jelas. Bibirnya menyunggingkan senyum yang sudah pasti palsu, matanya menatap tajam satu per satu wajah yang berada di ruang tahta.
"Sudahlah, Xian duduklan dulu ayah ingin berbicara."
"Waktuku tidaklah banyak, Yang Mulia." Ketus Xian.
"Ayah-"
Belum selesai Raja berbicara, seseorang masuk ke dalam ruang tahta setelah menendang pintu dengan kencang hingga pintu itu terlontar jatuh di samping Xian. Orang itu terlihat lebih tinggi daripada Xian.
Pemuda itu memakai jubah berwarna ungu dengan tudung yang terpasang di kepalanya hingga semua orang di ruang tahta tidak bisa melihat wajah dari orang misterius itu. Jaraknya dengan Xian tinggal berjarak beberapa langkah lalu pemuda itu berhenti 2 langkah tepat di hadapan Xian.
"Didi, ayah memanggilmu." Ucap pemuda berjubah ungu dengan lantang, pemuda itu berjalan dengan penuh wibawa kearah Xian, menghiraukan prajurit dan penasihat kerajaan yang sudah bersiaga karena kedatangannya.
"Dimana? Aku memiliki beberapa pertanyaan penting." Ucap Xian setelah membungkuk memberi hormat kearah pemuda yang umurnya 3 tahun lebih tua darinya.
"Ikuti aku."
"Oh ya, aku bukanlah darah dagingmu dan aku bukan lagi pangeran kerajaan ini setelah kau mengusirku! Bersenang-senang saja dengan para penghangat ranjangmu itu! Semoga Tuhan dan ibuku mengutukmu dari atas sana."
Xian berlalu begitu saja mengikut pemuda berjubah ungu pergi kearah pintu ruang tahta, Xian berjalan dengan angkuh tanpa menghentikan langkahnya meskipun Sang Raja memanggilnya berkali-kali.
Portal cahaya muncul tepat dihadapan pemuda berjubah ungu setelah ia menjentikkan jarinya, pemuda itu dan Xian memasuki portal tersebut membuat seluruh istana dibuat gempar karena selama ini tidak ada seorang manusia pun yang bisa membuat portal tanpa menggambar pola dan mengucap mantra, kejadian ini sangat langka dan menakjubkan.
Dalam sekejap mata pula pemandangan istana yang megah itu berganti menjadi ruangan hampa, sepanjang mata memandang hanya akan menemukan warna putih.
"Aku benci warna putih." Gerutu Xian sambil mengibaskan bajunya, piyama tidurnya berubah menjadi sebuah kaos berwarna hitam berbalut jubah hitam dengan benang berwarna perak yang membentuk pola rumit. Celananya yang berwarna hitam dan sepasang sepatu bot dihiasi rantai-rantai perak dengan bandul panjang. Jika Xian berjalan bisa terdengar suara dentingan rantai yang terdengar sangat ringan.
Setelah Xian mengubah penampilannya, ruangan putih itu berganti menjadi sebuah ruang tamu dengan tiga buah kursi yang mengelilingi meja berukuran sedang di tengah ruangan, diatas meja itu sudah disiapkan beberapa camilan dan 3 buah cangkir yang berisi teh, cangkir itu bahkan masih mengeluarkan asapnya, seperti baru saja dibuat.
"Gege, mana ayah?" Tanya Xian sambil memakan cemilan yang tersedia, pemuda yang disebut Gege ternyata sudah mengganti bajunya dengan jubah berlapis-lapis yang berwarna biru dan putih dengan giok putih yang menggantung di pinggangnya. Pemuda itu menggeleng melihat kelakuan Xian yang dengan santai memakan camilan.
"Akhirnya kau datang juga anak nakal, mengapa tidak mengunjungiku dan kakakmu disini?" Seseorang laki-laki muncul dengan tiba-tiba di belakang Xian, menarik telinga Xian dengan kencang, membuat Xian menjerit sakit. Setelah memohon ampun, laki-laki itu melepaskan jewerannya dari telinga Xian. Xian mengelus telinganya yang memerah dan mulai melancarkan aksi protesnya.
"Auh ayah, bukankah aku sedang dihukum? Maka dari itu aku tidak mengunjungi kalian."
Meskipun sedang protes, Xian tersenyum senang saat melihat laki-laki itu. Hatinya menghangat karena laki-laki itu tidak berubah sama-sekali.
Laki-laki itu adalah seorang kaisar utama di dunia para dewa atau bisa kita sebut dengan surga. Sering dipanggil dengan sebutan Kaisar Jun namun sebenarnya nama aslinya adalah Juan.
Juan memakai pakaian berlapis emas dengan pita sutra berwarna emas yang mengelilingi tubuhnya tanpa terjatuh yang terlihat indah dengan kulitnya yang berwarna putih pucat. Sebuah simbol berwarna emas berpendar di dahinya. Pakaian dan mahkota emas terpasang dengan sangat pas di tubuhnya, seakan tercipta khusus untuknya.
"Dihukum apanya? Kau hanya menjalankan misi bukan hukuman." Setelah mengatakan itu Juan melepaskan jeweran di telinga Xian dan duduk di sofa single yang terletak di tengah-tengah antara Xian dan kakaknya.
"Sebenarnya ayah memanggilmu untuk memberimu misi- tunggu jangan dipotong ayah belum selesai. Kau akan menjalankan misi bersama kakakmu, Jenar dan jangan kau kira ayah tidak mengetahui hutangmu di celah dunia."
"Ayah, dunia itu milikku dan aku tidak pernah berhutang sebelumnya. Menjalankan misi bersama gege akan lebih melelahkan, ayah mau jika gege merasa lelah? Aku saja yang turun mmm bersama Arius?" Bujuk Xian agar Juan mengubah keputusannya.
Setelah mengucapkan hal itu, Jenar melempar adiknya dengan kacang yang baru saja ia ambil.
"Terus saja bersama gadismu itu, ayolah ayah akan melunasi hutangmu setelah berhasil menjalankan misi ini." Bujuk Juan.
Aura suram kembali mengelilingi tubuh Xian "Bukan gadisku, kami hanya teman. Dan aku tidak pernah berhutang."
"Ayah tidak mau tahu, kau harus menjalankan misi ini bersama Jenar. Apa kau tidak ingin melihat si manis di tengah teratai? Ayah mendengar banyak cerita tentang si manis itu dari para pejabat." Ucap Juan sambil menatap Xian penuh harap agar anaknya itu merasa tertarik.
"Siapa dia?" tanya Xian
"Dia adalah seseorang yang tinggal di tengah-tengah danau teratai." Ucap Jenar. Sebuah bantal tiba-tiba saja melayang kearahnya, tentu saja itu adalah perbuatan Xian yang merasa kesal mendengar jawaban asal Jenar.
"Aku tahu! Maksudku adalah apakah dia seorang iblis? Manusia? Atau dewa? Dan mengapa dia tinggal di tengah-tengah danau? Apakah dia ditinggal kekasihnya?" Tanya Xian lebih detail, membuat Jenar dan Juan merasa takjub dengan ketidaktahuan pemuda yang paling kecil itu yang sebenarnya bisa dipahami karena pemuda itu baru saja kembali.
"Si manis di tengah teratai hanya seorang manusia, namun dirinya memiliki kekuatan yang besar dan sudah berhasil berkali-kali menyelamatkan desa terdekat dari monster dan iblis. Para dewa sudah mengumpulkan informasi sebanyak mungkin namun hanya informasi yang di dapat. Masa lalu si manis di tengah teratai seakan tidak pernah tercatat di buku takdir, mungkin pernah tercatat namun catatan itu hilang menyisakan robekan yang penuh dengan aura jahat. Banyak pejabat yang mencari informasi tentangnya namun selalu menemui kebuntuan dan kau tahu apa yang menarik? Misimu adalah untuk membantu si manis di tengah teratai untuk mengatasi sebuah dungeon monster kelas A yang ada di desa padi, jika beruntung bisa saja dia menjadi pasanganmu." Jelas Juan dengan semangat yang membuat Xian menguap bosan mendengar apa yang diceritakan juan.
"Hah.. Ayolah ayah, aku tidak tertarik sama sekali dengan pasangan tetapi sepertinya dugeon itu sedikit menarik." Ucap Xian saat mendengar kalimat akhir yang diucapkan Juan
"Kau tidak tertarik? Dengan si manis di tengah teratai? Dia manis, mungkin juga cantik dan menawan, kekuatannya tidak bisa diragukan lagi. Mengapa kau merasa tidak tertarik pada si manis di tengah teratai?" Heran Jenar sambil menatap aneh kearah Xian.
"Siapa tahu dia jelek? Mungkin hidungnya bengkok atau dia seorang lansia penuh dengan keriput di sekujur wajahnya dan hei bahkan aku tidak tahu apakah dia seorang pria atau wanita. Bukankah lebih menarik rasa biji teratai yang masih ada tangkainya? Aku dengar rasanya berbeda dengan biji teratai yang sudah dikupas dan dijual terpisah." Jelas Xian sambil membayangkan rasa biji teratai yang ia ucapkan.
"Aku mau heran tapi kau Xian." Balas Jenar setengah kesal. "Lalu apa yang kau mau?" Lanjut Jenar dengan nada yang sedikit mengejek.
"Aku? Tentu saja dunia baru." Ucap Xian yang langsung dipukul kepalanya oleh Jenar dan Juan.
"Dunia yang kau ciptakan sudah banyak-"
"Dan tidak terurus, ayah tidak ingin mati muda."
"Ayah kan sudah tua." Ucap Xian dan Jenar secara bersamaan, sebelum ayah mengamuk kedua pemuda itu sudah pergi menuju celah dunia meninggalkan Juan yang mulai kesal dengan sifat anaknya yang sama persis bagai pinang dibelah dua hingga membuatnya kesal hingga keubun-ubun.
Kedua pemuda itu kini sampai di celah dunia tepatnya di hutan bunga, seperti namanya hutan ini menumbuhkan berbagai jenis bunga dengan warna yang berbeda, bunga-bunga itu berjatuhan dan terbawa angin, menciptakan pemandangan yang sangat indah namun menyilaukan disaat yang bersamaan. suara serangga-serangga kecil memenuhi pendengaran Jenar dan Xian.
Xian dan Jenar berjalan mengikuti jalan setapak yang membelah hutan, terkadang ada semak-semak buah berry yang menghalangi, dengan enteng Xian menebaskan pedangnya kearah semak-semak itu untuk membuka jalan.
"Terakhir kali aku kemari, hutan ini hanya berwarna hijau mengapa sekarang menjadi banyak bunga? Tidak mungkin jika mereka berevolusi, kan?"
Tidak jauh dari tempat mereka berjalan, terdengar suara air yang menjatuhkan volumenya dalam jumlah besar dari ketinggian. Keduanya mengikuti suara air itu hingga sampai di pinggiran sungai yang berada di bawah sebuah air terjun yang sangat indah. Di dekat sungai itu juga terdapat sebuah batu besar yang permukaan atasnya datar, seakan dibuat untuk berkultivasi.
Xian memandang sekitar dengan heran sedangkan Jenar sudah mendudukkan dirinya di atas batu tersebut, kakinya bersila dan tangannya diletakkan di atas lutut dengan telapak tangan yang terbuka keatas, siap untuk berkultivasi. Sedangkan Xian hanya menyenderkan tubuhnya di sebuah pohon besar di samping batu tersebut.
"Itu sudah lama sekali, mungkin saja penduduk desa datang dan menanam bunga di sekitar." Ucap Jenar sebelum memfokuskan diri, meninggalkan Xian dengan dunianya sendiri.
Xian hanya memejamkan matanya, menikmati suara alam yang terdengar sangat candu. Namun dirinya merasa sangat kosong seperti kehilangan sesuatu yang berharga seakan tersadar, ia segera menghapus pemikirannya dan mulai memikirkan hal yang sedikit mendesak.
"Dimana kita akan tinggal?" Tanya Xian sambil memandang sungai, seekor kupu-kupu dengan berani mencelupkan sedikit tubuhnya ke sungai, saat kupu-kupu itu akan terbang kembali, seekor ikan melompat dan menangkap kupu-kupu itu dengan mulutnya dan melahap kupu-kupu tersebut sebelum tubuhnya kembali ke jatuh sungai.
"Kenapa tidak menumpang di rumah si manis di tengah teratai? Sekalian kau menjalankan misi, menembak dua burung dengan sebuah batu." Saran jenar sambil memejamkan matanya, seakan enggan mendengarkan protes yang akan dikeluarkan oleh Xian.
"Hah, dulu aku kaya tidak perlu membayar hutang, tidak perlu menumpang dan yang jelas tidak perlu menjalankan misi untuk bertahan hidup." Xian dengan malas berjalan berlawanan arah dengan arus sungai, meninggalkan Jenar yang sudah fokus berkultivasi.
"Dunia berputar, Didi." Sayup-sayup terdengar suara jenar dari arah belakang. Xian terus berjalan dan tak menghiraukan ucapan Jenar yang sudah fokus berkultivasi.
"Arius! Arius!" Sepanjang jalan Xian sudah memanggil Arius sebanyak sepuluh kali, namun tidak pernah mendapatkan jawaban. Kakinya melangkah dengan santai dengan kedua tangan yang ia taruh dibelakang kepala, setangkai rumput liar menyelip di bibirnya.
"Arius, aku bersumpah jika kau tidak menjawabku aku akan membakar ruanganmu lagi." Umpatnya, segera saja sebuah hologram muncul di samping kiri tubuhnya dan menjawab panggilannya.
"Kenapa lama sekali?" Tanya Xian setelah mendengar suara Arius di seberang.
"Bukankah aku sudah bilang jika pengadilan memanggilmu? Karena kau tidak datang-datang terpaksa aku yang menghadiri rapat dan jangan berani menyentuh ruanganku sedikit pun, sialan! Aku marah padamu." Umpat Arius. Xian hanya terkekeh merasa lucu saat mendengar omelan Arius, seharusnya bukankah tadi dirinya yang merasa kesal, mengapa jadi dirinya yang dimarahi?
"Jangan tertawa, aku sedang marah! Kau tau?! Marah!" Ucap Arius lagi dengan nada sedikit tenang.
"Baiklah baiklah, aku salah aku meminta maaf padamu. Pertemuan tadi membahas apa saja?"
Setelah berjalan cukup lama, Xian memutuskan untuk mendudukkan dirinya di bawah sebuah pohon besar yang menghadap langsung ke sungai. Tubuhnya menyandar lelah batang pohon itu, mulai mendengarkan cerita temannya itu.
"Tidak banyak, hanya saja kemungkinan besar dalam beberapa tahun ini akan lahir seorang raja iblis di Gunung Kraken, karena itulah para iblis maupun monster berevolusi lebih cepat dan semakin ganas. Tahu apa yang lebih parah lagi? Banyak dugeon kelas R di perbatasan antara celah dunia dan dunia bawah."
Seperti yang diketahui jika para iblis juga memiliki raja sama halnya dengan kehidupan para dewa yang dipimpin oleh kaisar utama. Yang membedakan adalah raja iblis baru akan lahir jika iblis terkuat bisa melewati ujian di beberapa gunung yang ada di dunia para iblis.
Gunung itu sering disebut dengan empat bencana, ujian dimulai dari gunung yang paling besar yaitu gunung kehancuran, Je'lan. gunung wabah, Anchor. gunung putus asa, Grewk. dan terakhir gunung kematian, Kraken.
Kelahiran raja iblis itu di seleksi oleh alam, ketika gerbang gunung Je'lan terbuka, para iblis akan berbondong-bondong masuk kedalam gunung tersebut. Mereka akan saling membunuh hingga tersisa seperempat dari keseluruhan yang iblis yang masuk. Setelah itu hanya tinggal menunggu gunung Anchor, gunung Grewk, dan gunung Kraken membuka gerbangnya.
Sejauh ini baru ada satu raja iblis yang terlahir di dunia, namun raja iblis itu bertindak dalam diam dan menghancurkan surga setelah dirinya terlahir di dunia dalam hitungan hari.
"Itu buruk." Penjelasan Arius membuat kening Xian berdenyut, kepalanya terasa pening seketika.
"Sangat buruk, kekacauan akan terjadi dimana-mana." Timpal Arius lebih serius, Arius mungkin saja sudah memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika raja iblis terlahir dari gunung Kraken.
"Ini buruk karena aku akan dilimpahkan pekerjaan yang sangat banyak dari pengadilan. sekarang saja aku sudah diberi tugas lebih dari 3 oleh ayah." Gerutu Xian yang dibalas pekikan kesal oleh Arius.
"BAGAIMANA BISA KAU MEMIKIRKAN DIRI SENDIRI JIKA BAHKAN SUDAH DI RAMAL KEHANCURANNYA? KAU INI DEWA ATAU MANUSIA HAH?!" Omel Arius.
"Hei kau lupa jika aku ini sudah pernah melihat ketiga ras itu." Jawab Xian.
"Apanya yang bisa dibanggakan, huh." Ucap Arius dengan kesal.
"Tentu saja aku bangga, bisa saja aku akan berubah menjadi malaikat dan mencabut nyawamu terlebih dahulu." Setelah mengatakan itu, terdengar umpatan dan kutukan yang Arius lontarkan untuknya. Karenanya Xian hanya tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya yang mulai merasa keram.
Setelah meredakan tawanya, Xian kembali melanjutkan pencarian tempat tinggal si manis di tengah teratai dengan ditemani Arius yang mulai berbicara mengenai beberapa pejabat yang berbuat onar selama beberapa tahun ini.
mampir dinovelku Mati Rasa ya gaess, sukses trs thor 😍
alin itu ian kan? aduh.. gk salah inget kan akunya