NovelToon NovelToon
CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Leova Kidd

Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.

Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.

Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ini (Bukan) Dating

 

Ucapan Raga pagi itu tak terlalu kuindahkan. Sama sekali tidak ada dalam bayangan bahwa dia akan benar-benar menungguku pulang. Kebiasaan tersebut sudah lama sekali tak kudapati. Aku pikir dia pun sudah lupa. Ternyata, cowok itu menepati ucapannya. Si senyum gingsul sudah menunggu di bawah gapura saat aku turun dari bus.

Awalnya Raga tak menyadari kehadiranku, dan asyik menunduk memainkan kuku sembari nangkring di jok motor dalam posisi menghadap samping. Hingga aku berdiri beberapa meter di hadapannya dalam waktu lumayan lama pun, Raga masih belum sadar ada aku di sana.

Saat itulah kesempatan untuk aku mengamati betul-betul wajah pemuda itu. Sebentuk wajah yang membuat damai. Dia tak hanya tampan, tapi juga menyenangkan ketika dipandang. Apabila dilihat dari samping lurus, Raga jauh lebih tampan dibanding Kevin, atau Ronald sekali pun. Meski hidung ketiganya sama-sama mancung, tipe mancungnya berbeda. Kevin dan Ronald memiliki tipikal mancung ala orang-orang normal, sementara Raga tidak. Hidung si bahu lebar tersebut bertulang tinggi mulai dari ujung hingga pangkal.

Selain gingsul, ada satu lagi ornamen wajah yang membuat dia tak membosankan kala dipandang. Tahi lalat. Raga memiliki tahi lalat kecil di bawah mata, ujung sebelah kanan. Yang lucu, aku juga memiliki tahi lalat serupa, tetapi punyaku ada di mata kiri.

Ketika aku tengah asyik menatapnya, mengamati parasnya yang rupawan, cowok itu tiba-tiba mengangkat kepala dan menoleh ke arahku. Mungkin dia merasa ada yang memperhatikan. Sontak aku kelimpungan, dan berpaling ke arah lain untuk menutupi malu.

“Loh, Dek?” Raga melompat turun dari motor, berjalan menghampiriku. “Sudah lama di situ?”

“Baru aja,” tepisku sok angkuh. Aslinya tidak mau ketahuan kalau sudah sejak tadi mengamatinya diam-diam.

Raga celingukan ke jalan raya, melongok ke arah utara, lalu memandangku dengan wajah keheranan.

“Serius baru dateng? Naik apa?” Nadanya setengah menyelidik.

Aku tahu apa yang ada dalam pikirannya. Jalanan lumayan lengang. Tidak ada bus maupun minibus yang tampak lewat. Kan aku berdiri di situ sudah lumayan lama. Otomatis bus yang aku naiki pun sudah jauh meninggalkan tempat kami.

“Naik apa, Dek?” Pemuda yang mengenakan setelan ripped jeans dipadu kaos kerah biru tua tersebut mengulang pertanyaan.

“Jalan kaki dari Podang.”

“Hm? Tumben?”

“Niatnya mau ambil pesanan buku. Ternyata pesanannya belum dateng,” dustaku.

Bukan dusta-dusta amat, sih. Memang hari itu jadwal terbit tabloid remaja kesayanganku—Tabloid GAUL, dan aku langganan di agen.

“Emang Adek pesan buku apa?”

“Ada, lah! Komik series, gitu.”

Itu baru bohong. Sejujurnya, aku tidak pernah tertarik untuk membeli komik. Bukan karena tidak suka, tapi kalau untuk bacaan sejenis komik, bagiku lebih baik menyewa saja. Aku punya tempat persewaan buku langganan yang berlokasi di Jalan Tulus Bhakti.

“Kita ke Gramedia, yuk!” ajaknya tak terduga.

Jelas aku panik. Apa yang mau kubeli, coba? Aku tidak sedang mengincar buku apapun. Selain tidak punya uang juga. Libur panjang, uang saku ikut libur.

Pada saat aku masih tertegun, penuh semangat Raga berlari menghampiri motornya. Cowok itu langsung melangkahkan kaki di jok, lalu mengenakan helm.

“Eh, mau ke mana? Aku belum pamit!” seruku panik begitu Raga menyalakan mesin.

“Lah, ayo!”

“Kok ayo?”

“Pulang dulu! Memangnya aku gila apa, bawa cewek jalan-jalan dengan baju seragam begitu?”

“Ouwh!” Aku kecele.

“Ayo naik!” perintahnya seraya menatapku lekat.

“Berapa meter doang, jalan kaki saja," tolakku lalu melangkah lebih dulu, meninggalkan Raga yang mengekor bersama motornya.

 

🍁🍁

 

Jika harus jujur, sebetulnya sore itu merupakan hari terindah dalam perjalanan hidupku. Pertama kali ada seseorang yang memanjakanku selain orang tua. Pertama kali merasakan yang namanya dating, jalan berdua dengan cowok. Berdua saja, tanpa bala kurawa yang biasa ngintil ke manapun kami pergi.

Only me and that guy.

Raga mengajakku naik ke lantai tiga. Toko buku Pasaraya Sri Ratu terletak di sana, satu lokasi dengan stan pakaian khusus cowok. Makanya, pada awal kaki menjejaki eskalator yang mengantar ke lantai paling atas tersebut, aku santai. Kupikir Raga mau belanja pakaian.

Ternyata ....

“Mas, nggak usah ke situ,” lirihku sembari menggamit lengannya ketika menyadari langkah kami menuju pojok.

Dia menoleh dan menghentikan langkah. Aku ikut berhenti. Cowok itu lantas berbalik menghadapku.

“Tadi katanya pengen komik,” dalihnya.

“Nggak di sini juga, kali. Kan aku sudah pesan di toko buku langganan.”

Terus terang aku panik sebab uang dalam dompet hanya 20 ribu rupiah. Aku bukan anak yang biasa diberi uang saku banyak oleh orang tua. Dua puluh ribu itu pun sisa sangu sekolah, ditambah pemberian Bapak waktu minta izin mau ke Sri Ratu.

“Ah, sudahlah! Ayo!” Tanpa pikir panjang, pundakku langsung direngkuhnya dan ditarik memasuki area toko buku. “Terlanjur sampai sini. Harus beli.”

Mati aku! Keluhku dalam hati. Mungkin wajah ini sudah pucat pasi. Harga komik pada tahun 2001 berkisar antara 30 ribu hingga 50 ribu. Sedangkan duitku hanya 20 ribu. Siapa yang tidak panik, coba?

Akhirnya, aku hanya melihat-lihat display dan pura-pura tak ada yang cocok. Hanya itu satu-satunya cara supaya terhindar dari malu.

Hingga ....

“Ambil aja mana yang Adek suka. Nanti Mas Raga yang bayar.”

Ucapan pemuda berwajah kalem itu membuatku terperangah beberapa saat. Kutatap dia dengan ekspresi yang—entahlah—lebih tepat disebut apa? Terpukau atau terpesona?

“Ini serius, Mas?” Mataku lurus memandangnya dengan ekspresi polos. Kata orang-orang—dulu, aku adalah pemilik wajah polos yang dalam beberapa kesempatan bikin gemas saking polosnya. Sepertinya batas antara polos dan menjengkelkan memang beda tipis.

Menanggapi pertanyaan yang aku ajukan, Raga tertawa kecil seraya mengusap puncak kepalaku. Tuh, ‘kan? Dia gemas sama aku.

“Pilih aja semau Adek.”

“Berapa?”

“Terserah maunya berapa.”

“Hah?” Aku kembali terperangah. “Serius ini?”

Raga tak menjawab lagi. Dia berjalan menjauh dan memilih duduk di bangku kayu yang teronggok di dekat meja kasir.

Aku tahu Raga tidak menyukai dunia baca. Dia mengaku sering pusing apabila berada di antara banyak buku. Terlebih harus menghirup aroma khas buku baru. Auto mual. Luar biasanya, dia bisa melawan semua rasa itu demi menyenangkan aku.

Buktinya, dia sering menemani aku menulis cerpen sembari memainkan gitar di hadapanku. Meski aku mengabaikan dia ketika sudah tenggelam dalam tulisan, Raga tidak pernah bete. Jika tulisan itu sudah selesai, biasanya dia minta dibacakan, lalu akan memberi masukan bagian-bagian yang dirasa janggal.

 

🍁🍁

 

Kembali ke hari itu....

Aku tidak bisa memanfaatkan kesempatan dari kebaikan orang. Pada saat Raga menawari untuk mengambil berapa pun buku yang aku mau, dan dia yang akan membayarnya, aku hanya mengambil satu buah novel karya Gola Gong. Novel itu sudah lama aku inginkan. Kebetulan Gola Gong merupakan salah satu penulis favoritku.

Keluar dari Gramedia, waktu magrib hampir lewat. Akibat terlalu asyik berburu buku, aku jadi mengabaikan waktu.

“Mas Raga,” panggilku sembari nyengir ke arah cowok yang berdiri di sebelahku, saat kami berada di eskalator turun.

Raga menoleh, tersenyum, dan mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi, tanpa mengeluarkan suara apapun. Sepertinya dia sedang sibuk dengan pikirannya.

“Musholanya mal tuh di mana, ya?”

“Mushola? Mau apa?”

“Shalat dong, Maaas! Masa main bola!”

Raga terkekeh lirih. “Maksudku, memangnya harus? Kan lagi di tempat begini?”

“Tempat begini apaan?”

“Lagi jalan, maksudnya mah.” Cowok itu meralat ucapannya yang agak absurd.

“Shalat itu wajib, Mas. Di manapun, kalau sudah waktunya, ya harus dilaksanakan.”

“Musafir?”

Aku tergelak lirih. Saat itu kami sudah tiba di lantai dua dan sedang memutari jalan untuk menuju eskalator turun.

“Musafir kan melakukan perjalanan jauh.”

“Apa bedanya? Intinya sedang jauh dari rumah, ‘kan? Lagian, Shalat bisa dijama’, kali.”

“Mas, kematian itu nggak kenal waktu, loh. Dia bisa datang kapan saja, dan nggak akan menunggu jama’ Shalat kita," ucapku sedikit berceramah.

Jawabanku memang agak sewot. Aku merasa kurang sreg terhadap cara Raga meremehkan waktu Shalat. Mungkin hal itu membuatku terkesan sok pintar, atau bahkan terlihat aneh, aku tidak peduli. Sepertinya dia juga tidak tersinggung. Pemuda itu justru menuruti ucapanku. Kami mencari mushola yang terletak di lantai satu.

“Mas Raga harus ingat ini! Di manapun, kapanpun, jangan pernah mengabaikan waktu Shalat. Kita tidak ada yang tahu kapan kematian datang,” nasihatku sekali lagi setelah kami usai melaksanakan sembahyang tiga rakaat.

“Siap, Ustazaaaah!” goda Raga seraya meletakkan tangan di samping dahi. Mendengar gurauan pemuda tersebut, aku hanya bisa menahan senyum seraya tersipu malu.

Pesan yang aku sampaikan untuk Raga bukanlah pesan tanpa alasan. Sahabat baikku belum lama meninggal sebelum hari itu, dan meninggalnya sangat mendadak. Dia adalah kawan satu kelas sejak SMP hingga SMK, lalu bersahabat karib selama satu tahun terakhir, sampai saat dia 'pergi'.

Almarhumah sering main dan menginap di rumahku Madiun. Sebelum pagi itu mendapat kabar bahwa dia meninggal, sorenya kami masih bercanda dalam minibus sepulang sekolah. Tidak ada yang menyangka jika riuhnya gurauan sore itu merupakan percakapan terakhirku bersama dia.

Lalu, jauh hari sebelumnya, kawan SMP yang lain mengalami kecelakaan dan meregang nyawa di jalan raya dekat rumahku, beberapa bulan menjelang Ujian Akhir. Peristiwa tersebut meninggalkan trauma cukup dalam, sebab aku melihat dengan mata kepala sendiri kondisi terakhir almarhum sebelum meninggal. Dan sehari sebelum kejadian, kami sempat berbincang yang mana dia berjanji besok akan membelikanku es krim. Eh, ternyata pada hari yang dijanjikan, dia pergi untuk selamanya.

Dua kejadian tersebut cukup mengguncang mentalku. Semasa kecil, aku selalu berpikir bahwa orang meninggal itu pasti karena sakit atau karena sudah tua. Pola pikir demikian terus melekat, bahkan hingga Nenek dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Lalu, tiba-tiba ada kejadian yang melibatkan teman sekolah, yang membuat mereka pergi untuk selamanya.

Semenjak itulah aku ketakutan, dan selalu berpikir bahwa aku juga bisa meninggal kapanpun maut menjemput.

 

🍁🍁

 

1
leovakidd
👍
Mugini Minol
suka aja ceritanya
leovakidd: masya Allah, makasih kakak 😍
total 1 replies
Kiran Kiran
Susah move on
leovakidd: pasukan gamon kita
total 1 replies
Thảo nguyên đỏ
Mendebarkan! 😮
leovakidd: Thanks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!