Arav Hayes Callahan, seorang CEO yang selalu dikelilingi wanita berkelas, terjebak dalam situasi yang tak terduga ketika hatinya tertambat pada Kayla Pradipta, seorang wanita yang statusnya jauh di bawahnya.
Sementara banyak pria mulai menyukai Kayla, termasuk kakaknya sendiri, Arav harus menahan rasa cemburu yang terpendam dalam bayang-bayang sikap dinginnya. Bisakah Arav menyatukan perasaannya dengan Kayla di tengah intrik, cemburu, dan perbedaan status yang menghalangi mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan Halus di Meja Makan
Bab 16
Keesokan harinya, selama seminggu itu, Arav dan Kayla tenggelam dalam berbagai pertemuan dengan klien-klien penting. Jadwal yang disusun oleh Moe benar-benar padat, mulai dari rapat pagi hingga pertemuan makan malam. Setiap hari Kayla semakin terlatih untuk menyeimbangkan antara tugas profesionalnya dan perasaan pribadi yang semakin sulit diredam ketika berada dekat dengan Arav.
Pada suatu malam, mereka diundang makan malam di sebuah restoran mewah oleh salah satu klien besar yang berpotensi melakukan kerja sama jangka panjang dengan Callahan Corp. Restoran itu terletak di puncak gedung pencakar langit dengan pemandangan kota yang memukau. Lampu-lampu kota berkilauan seperti bintang di bawah langit yang mulai gelap. Arav dan Kayla tiba lebih awal, duduk di meja dengan suasana elegan yang dihiasi cahaya lilin.
Saat menunggu klien mereka tiba, Kayla fokus mempersiapkan dokumen dan data yang akan disajikan. Arav duduk dengan sikap tenang, matanya terus mengawasi ruangan sambil sesekali menatap Kayla yang terlihat serius dengan pekerjaannya. “Kamu sudah memeriksa semuanya?” tanyanya dengan nada rendah.
“Sudah, Pak Arav. Saya pastikan tidak ada yang terlewat,” jawab Kayla, mencoba menetralkan perasaannya yang sering bergejolak saat berada di dekat pria ini.
“Bagus,” sahut Arav singkat. Sikap tegasnya seperti biasa, tetapi ada kelembutan tersembunyi yang hanya Kayla bisa rasakan, meski ia berusaha untuk tidak terpengaruh.
Beberapa menit kemudian, klien mereka tiba. Pertemuan berjalan lancar. Arav dengan gaya bicaranya yang efektif dan lugas memimpin diskusi bisnis itu. Kayla menyelaraskan dengan presentasinya yang detail namun tetap memikat. Semua berjalan sesuai rencana sampai seseorang yang tidak diharapkan tiba-tiba muncul.
Di sisi lain terlihat Maya, dengan gaun elegan berwarna merah, melangkah anggun ke arah meja mereka. Seperti biasanya, dia memancarkan aura kepercayaan diri yang kuat. Senyum ramahnya menyembunyikan intensi yang jelas untuk ikut bergabung dalam percakapan.
“Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini,” ujar Maya sambil menghampiri dan duduk tanpa diundang. “Aku baru saja selesai pertemuan bisnis untuk perusahaan, dan rupanya kita bertemu di tempat yang sama.”
Kayla mengerutkan kening, merasa kehadiran Maya bukanlah kebetulan semata. Tetapi, ia tetap memasang wajah profesional, meskipun di dalam hatinya mulai ada rasa tidak nyaman.
“Benar-benar kebetulan yang menarik,” jawab salah satu klien sambil tersenyum. “Nona Maya, Anda selalu terlihat begitu profesional dan karismatik. Tidak heran jika banyak yang bilang Anda adalah pasangan yang tepat untuk Tuan Arav. Kapan kalian akan meresmikan hubungan ini? Banyak kalangan bisnis yang sudah tahu bahwa kalian adalah pasangan yang serasi.”
Kayla terdiam, jantungnya berdebar. Ia tahu kalimat itu seperti duri yang menusuk dalam perasaannya. Sebelah matanya melirik Arav, berharap ia memberikan jawaban yang bisa meredakan ketegangan ini.
Arav tetap tenang. Bahkan saat orang itu menatap Arav untuk pertanyaannya. Dia tidak terlihat terpengaruh, tetapi jelas dia tidak tertarik menanggapi basa-basi semacam itu. “Saya tidak punya komentar untuk hal yang tidak berkaitan dengan bisnis,” ujarnya singkat, kembali mengarahkan fokus ke pembahasan kerja sama.
Maya tersenyum tipis, tetapi ada kekesalan tersirat di balik sikapnya yang manis. “Sebentar lagi, hubungan kami akan resmi,” Maya menjawab dengan tenang. “Bukankah begitu, Arav?”
Semua mata tertuju pada Arav, menunggu konfirmasi. Di dalam hatinya, Kayla merasa gelisah. Ia tahu bahwa Maya berusaha memancing situasi agar terlihat seperti pasangan sempurna. Namun, apa yang terjadi selanjutnya mengejutkan semua orang.
Arav menoleh perlahan ke arah Maya dengan tatapan tajam. “Pertunangan itu memang akan terjadi, tapi bukan denganmu, Maya. Saya sudah memiliki calon sendiri.”
Suasana langsung berubah dingin. Senyuman Maya memudar dalam sekejap, wajahnya menegang karena rasa malu dan kemarahan. Orang-orang di meja itu terkejut dengan pernyataan Arav yang begitu langsung dan tanpa basa-basi.
“Aku rasa aku harus pamit. Maaf jika pertemuan ini terganggu karena kesalahpahaman.” Maya berdiri dengan anggun, tetapi jelas ada kemarahan yang ditahannya. Dengan senyum formal yang dipaksakan, ia menunduk pada klien sebelum berjalan keluar dari restoran dengan langkah cepat.
Setelah kepergian Maya, suasana di meja berubah canggung. Kayla tetap diam, berusaha menyembunyikan kekesalan dan kebingungan yang dirasakannya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa pernyataan Arav tadi jelas mengarah padanya, tapi ia tidak suka dengan cara Arav seolah-olah membuat keputusan tanpa mempertimbangkan perasaannya. Dia merasa seperti pion dalam permainan Arav yang selalu bisa dikendalikan sesuai keinginan pria itu.
Setelah menyelesaikan pembahasan bisnis, klien mereka pergi dengan puas. Arav dan Kayla masih duduk di meja, terdiam sesaat. Arav mengambil gelasnya, menyesap minuman dengan ekspresi tak terbaca. “Kamu kelihatan tidak nyaman,” katanya akhirnya, matanya menatap Kayla dengan tajam.
“Pak Arav, saya tidak suka dengan cara Anda membuat keputusan tentang hidup saya tanpa bertanya dulu,” balas Kayla, mencoba tetap tenang meski jelas ada kemarahan dalam suaranya. “Saya bukan orang yang bisa seenaknya Anda tentukan nasibnya.”
"Kamu bahas apa?" tanya Arav, entah pura-pura tidak tahu atau memang tidak tahu.
"Tentang anda menjelaskan tadi pada mereka. Bahwa anda tidak akan bertunangan dengan Nona Maya. Jika itu bukan tentang saya, tolong Bapak jangan selalu bahas hal ini di hadapan saya. Atau setidaknya beri saya kejelasan, setiap alasan yang bapak lontarkan pada setiap orang, hanya sebuah alasan kebohongan atau benar adanya? Supaya saya tahu untuk bersikap."
"Kamu membuat saya pusing. Ayo kita pulang."
"Lagi-lagi bapak seenaknya menyudahi pembicaraan," gerutu Kayla.
Arav mengangkat alisnya. “Kamu menganggap itu seenaknya? Saya hanya jujur. Dan saya tidak peduli apa yang dipikirkan orang lain.”
“Tapi Anda juga harus memikirkan bagaimana perasaan orang lain, terutama saya. Ini bukan cuma soal bagaimana Anda melihat situasi ini, tapi juga bagaimana saya diperlakukan di hadapan orang lain,” Kayla balas dengan tegas.
Ada keheningan sejenak, sebelum Arav mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Kayla. “Kalau begitu, kita atur perasaannya nanti. Tapi yang jelas, saya serius soal ini. Kamu harus mulai terbiasa dengan kenyataan bahwa saya tidak main-main.”
Tatapan mata Arav begitu intens hingga membuat Kayla terpaksa memalingkan wajah. Ia merasa hatinya berdebar tak karuan, terombang-ambing antara perasaan marah, bingung, dan… perasaan lain yang tak bisa dijelaskan. Tetapi satu hal yang pasti, Arav semakin membuatnya sulit menentukan langkah selanjutnya.
Suasana malam itu terasa semakin berat, seolah dibalut oleh ketegangan yang tidak terucapkan. Kayla tahu, tidak akan mudah melarikan diri dari dunia yang sedang Arav bangun untuknya, meski di satu sisi ia ingin melawan. Namun, Arav, dengan caranya yang mendominasi dan penuh misteri, selalu berhasil mempengaruhi perasaan dan pikirannya.
Dan di balik dinginnya malam kota yang berkilauan, konflik perasaan yang semakin dalam antara Arav dan Kayla sepertinya baru saja dimulai.
Bersambung...
Ini enggak loh. Kayla tidak ada sangkut paut tanggung jawab apa pun pada CEO/Arav atau pun keluarga. Namun, dia tetap harus nikah dengan Arav.
Kira-kira alasannya apa ya? Yang gak baca novelnya, pasti gak bakal tahu alasannya.