Tara Azhara Putri Mahendra—biasa dipanggil Tara—adalah seorang wanita muda yang menjalani hidupnya di jantung kota metropolitan. Sebagai seorang event planner, Tara adalah sosok yang tidak pernah lepas dari kesibukan dan tantangan, tetapi dia selalu berhasil melewati hari-harinya dengan tawa dan keceriaan. Dikenal sebagai "Cewek Tangguh," Tara memiliki semangat pantang menyerah, kepribadian yang kuat, dan selera humor yang mampu menghidupkan suasana di mana pun dia berada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xy orynthius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 16
Malam itu, langit di atas kota dipenuhi awan gelap yang mengancam. Tara, Adrian, dan Lucas bergerak cepat melalui gang-gang sempit yang jarang dilewati orang. Suasana mencekam mengiringi setiap langkah mereka, seolah-olah kegelapan di sekitar mereka ingin menelan mereka bulat-bulat.
Lucas berhenti sejenak di persimpangan kecil. Dia mengecek peta kecil di tangannya, memastikan bahwa mereka berada di jalur yang benar. "Alamatnya nggak jauh lagi," bisiknya. "Tapi kita harus ekstra hati-hati. Tempat ini sering diawasi."
Adrian menatap Tara dan memberikan anggukan kecil, seolah-olah berkata, "Kita bisa melakukannya." Tara mengangguk kembali, meskipun hatinya berdebar kencang. Mereka telah melewati begitu banyak hal, dan setiap langkah mendekatkan mereka pada bahaya yang semakin besar.
Saat mereka melangkah lebih jauh, mereka tiba di sebuah bangunan tua yang tampak terlantar. Jendela-jendelanya retak, dan catnya mengelupas, memberikan kesan bahwa bangunan ini sudah lama ditinggalkan. Namun, Lucas tahu lebih baik daripada mempercayai penampilan luar.
"Ini tempatnya," kata Lucas dengan suara rendah. "Orang yang kita cari ada di dalam."
Tara merasakan sesuatu yang tidak beres saat mereka mendekati pintu masuk. Udara di sekitar mereka terasa tegang, seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi dari kegelapan. "Lo yakin kita aman di sini?" tanyanya dengan nada ragu.
Lucas mengangguk, tetapi raut wajahnya menunjukkan keraguan. "Nggak ada tempat yang aman lagi buat kita, Tara. Tapi kalau kita mau dapet informasi tentang Proyek Apocrypha, ini satu-satunya cara."
Adrian mengeluarkan pistol kecil dari balik jaketnya, memeriksa peluru di dalamnya. "Kita masuk, ambil apa yang kita butuhkan, dan keluar secepat mungkin. Jangan ada yang bikin suara berlebihan."
Mereka bertiga memasuki bangunan itu dengan hati-hati. Di dalam, suasana lebih gelap dan pengap. Debu memenuhi udara, dan setiap langkah mereka menghasilkan suara gemeretak kayu tua di bawah kaki.
Setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah ruangan yang tampaknya masih sering digunakan. Di tengah ruangan, ada meja besar yang dipenuhi dengan kertas-kertas, peta, dan beberapa komputer tua. Lampu gantung kecil yang bergoyang memberikan cahaya redup yang cukup untuk membuat suasana semakin mencekam.
Lucas segera memeriksa kertas-kertas di atas meja. "Ini... ini adalah peta rute distribusi," bisiknya, membuka peta besar yang menunjukkan jaringan rute di seluruh kota. "Ini rencana mereka untuk mengirimkan sesuatu ke berbagai lokasi di kota ini."
Tara mendekat, melihat peta dengan lebih seksama. "Ini pasti berkaitan dengan Proyek Apocrypha," katanya. "Tapi apa yang mereka kirimkan?"
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari belakang mereka. "Gue bisa kasih tahu jawabannya."
Mereka bertiga berbalik dengan cepat, dan di ambang pintu berdiri seorang pria dengan tubuh tegap dan wajah yang penuh bekas luka. Matanya memandang mereka dengan tatapan tajam, seolah-olah dia telah menunggu kedatangan mereka.
Lucas langsung mengarahkan pistolnya ke arah pria itu. "Siapa lo? Jangan bergerak!"
Pria itu mengangkat kedua tangannya, menunjukkan bahwa dia tidak bersenjata. "Nama gue Marco. Gue yang lo cari, kan? Tapi percuma aja lo ngancam gue dengan pistol. Gue udah nggak punya apa-apa lagi buat kehilangan."
Tara menatap pria itu dengan curiga. "Kalau lo nggak punya apa-apa lagi, kenapa lo di sini? Kenapa lo nggak kabur?"
Marco tertawa kecil, suara tawa yang penuh kegetiran. "Kabur? Dari mereka? Nggak mungkin. Gue udah terjebak di sini, sama seperti kalian. Gue tahu segalanya soal Proyek Apocrypha, dan itulah kenapa mereka mau ngilangin gue."
Lucas menurunkan sedikit pistolnya, tapi masih tetap waspada. "Kalau lo tahu segalanya, lo harus kasih tahu kita sekarang juga. Apa yang mereka rencanakan?"
Marco menghela napas panjang dan melangkah mendekat. "Proyek Apocrypha adalah rencana besar mereka buat ngontrol jaringan kriminal di seluruh negeri. Mereka nyiapin sesuatu yang bisa bikin kekacauan besar, sesuatu yang bisa ngancurin banyak nyawa kalau jatuh ke tangan yang salah."
Adrian menyipitkan mata, merasa ada sesuatu yang belum terungkap. "Apa yang mereka siapkan? Obat? Senjata? Atau yang lebih berbahaya lagi?"
Marco menatap mereka dengan ekspresi serius. "Mereka nyiapin... informasi. Dokumen-dokumen rahasia, nama-nama orang penting, rencana operasi besar-besaran. Kalau informasi ini bocor, semua orang yang terlibat bakal hancur, termasuk kita."
Tara merasakan darahnya berdesir mendengar kata-kata itu. "Jadi... ini bukan cuma soal barang berbahaya. Ini tentang informasi yang bisa ngancurin siapa aja yang terlibat?"
Marco mengangguk. "Benar. Dan informasi itu udah siap buat didistribusikan ke berbagai tempat. Kalau kita nggak bisa cegah itu, semuanya bakal kacau."
Lucas berpikir cepat. "Gimana caranya kita bisa ngehancurin rencana mereka? Lo pasti tahu, kan?"
Marco menatap mereka sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Ada satu tempat di mana mereka simpan semua dokumen penting. Kalau lo bisa masuk ke sana dan ngambil dokumen-dokumen itu, lo bisa ngehancurin mereka dari dalam."
Tara merasakan ketegangan yang semakin meningkat di dalam ruangan itu. "Di mana tempatnya?"
Marco mengeluarkan selembar kertas dari saku jaketnya dan memberikannya kepada Lucas. "Ini alamatnya. Tempat itu dijaga ketat, tapi kalau lo bisa masuk dan ngambil dokumen-dokumen itu, lo bisa ngungkap semuanya."
Lucas mengambil kertas itu dan memandangi alamat yang tertulis di sana. "Ini tempat yang sangat berbahaya. Tapi kita nggak punya pilihan lain."
Adrian mengangguk setuju. "Kalau kita bisa ngambil dokumen-dokumen itu, kita bisa hancurin mereka dari dalam. Kita harus bergerak sekarang."
Tara menatap Marco, merasa ada sesuatu yang masih belum terungkap. "Kenapa lo bantu kita? Apa yang lo dapat dari semua ini?"
Marco tersenyum samar, ekspresi wajahnya penuh dengan kelelahan. "Gue udah kehilangan segalanya. Kalau gue bisa ngebantu kalian ngehancurin orang-orang ini, mungkin itu satu-satunya hal baik yang bisa gue lakukan sebelum semuanya berakhir."
Mereka bertiga saling berpandangan, menyadari bahwa mereka sekarang memiliki satu sekutu yang berharga. Tapi mereka juga tahu bahwa misi ini akan sangat berbahaya, dan mereka harus bertindak cepat sebelum semuanya terlambat.
Dengan alamat baru di tangan, mereka bersiap untuk langkah berikutnya dalam perjuangan mereka. Perjalanan mereka belum selesai, dan bayangan gelap di sekitar mereka semakin pekat. Namun, dengan tekad dan keberanian yang mereka miliki, mereka akan terus maju, menghadapi apa pun yang datang di hadapan mereka.