Joano dan Luna adalah dua remaja yang hidup berdampingan dengan luka dan trauma masa kecil. Mereka berusaha untuk selalu bergandengan tangan menjalani kehidupan dan berjanji untuk selalu bersama. Namun, seiring berjalannya waktu trauma yang mereka coba untuk atasi bersama itu seolah menjadi bumerang tersendiri saat mereka mulai terlibat perasaan satu sama lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourlukey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
Baru pukul 06.00 pagi, ponsel Luna sudah berdering berkali-kali. Itu adalah panggilan telepon dari Joano. Semalam sahabatnya itu memang sudah mengatakan kalau mereka harus berangkat sekolah lebih awal, tapi Luna tidak menyangka jika Joano akan berangkat sepagi ini, merecokinya untuk segera keluar dari rumah. Jika tahu begini, Luna memilih untuk naik kendaraan lain saja, tapi apa boleh buat? Joano sudah menunggunya di depan rumah, tidak mungkin Luna menyuruh Joano berangkat lebih dulu, yang ada dia akan merajuk seharian. Terkadang Joano memang bersikap kekanakan padanya. Tapi pura-pura dewasa di depan orang lain.
Luna mendengus sebal. Dia mengambil ponsel di atas ranjang kemudian menggeser tombol hijau di layar. Menampilkan sosok Joano yang sudah rapi dengan atribut sekolah.
"Cepetan woi! Lama banget." Joano protes.
Luna menyenderkan ponselnya di atas meja belajar kemudian mengambil outer dari lemarinya. "Sabar! Lagian lo mau ngapain sih, berangkat pagi banget."
"Mau transaksi barang ilegal, pakai nanya lagi. Makanya kalau orang ngomong itu didengerin bukannya malah ditinggal tidur."
Luna tidak menghiraukan omelan Joano. Perhatiannya hanya terpaku pada resleting outer denimnya yang susah untuk dibuka.
"Udah, belum?"
Pertanyaan Joano kembali membuat Luna mendecak sebal. Dia menaikkan nada bicaranya. "Entar dulu! Ini resleting-nya nggak bisa dibuka."
"Bawa ke sini."
"Gue tutup teleponnya." Luna mematikan sambungan telepon bahkan sebelum Joano mengiakan. Gadis itu lalu menyambar tas sekolahnya yang ada di atas sofa kemudian keluar kamar.
Tidak ada bunyi selain suara langkah kaki Luna di rumah itu. Kedua orang tuanya sudah berangkat kerja sedari pagi buta. Luna sudah terbiasa dengan itu. Tidak ada rutinitas sarapan seperti yang terjadi di keluarga lain. Biasanya itu hanya terjadi jika suasana hati kedua orang tuanya sedang membaik, tapi itu sudah lama sekali. Sudah lama sekali sampai Luna tidak mengingat kapan hal itu pernah terjadi.
Dari pada digunakan oleh keluarganya, tempat seperti ruang makan dan ruang tengah lebih sering digunakan Luna dan Joano untuk makan atau belajar bersama. Luna bahkan sempat berpikir kalau orang tuanya sebenarnya tidak pernah tahu apa fungsi rumah mereka sebenarnya, selain tempat singgah ketika malam tiba.
Luna berhenti sejenak di ruang makan dan meraih selembar roti, mengoleskan selai di atasnya lalu melahap makanan itu hingga memenuhi mulutnya, setelahnya dia lari terbirit-birit keluar rumah.
Joano sudah menunggunya di sana.
"Emang lo mau ngapain, sih? Buru-buru banget." Luna mengeluh dengan mulut yang masih terisi penuh makanan. Dia lalu menyodorkan outer-nya pada Joano untuk dibetulkan.
Selagi menunggu Joano memperbaiki resleting outer-nya, Luna sibuk mengunyah, menelan habis makanannya lalu meneguk seperempat air mineral yang dia serobot dari bagasi depan motor Joano.
"Udah gue bilang mau transaksi barang ilegal."
Luna mendecak lidah, meraih outer-nya dari tangan Joano yang selesai diperbaiki. "Bercanda mulu, sih, lo. Orang nanya beneran."
Joano tertawa kaku. “Tadi malam waktu gue telepon, lo beneran ketiduran, ya?”
“Emang gue kelihatan bercanda?” Luna mengenakan outer denimnya kemudian memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan.
Joano mendesis sebal. Dia lalu mengambil helmnya kemudian mengalungkannya di kepala Luna, mengunci pengait helm itu kemudian menyuruh Luna untuk segera naik ke atas motor.
“Kok nggak dijawab. Emang kenapa sih kita berangkatnya pagi banget?” Luna mengulang pertanyaan.
Joano melajukan motornya, lantas menjawab. “Gue dihukum guru BK, dan sekarang lo harus bantuin gue.”
Satu pukulan mendarat di kepala Joano dan dia tahu Luna akan melakukannya, karena itu dia melajukan kendaraannya lebih dulu, alih-alih menjawab pertanyaan gadis itu.
“Sakit, Luna! Gue lagi bawa motor, loh.”
“Lagian lo ngeselin banget. Lo yang bikin masalah, gue yang kena getahnya.” Gadis itu menggerutu. Mukanya masam, itu terlihat jelas melalui pantulan kaca spion. “Bikin masalah apa lo sampai dihukum guru BK?”
“Itu yang kemarin,” Joano menggantungkan kalimatnya. Barang kali Luna sudah mengetahui masalahnya dari orang lain dan lupa, makanya Joano tidak langsung menjelaskan. Tapi ternyata tidak, Luna benar-benar tidak tahu apa dia lakukan kemarin.
“Emang kemarin lo ngapain lagi?”
“Nggak sengaja pecahin pipa toilet.”
“Hah! Kok bisa?” Luna terkejut bukan main.
Di sekolah, Joano sebenarnya bukan murid yang nakal. Justru dia salah satu murid kesayangan yang prestasinya tidak kalah banyak dari Luna. Hanya saja dia suka bergaul dengan teman yang kelakuannya sangat ajaib, selalu di luar ekspektasi, makanya dia juga sering terkena hukuman gara-gara masalah yang mereka buat. Terakhir kali Joano dihukum gara-gara bermain ketapel saat jam istirahat, dan karena batu yang dia lempar mengenai dahi kepala sekolah, Joano dan teman-temannya harus piket selama satu minggu penuh.
Kali ini entah apa yang Joano dan teman-temannya perbuat hingga membuat pipa toilet pecah, yang pasti Luna sudah kehabisan kata-kata dengan kekonyolan yang mereka lakukan.
“Terus, lo disuruh ngapain?”
“Bersihin toilet.”
Tepat saat itu lampu lalu lintas menyala merah. Joano menghentikan kendaraannya. Karena jalanan masih lengang, percakapan mereka masih terdengar jelas, belum terdistraksi oleh suara kendaraan lainnya.
“Gue nggak mau ya kalau disuruh bersihin toilet. Enak aja, pagi-pagi udah disuruh bersihin toilet.”
“Yang bersihin gue sama temen-temen. Lo tinggal berdiri di depan toilet. Mengawasi guru yang lewat atau murid lain yang masuk.” Joano menjelaskan. Lampu lalu lintas menyala hijau, Joano kembali melajukan kendaraannya.
“Kenapa harus diawasi, bukannya malah bagus kalau ada yang lihat lo bersih-bersih? Cari perhatian gitu sama guru. Oh, lo malu ya kalau cewek-cewek pada ngelihatin?” Luna menebak sembarangan. “Kalau malu kenapa banyak tingkah? Kan lo sendiri yang rugi kalau begini.”
Joano mendengus. “Bukan begitu. Masalahnya toilet yang gue bersihin adalah toilet cewek. Kemarin pas pulang sekolah mau sekalian dibersihin. Tapi karena toilet cewek nggak pernah kosong, makanya baru dibersihin sekarang.”
Luna tertawa. Sebenarnya tidak terlalu lucu, hanya saja dia ingin membuat Joano jengkel. Sejengkel saat dirinya harus disuruh bangun pagi buta hanya untuk berdiri di depan toilet.
“Lo jangan ngertawain apa. Gue malu banget nih kalau nanti ada anak lain yang lihat.”
“Lagian lo ada-ada aja sih, mecahin pipa toilet. Kayak nggak ada kerjaan lain aja. Mau gue kasih kerjaan?” Luna bertanya meledek. Dia kembali tertawa terbahak-bahak.
Setelah sampai di sekolah, mereka langsung bergegas menuju toilet untuk mengerjakan tugas mereka masing-masing. Termasuk dua teman Joano yang sudah menunggu sedari tadi.
Sebenarnya mereka berempat adalah teman satu kelas. Tapi karena Luna tidak satu frekuensi dengan kedua temannya yang lain, jadi dia lebih sering menyebut mereka sebagai teman Joano, bukan teman dirinya. Entahlah, Luna kurang nyaman menyebut mereka sebagai teman.
Waktu terus berlalu, mereka sibuk dengan tanggung jawab masing-masing.
"Eh, Luna. Ngapain berdiri di depan toilet?”
Dia juga teman sekelas Luna. Namanya Daniel. Dibandingkan dengan mereka yang sedang membersihkan toilet bersama Joano, Luna lebih akrab dengan laki-laki itu.
Di sekolah, Luna sebenarnya tidak terlalu punya banyak teman. Bahkan temannya masih bisa dihitung dengan jari. Itu karena dia terlalu sibuk belajar. Atau mungkin itu hanya alasannya saja? Kenyataannya Joano masih bisa bergaul dengan banyak orang meski dirinya juga sibuk belajar. Tidak, sebenarnya Luna memang kurang pintar dalam bersosialisasi. Dia tipe orang yang mudah lelah jika berhadapan dengan banyak orang. Dia lebih suka menyendiri, bertemu Joano atau berkumpul dengan kelompok yang lebih kecil.
Luna dan Daniel mulai dekat sejak penerimaan peserta didik baru. Selain selalu menjadi teman sekelas, Daniel juga sering membantu Luna dalam melakukan sesuatu. Misalnya, mengantar tumpukan tugas ke ruang guru, membantu piket mingguan dan beberapa hal yang dilimpahkan kepada Luna.
Bahkan sempat ada rumor di sekolah yang mengatakan bahwa Daniel dan Luna sebenarnya pernah menjalin hubungan, namun karena Joano selalu menempel pada Luna bak perekat membuat keduanya harus mengakhiri jalinan asmara mereka. Yang namanya rumor tetaplah menjadi rumor. Kenyataannya Luna tidak pernah menerima pernyataan apa pun dari Daniel, apalagi berpacaran.
“Oh, ini lagi jagain anak-anak lain bersihin toilet cewek. Takut ada yang masuk.” Kata Luna, jujur.
Daniel melirik sekilas toilet perempuan. Melihat Joano yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu.
“Udah selesai?” Luna bertanya. Dua teman Joano muncul bersamaan dari dalam toilet.
“Belum kelar, bantuin gue buang airnya sebentar.” Joano menyahut. Mukanya masam.
“Bukannya udah kelar? Airnya,” Salah satu teman Joano yang bernama Alfian ikut menimpali, tapi belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, Joano lebih dulu menginjak kaki laki-laki itu dan membuatnya menjerit kesakitan.
“Buang air apa? Lo bertiga kan cowok, ngapain nyuruh cewek buang air? Bohong kan, lo?”
“Beneran. Iya, kan?” Joano kembali meminta persetujuan teman-temannya.
Kali ini teman Joano bernama Mike yang menyahut, menganggukkan kepala. Ragu.
“Gue masuk duluan ya, Lun. Sampai jumpa di kelas.” Kata Daniel tiba-tiba.
Luna tersenyum, mengangguk pada Daniel. Membereskan masalah Joano adalah yang paling utama sebelum murid lain berdatangan. Karena kalau tidak, urusannya akan semakin panjang.
“Sampai ketemu di kelas, Daniel.” Balas Luna sambil melambaikan tangan.
Setelah memastikan Daniel hilang dari pandangan, Luna menoleh ke arah Joano dan dua temannya.
“Kenapa nggak buang airnya di toilet? Emang mau dibuang ke mana?”
“Nggak ada apa-apa kok, Lun. Joano ngarang. Ngomong-ngomong, makasih ya udah bantuin kami. Gue duluan.” Kata Mike kemudian berlalu lebih dulu.
“Oh, airnya tadi udah lo buang, ya?” Joano tertawa kaku sambil menepuk pundak Alfian.
Alfian meringis kemudian menjawab. “Bocah gila. By the way, thanks ya, Lun ” Dia lantas berlalu menyusul Mike.
Luna mendecak sebal. Dia tahu kalau Joano berbohong padanya.
“Lagian lo ngobrol mulu sama Daniel. Seru banget kayaknya.”
“Ngobrol apanya? Baru satu pertanyaan aja lo udah nongol duluan.” Kata Luna, menyayangkan.
Joano membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu. Tapi Luna lebih dulu melanjutkan perkataannya yang belum selesai, "Daniel tuh perfect banget, ya. Udah kaya, keren, ramah, pinter lagi. Kok bisa sih segala kesempurnaan diborong sama dia semua. Emaknya dulu ngidam apa, ya?"
"Lah, gue juga cakep. Lebih pinter malah dari pada dia."
Padahal Luna tidak sedang menghina atau membandingkan Daniel dengan Joano, tapi perkataan laki-laki itu terdengar tidak terima. Luna menoleh kemudian menatap Joano menyelidik. “Lo juga iri kan sama dia? Ngaku!”
Joano mendengus, dia lalu menjauh dari Luna begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun.
“Orang aneh. Nggak bilang makasih lagi.”