Seperti artinya, Nur adalah cahaya. Dia adalah pelita untuk keluarganya. Pelita untuk suami dan anaknya.
Seharusnya ...
Namun, Nur di anggap terlalu menyilaukan hingga membuat mereka buta dan tak melihat kebaikannya.
Nur tetaplah Nur, di mana pun dia berada dia akan selalu bersinar, meski di buang oleh orang-orang yang telah di sinarinya.
Ikuti kisah Nur, wanita paruh baya yang di sia-siakan oleh suami dan anak-anaknya.
Di selingkuhi suami dan sahabatnya sudahlah berat, di tambah anak-anaknya yang justru membela mereka, membuat cahaya Nur hampir meredup.
Tapi kemudian dia sadar, akan arti namanya dan perlahan mulai bangkit dan mengembalikan sinarnya.
Apa yang akan Nur lakukan hingga membuat orang-orang yang dulu menyia-nyiakannya akhirnya menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Bisma menoleh kearah ruang keluarga di mana ayah dan sahabat ibunya sudah tak ada di sana.
"Papah mana ka?" tanyanya mengagetkan sang kakak yang tengah berkutat di depan kompor.
"Pulang anter tante Sisil," jawab Amanda datar.
"Cih, lama-lama aku enggak suka sama tante Sisil. Entah kenapa papah tuh kelihatan perhatian banget sama tante Sisil, giliran sama mamah—"
"Udah makan dulu," sela Amanda yang tak ingin membahas masalah kedua orang tuanya saat makan.
"Padahal aku benar-benar ingin makan tumis daging, eh mamah masih sakit. Kakak udah lihat mamah?"
"Bis, makan dulu. Ngga baik makan sambil ngomong!" tegur Amanda jengkel.
Kedua anak Nur dan Pamungkas itu makan dengan tenang, meski dalam hati Bisma masih saja mengoceh tak jelas karena kesal.
Setelah makan, Bisma segera naik ke kamarnya karena hendak bermain dengan ponselnya.
Sayangnya ponsel itu tak berada di tempat di mana Bisma yakin dia menaruhnya di sana.
Bisma benar-benar jengkel karena dia telah berjanji akan main bareng game online bersama teman-temannya.
Dirinya keluar kamar dengan membanting pintu cukup keras hingga membuat Amanda yang berada di ruang keluarga terlonjak kaget.
"Astaga Bisma, kamu kenapa sih!" sungut Amanda yang berpura-pura kesal.
"Hp aku ilang ka! Pak Ijan mana ya? Jangan-jangan jatuh lagi di lapangan tadi!"
Amanda menghela napas panjang. Mau tak mau dia harus menjelaskan masalah keluarganya sebelum Bisma mencari tahu sendiri.
"Dek, ada yang mau kakak omongin. Duduk sini dulu," pinta Amanda lembut.
"Ada apa sih! Aku mau cari hp aku dulu ka, coba telepon pak Ijan supaya balik ke sini lagi!"
"Bisma duduk!"
Mau tak mau remaja tiga belas tahun itu akhirnya menuruti ucapan sang kakak.
"Kamu ngga cariin mamah lagi Dek?"
Bisma mengernyit heran. "Mamah di kamarkan?"
Amanda lantas menggeleng. "Mamah enggak ada, mamah pergi."
"Hah mamah beneran pulang kampung ninggalin kita?"
"Dek dengar. Mamah dan papah ... Mereka mau berpisah," lirih Amanda sendu.
"Apa? Kamu ngomong apa sih ka! Jangan aneh-aneh!" pekik Bisma kesal.
"Kakak ngga main-main Dek, mereka beneran mau pisah dan mamah memilih pergi dari rumah ini," jelas Amanda.
Bisma yang masih syok hanya bisa terdiam. Remaja itu tengah mengumpulkan kesadarannya.
"Ini ngga lucu ka. Tadi kita masih baik-baik aja, kenapa tiba-tiba mamah sama papah mau pisah?" ucap Bisma Sarkas.
"Kakak ... Ngga tahu apa masalah mereka, tapi ya kakak ingin kamu menyiapkan diri menerima ini."
"Kenapa mamah ngga ajak kita ka?"
Amanda lantas menggenggam tangan sang adik. Dia tahu sang adik sangat dekat dengan ibu mereka, oleh karena dia harus berhati-hati berkata pada Bisma agar adiknya itu tak merengek minta ikut ibu mereka.
Dirinya khawatir jika Bisma memberontak maka ayahnya mungkin akan melepaskan tanggung jawabnya pada masa depan adiknya.
Amanda bertekad supaya mereka tetap bisa mendapatkan hak mereka.
"Bisma, kamu tahu kalau mamah enggak bekerja. Makanya kakak harap kamu ikut sama papah aja ya."
"Kenapa ka? Aku maunya ikut mamah."
Amanda kembali membujuk sang adik. "Kamu tahu sekolah kamu kan mahal, apa kamu ngga kasihan harus memberatkan mamah?"
"Loh emang kalau aku ikut mamah, papah ngga mau tanggung jawab?"
"Dek, kamu tahu kan, pasti beda, makanya lebih baik kita ikut papah aja, kakak yakin papah tetap ngizinin kita buat ketemu mamah. Mau ya?"
Bisma menengadah, bohong jika remaja itu tak terguncang batinnya mendengar kehancuran keluarganya.
"Apa yang bikin mereka berpisah ka? Apa karena tante Sisil?" cecarnya.
"Kakak ngga tahu, kita ngga perlu ikut campur urusan mereka Dek. Yang penting kita pikirkan masa depan kita aja."
"Aku heran kenapa kakak santai banget tahu kabar ini. Apa kakak benar-benar ngga sayang sama mamah?"
Belum juga menjawab, obrolan mereka terhenti karena mendengar suara mobil milik ayah mereka. Keduanya menoleh ke arah pintu sekat antara ruang tamu dan keluarga.
Ayah mereka muncul dengan raut wajah yang terlihat kacau.
Bisma segera bangkit dan mencecar sang ayah. "Pah katakan, apa benar papah sama mamah mau pisah? Kenapa pah? Apa ini karena papah selingkuh sama tante Sisil?"
"Bisma, apa maksud kamu? Jaga bicara kamu, papah enggak pernah ngajarin kamu buat berbicata tak sopan sama orang tua!"
Bisma mengepalkan tangan dan membuang napasnya dengan kasar.
"Jawab aja Pah, apa kalian akan berpisah?"
"Ya kami memutuskan untuk bercerai," jawab Pamungkas datar.
Sebenarnya hati ayah dua anak itu sakit menjelaskan nasib keluarga mereka pada putra bungsunya.
"Karena apa pah? Kemarin kita masih baik-baik aja. Tolong jangan bilang kalau papah selingkuh sama tante Sisil!"
"Bisma cukup, jangan bawa-bawa tante Sisil. Kami punya masalah, kamu enggak akan mengerti. Udahlah kamu cukup belajar aja. Papah pastikan bisa merawat kamu dan kakak dengan baik."
"Bagaimana kalau Bisma mau ikut mamah aja Pah?"
"Kamu mau ikut mamah? Memang kamu yakin kalau kamu bisa makan dan sekolah? Kamu tahu kalau papah-lah yang mencari uang untuk kalian!"
"Maksud papah?"
"Kalau kamu mau ikut mamah, maka papah akan lepas tangan atas semua kebutuhan kamu."
"Papah kejam!" pekik Bisma lantas berlalu dari sana.
Amanda hendak menyusul sang adik tapi segera di cegah ayahnya.
"Didik adikmu, papah harap dia ngga merengek ikut mamah kamu. Kalau sampai Bisma memberontak maka papah akan menghentikan semua fasilitas untuk kalian. Silakan ikut mamah, tapi seperti mamah, kalian keluar tanpa membawa apa pun dari papah."
.
.
.
Lanjut