Bagaimana rasanya menikah dengan orang yang tidak kita kenal?
Baik Arsya maupun Afifah terpaksa harus menerima takdir yang telah di tetapkan.
Pada suatu hari, ayah Afifah di tabrak oleh seorang kakek bernama Atmajaya hingga meninggal.
Kakek tua itupun berjanji akan menjaga putri dari pria yang sudah di tabraknya dengan cara menikahkannya dengan sang cucu.
Hingga pada moment di mana Afi merasa nyawanya terancam, ia pun melakukan penyamaran dengan tujuan untuk berlindung di bawah kekuasaan Arsya (Sang suami) dari kejaran ibu mertua.
Dengan menjadi ART di rumah suaminya sendirilah dia akan aman.
Akankah Arsya mengetahui bahwa yang menjadi asisten rumah tangga serta mengurus semua kebutuhannya adalah Afi, istrinya sendiri yang mengaku bernama Rere?
"Aku berteriak memanggil nama istriku tapi kenapa kamu yang menyahut, Rere?" Salah satu alis Arsya terangkat.
"Karena aku_" Wanita itu hanya mampu berucap dalam hati. "Karena aku memang istri sahmu, pak Arsya"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 15
Dua minggu sudah berlalu, pak Arsya masih kalang kabut mencariku di bantu sang asisten, Beno.
Karena tak ada petunjuk mengenai diriku, maka mereka sangat kesulitan mencari tahu di mana aku berada.
Nomor yang biasa Beno hubungi pun aku lepas dari ponsel, aku hanya mengaktifkan salah satu sim cardku yang lain.
Secanggih itu memang tekhnologi jaman sekarang, ponsel satu dua nomor, dan hanya Shema serta Ririn yang tahu nomor ponsel yang ku aktifkan ini.
Saat tengah fokus membuat kudapan untuk pak Arsya, aku mendengar ponsel Beno berbunyi sangat keras. Karena aku ingin tahu itu dari siapa, aku bergegas pura-pura mengambil alat p3k di ruang keluarga, di mana pak Arsya dan Beno sedang berdiskusi untuk meeting besok.
Aku beralasan kalau tanganku sedikit terkilir, jadi perlu ambil salep untuk ku oles supaya nyerinya sedikit berkurang. Dan sekarang, aku sengaja sok sibuk mencari obat yang ku butuhkan sambil mencuri dengar obrolan mereka melalui ponsel.
Dari sini aku bisa tahu kalau yang menelfonnya adalah Farid, salah satu orang kepercayaan bu Prilly yang justru di bujuk untuk bekerja sama dengan pak Arsya dan juga Beno.
Karena suaranya dengan mode speaker, jadi selain dua pria itu, aku juga turut mendengarnya bahkan sangat jelas.
"Kamu gimana si, kemarin bilang mamah nggak terlibat soal menghilangnya Afi, tapi sekarang kamu bilang mamah tahu di mana Afi?" Ujar Arsya seperti merasa frustasi.
"Iya, pak. Baru tadi saya mendengar bu Prilly bicara dengan mbak Shema. Bu Prilly mengatakan kalau nona Afi ada di tangannya"
"Apa?" Tak hanya pak Arsya dan pak Beno yang kaget, aku pun kaget bukan main. Jelas-jelas aku ada di sini, kenapa bu Prilly mengatakan aku bersamanya?
Apa bu Prilly sudah tahu tentang aku, atau dia hanya sedang menakut-nakuti Shema? Secara bu prilly masih mencurigai dan mengira kalau shema tahu tentang aku.
Ah...
"Di mana mamah menyembunyikan Afi?" Tanya pak Arsya, memantikku kembali fokus menguping.
"Maaf, pak! Bu Prilly sama sekali tidak memberitahu di mana nona Afi. Ibu masih merahasiakannya, dan_"
"Dan apa?" Potong pak Arsya kilat. Farid seperti ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya yang menggantung tadi.
"Bu Prilly bilang, kalau beliau akan menyingkirkan nona Afi secepatnya, ibu juga hilang beliau tidak akan pernah membiarkan pak Arsya dan nona bersama"
"Lalu bagaimana jawaban Shema?" Tanya Beno kali ini.
"Maaf juga pak Beno, saya sama sekali tidak bisa mendengar suara mbak Shema di telfon, jadi saya tidak tahu apa yang di katakan mbak Shema"
"Benar dugaan saya, bos" Ucap Beno melirik ke pak Arsya. Dan pak Arsya hanya bisa mendesah lengkap dengan tarikan nafas berat.
"Okay, terus awasi mamah, dan segera beri tahu aku jika ada kabar selanjutnya" Lanjut pak Arsya merujuk ke ponselnya.
"Baik pak Arsya"
"Tetap hati-hati, jangan sampai mamah tahu kalau kamu mengawasinya"
"Siap, pak" Jawab Farid.
Obrolan selesai.
Begitu panggilan di tutup, Beno menatapku curiga, dan jantungku di dalam sana, entah bagaimana aku mengatasinya.
"Kamu ngapain di situ, Re?" Tanya Beno, terdengar sarkas.
"Saya_" Ku telan ludahku sendiri karena gugup, mungkin saja wajahku juga memerah "Saya mau ambil salep, pak" Mendengar jawabanku, reflek sepasang manik bulat pak Arsya mengarah tepat ke irisku. Aku bisa mengartikan kalau tatapannya itu seperti merasa sangat mengkhawatirkanku.
"Buat apa cari salep" Tanyanya tanpa ekspresi.
"Cuma terkilir sedikit pak"
"Kakinya?" Pak Arsya melirik ke kakiku.
"Bukan kaki, tapi tangan" Sahutku. Sedangkan Beno hanya diam menyimak.
"Hati-hati kalau bekerja. Nggak usah buru-buru"
"Iya, pak"
"Perlu ke dokter?"
"Tidak perlu, hanya sakit sedikit, kok"
"Hati-hati, ya!" Pintanya lembut.
"Baik, pak" Setelahnya, aku segera pergi ke dapur untuk melanjutkan sisa pekerjaanku.
Pak Arsya, kenapa memiliki hati sebaik itu? Sangat berbeda dengan mamahnya.
****
Malam harinya, ketika semua pekerjaan sudah selesai ku kerjakan, aku bergegas mandi dan sholat.
Setelah itu aku menghubungi nomor Shema berulang kali.
Hingga lebih dari sepuluh kali ku panggil ulang, wanita itu masih belum menjawabnya. Lebih tepatnya ponselnya sibuk, mungkin ada seseorang yang sedang menghubunginya. Selagi menunggu ponsel Shema bisa ku hubungi, aku mencoba rilex dan menenangkan diri.
Duduk di kursi rias menghadap ke cermin, ku tatap lekat-lekat wajahku yang terlihat lebih bersih dan lebih terawat dari sebelumnya.
Berada di sini aku benar-benar memiliki banyak waktu luang untuk merawat diri. Beda saat di rumah ku dulu, karena saking sibuknya dengan tugas sekolah, aku terkadang lupa meski hanya sekedar cuci muka sebelum tidur. Bukan lupa si, tapi lebih ke malas karena sudah terlalu letih. Akhirnya akupun mengabaikannya.
Lalu Shema? Entah apa yang terjadi dengannya saat ini.
Mendengkus lirih, ku raih satu buah rol, ku ambil sedikit rambutku bagian depan, kemudian ku gulungkan di rol tadi dan menjepitnya supaya kencang. Setelahnya baru ku ambil sebuah cream untuk ku oles di wajahku yang tampak lebih kenyal dan ternutri.
"Wah.. Lembut banget, kenyal kenyil kayak squishy"
Tiba-tiba pintu kamarku di ketuk dari luar, otomatis tanganku yang tengah memijit wajah terhenti.
"Rere!" Panggilnya sambil mengetuk untuk ke dua kali.
"Pak Arsya? Mau apa dia? Apa butuh bantuan?" Lirihku dengan hati penuh tanya lalu menelisik penampilanku.
"Nggak apa-apa kayak gini, kan mau tidur"
Aku bangkit, membiarkan rambutku tergerai dengan roll terdampar di atas dahi, ku sambar piyama panjang untuk menutupi tubuhku yang tadinya hanya tertutup daster selutut, lalu buru-buru melangkah ke arah pintu.
"Iya, pak!" Kataku, sesaat setelah aku membuka pintu kamar.
Bukannya menjawab, pak Arsya malah terbengong seraya menatapku tak berkedip.
"Pak!" Panggilku lagi yang masih belum ada respon.
"Pak Arsya!"
"Oh ya, maaf" Ujarnya gugup.
"Ada apa ya pak?"
"Ini, Shema menelfonku, dan ingin bicara denganmu"
Bersambung
semoga end nya nanti sudah baikan semua 😊