Berangkat dari cinta manis di SMA, Daris dan Felicia duduk bersanding di pelaminan.
Perkawinan mereka hanya seumur jagung. Felicia merasa tertipu dengan status sosial Daris. Padahal Daris tidak pernah menipunya.
Dapatkah cinta mengalahkan kasta, sementara berbagai peristiwa menggiring mereka untuk menghapus jejak masa lalu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon grandpa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Istri Pura-pura
Daris merasa cukup untuk mengenal lingkungan di mana Rania praktek, ia merasa tenang meninggalkan adiknya.
Namun ia tidak enak untuk pulang karena Fiona dalam perjalanan ke rumah Tiara.
Daris sedikit gelisah menunggu kedatangan Fiona, sebab gadis itu tahu keadaan dirinya yang sebenarnya.
Daris tidak ingin rahasianya terbongkar sebelum kerja sama terwujud.
"Aku lihat seperti ada yang dipikirkan," kata Pak Kades. "Apakah ada hubungannya dengan apa yang hendak dikerjakan?"
Mereka sedang meninjau lahan kosong untuk pembangunan usaha kuliner.
"Lokasi ini sangat strategis berada di persimpangan jalan," ujar Daris. "Aku jadi berpikir bukan hanya membuka usaha kuliner, juga suvenir dari kerajinan tangan warga setempat."
Lalu lalang kendaraan lumayan ramai, kebanyakan kendaraan bermotor, cukup untuk membuka usaha kuliner.
"Tahap awal kita bangun dua lokal, untuk kuliner dan suvenir, kemudian pembangunan selanjutnya kita lihat perkembangan."
"Aku pikir begitu."
"Jangan berharap payback secara cepat. Aku ingin kuliner dengan harga sangat terjangkau."
"Aku tidak berharap payback, aku berharap kau mampu menyediakan lapangan kerja."
"Payback perlu untuk menciptakan lapangan kerja baru."
"Terserah kau saja."
Pak Kades siap mengucurkan dana. Pembangunan dimulai minggu depan.
Kelonggaran Pak Kades dalam pengembalian modal memberi keleluasaan bagi Daris untuk berbisnis.
Daris tidak menyangka akan menemukan kehidupan yang hilang di pelosok. Kesempatan selalu datang dari arah tak terduga.
"Kau bisa kerja sama dengan kelompok kerajinan tangan di ujung kampung, sehingga mereka mempunyai pemasaran yang jelas."
"Aku juga akan memaksimalkan bahan kuliner dari hasil pertanian dan peternakan penduduk."
"Aku benar-benar bangga padamu. Kau pandai memberdayakan lingkungan."
Pujian sudah meluncur padahal usaha belum jalan. Daris berharap semoga tidak menjadi bumerang di kemudian hari.
Selesai peninjauan lahan, Daris keliling kampung dengan pick up melihat kehidupan penduduk.
Kesunyian adalah pemandangan yang terlihat, padahal lagi libur sekolah. Barangkali mereka membantu orang tua di sawah dan ladang.
"Aku seperti pernah melihat sedan itu."
Daris memperhatikan sedan yang lagi diangkat beberapa petani karena ban belakang selip ke saluran air.
Melintasi jalan persawahan berkerikil sangat berisiko jika kurang hati-hati.
Sedan itu kelihatannya terlalu ke pinggir saat berpapasan dengan colt membawa hasil panen.
"Aku ingat nomor polisinya ... sedan itu menyerempetku tempo hari."
Daris menghentikan pick up menunggu sedan keluar dari kubangan lumpur.
Pengemudinya lihai juga mengayun gas sehingga sedan berhasil kembali ke jalan.
Kemudian sedan berhenti di depan pick up karena sedikit menghalangi jalan.
Daris tercengang begitu tahu siapa yang mengemudi. Ia turun menyambut Tiara yang menghampiri.
"Mobilmu minggir sedikit, aku susah lewat."
"Sedanmu?"
"Ya."
"Minggu lalu pernah ke Bandung?"
"Ya."
Kesempatan bagi Daris untuk mem-bully Tiara, selama ini ia yang di-bully.
Sepandai-pandainya merpati terbang pasti buang kotoran di tanah juga.
"Kau ingat kejadian di jalan protokol pagi itu? Kau menyerempet pejalan kaki dan menciprati pakaiannya dengan air kotor."
Tiara mendadak pucat. "Bagaimana ... kau tahu?"
"Aku mengenal korban seperti aku mengenal diri sendiri."
"Jadi korban itu bestie mu?"
"Lebih dari aku sama kamu."
Tiara tampak gugup. Hari itu ia ada panggilan dari Dinkes, ia mengejar waktu, lalu menyerempet pejalan kaki.
Pulangnya Tiara mampir di lokasi kejadian, hatinya lega korban tidak masuk rumah sakit.
Tapi Tiara merasa berdosa.
"Aku kecewa punya sahabat tidak bertanggung jawab."
"Bukan tidak bertanggung jawab, aku takut jadi rica-rica kalau berhenti."
"Alasan."
"Pulangnya aku mampir, menurut saksi mata korban menderita luka ringan."
"Hatinya terluka berat karena orang kaya berbuat seenaknya terhadap orang miskin. Ia sangat dendam. Aku sampai susah meredakan emosinya."
Tiara merasa malu kejadian itu diketahui Daris dan sahabatnya jadi korban.
"Ia pasti menyantetmu kalau tahu kau seorang dokter. Bukan mengobati, malahan kabur."
Tiara jadi ngeri. Dukun beranak pasti membantu mengirim santet jika Daris berkicau pada warga.
"Aku bisa tutup mulut, tapi kau mesti membantuku."
"Membantu apa?"
"Kau menjadi istri pura-pura jika bertemu denganku di kota."
Tiara terpana. "Minta Fiona saja. Ia bisa menjadi istri sungguhan."
"Kawanku di kota kenal sama Fiona, pasti ketahuan kalau jadi istri pura-pura."
"Jadi istri sungguhan!"
Aku bisa diusir dua kali, keluh Daris dalam hati. Fiona pasti lebih sadis.
"Aku maunya istri pura-pura."
"Jika bertamu ke rumahmu juga?"
"Rumahku di kota kan?"
Daris ingin mengerjai Tiara. Ia pasti habis kena bully, kepala Puskesmas mau bersuami tukang soto mie.
"Aku minta kau siap jika sewaktu-waktu aku membutuhkan dirimu."
"Kecuali ada pasien."
"Deal."
Daris tertawa dalam hati melihat wajah Tiara kusut kayak benang layangan putus.
"Yang ikhlas dong. Aku pernah menolongmu menjadi pacar pura-pura."
"Kok jadi pamrih?"
"Bahkan belum cukup."
"Apa lagi?"
"Aku minta kau tidak membiarkan aku berdua sama Fiona, perasaanku kepada kalian sama."
"Aku tidak mau."
"Kalau begitu aku pulang sekarang. Masa bodoh dengan kalian, kecuali dengan istri pura-pura."
"Fiona memintaku untuk sesekali membiarkan kalian berdua."
Daris heran, buat apa mereka berduaan sementara mereka bukan siapa-siapa?
Mereka hanya membahas semut di dinding jika berdua.
Apakah Fiona ingin memastikan bahwa di dalam dirinya benar-benar tidak ada cinta?
"Kalau begitu kamu juga sesekali minta kepada Fiona untuk dibiarkan berdua denganku."
"Aku tidak mau."
Daris pura-pura mencari nomor kontak dan menghubunginya.
"Call siapa?"
"Korban tabrak lari."
"Sejak hari ini tidak ada waktu untuk berduaan, ke mana-mana kita mesti bertiga."
"Deal."
Gawai Tiara berbunyi. Pasti pasien yang hendak melahirkan di kampung sebelah.
Mereka kelamaan kongkow.
Tiara segera mengambil gawai di dashboard sedan. Ia mendelik dan memandang Daris.
"Jadi kau call aku, bukan bestie mu?"
"Satu lagi."
"Bodo."
Tiara masuk ke pick up, memarkirnya di pinggir sehingga sedan bisa masuk.
Ketika sedan masuk, Tiara bengong.
"Kau mau ke mana? Aku ada pasien di kampung sebelah."
"Kirain ngajak tukeran."
Daris turun dari sedan, berjalan ke pick up.
"Aku kelihatannya lama di kampung sebelah, kau temani Fiona nanti."
"Lalu kapan aku menemani kamu?"
"Temani sebentar saja. Rumah kosong."
"Kan ada mandor. Ia lagi broken heart kalah saing sama si Dadang."
"Fiona pasti marah-marah ke aku kalau kamu bikin gara-gara."
Daris kagum pada Tiara, ia mampu memadamkan api kemarahan seperti blangbir.
Persahabatan Daris dan Fiona barangkali sudah hangus kalau tidak ada Tiara, terutama minggu-minggu awal setelah perjodohan gagal.
Daris berharap Tiara juga jadi penyejuk untuk menghadapi hegemoni Felicia, meski tidak ada apa-apanya jika dibandingkan.
"Untuk apa sih kau undang Fiona ke rumahmu?"
"Untuk reuni. Ada view bagus untuk berkemah."
Tiara masuk ke sedan dan menghidupkan mesin.
Daris meledek, "Hati-hati, jangan nyerempet lagi. Ntar diminta jadi istri beneran."