Sulit mencari pekerjaan, dengan terpaksa Dara bekerja kepada kenalan ibunya, seorang eksportir belut. Bosnya baik, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Namun, istri muda bosnya tidak sepakat. Telah menatapnya dengan sinis sejak ia tiba. Para pekerja yang lain juga tidak menerimanya. Ada Siti yang terang-terangan memusuhinya karena merasa pekerjaannya direbut. Ada Pak WIra yang terus berusaha mengusirnya.
Apalagi, ternyata yang diekspor bukan hanya belut, melainkan juga ular.
Dara hampir pingsan ketika melihat ular-ular itu dibantai. Ia merasa ada di dalam film horor. Pekerjaan macam apa ini? Penuh permusuhan, lendir dan darah. Ia tidak betah, ia ingin pulang.
Lalu ia melihat lelaki itu, lelaki misterius yang membuatnya tergila-gila, dan ia tak lagi ingin pulang.
Suatu pagi, ia berakhir terbaring tanpa nyawa di bak penuh belut.
Siapa yang menghabisi nyawanya?
Dan siapa lelaki misterius yang dilihat Dara, dan membuatnya memutuskan untuk bertahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Altar Dupa
Dara duduk di kamar tidurnya yang sederhana. Di tangannya, ada sebuah foto. Dara memandangi foto itu dengan kening berkerut.
Pagi ini, ia mendapati foto itu terselip di bawah pintu kamarnya. Entah siapa yang menyelipkannya, antara Siti atau Pak WIra. Apa maksud mereka menyelipkan foto ini ke kamarnya, ia juga tidak mengerti.
Jika diamati lebih dekat, itu sangat mirip dirinya. Tepatnya, mirip penampilannya saat masih muda, ketika ia masih duduk di bangku SMP, sekitar usia empat belas atau lima belas.
‘Siapa gadis ini? Mengapa dia sangat mirip denganku?’ Benak Dara melontarkan ribuan tanya. Teka-teki tentang siapa Damar yang misterius tetapi mampu membuatnya tergila-gila belum terjawab. Sekarang, ada gadis ini.
Dara semakin yakin, ada sesuatu di rumah ini yang perlu ia ketahui.
Mengapa Pak Wira sangat membencinya dan terus menerus berusaha mengusirnya, itu juga sebuah pertanyaan yang harus dijawab.
Di hari ia dipergoki Pak Wira ketika pertama kali kembali dari pondok Damar, Pak Wira mendekatinya saat ia sedang duduk di tepi bak belut. Berpikir, jika dilihat-lihat, belut-belut itu imut juga. Saling tumpang tindih, berguling-guling malas, seperti dirinya jika enggan bangun, hanya menggeliat di atas tempat tidur tanpa berniat bangkit.
Dara tersenyum simpul, sambil sesekali meringis merasakan perih di area intimnya, yang masih mengeluarkan cairan cinta sisa semalam. Itu adalah pengalaman pertamanya. Wajar jika ia masih meremang memikirkannya.
Karena itu, ia perlu pengalihan agar tidak melamunkan itu terus, atau ia akan kembali berlari ke pondok Damar untuk meminta dan memohon. Lagi pula, jika siang Damar selalu tidak ada, sepertinya pergi untuk bekerja di tempat lain.
Tiba-tiba saja Pak Wira telah berdiri di sisinya. Dara tidak mendengar suara ketukan kruk yang beradu dengan lantai semen. Sepertinya Pak Wira berjalan sepelan mungkin, dan alas kruknya yang lepas telah kembali dilapisi karet.
Tangan Pak Wira yang kasar dan kuat memegang lengannya, membuat Dara tersentak menoleh. Pak Wira hampir memaksanya untuk mendengarkan.
“Lo gak punya tempat di sini!” Suara Pak Wira sedingin es. Matanya yang hampir keluar menatap setajam pisau, dengan intensitas yang membuat Dara bergidik.
“Pak, saya hanya mencoba bekerja,” Dara berusaha tenang, meskipun jantungnya berdebar sangat kencang, seolah memberontak ingin keluar dari kungkungan tulang rusuknya.
“Huh!” Pak Wira mendengkus. “Bekerja lo bilang? Itu apa? Apa dipikir gak ada yang bisa lihat?!” Pak Wira menunjuk leher Dara, yang walaupun berusaha ditutupi dengan kaos berleher kura-kura, tetap tidak sepenuhnya menutupi jejak-jejak kemerahan di sana. Apalagi, Pak Wira sudah melihatnya dengan jelas dan terang benderang ketika ia kembali tadi.
Dara hanya bisa menunduk, tidak tahu harus bagaimana bereaksi.
“Jangan dikira lo cuma satu-satunya!” Kalimat sinis Pak Wira membuat Dara mendongak.
“Pak Wira… kenal…?” Dara hampir melontarkan nama Damar, sebelum ia menelannya kembali. Pak Wira boleh berprasangka, tetapi Dara tidak boleh mengonfirmasi. Agar pertemuan berikutnya dengan Damar tetap bisa dilakukan. Begitu pikir Dara.
Lagi pula, itu pertanyaan bodoh. Tentu saja Pak Wira kenal Damar, bukankah mereka adalah rekan kerja?
“Gua kerja hampir dua puluh tahun di sini, hampir seumuran lo! Apa yang gua gak tahu?” Pak Wira kemudian menunjuk wajah Dara, hampir di depan hidungnya. “Kalau ada apa-apa, jangan bilang lo gak pernah dikasih peringatan.” Nadanya mengancam.
Lalu dia melengos, meninggalkan Dara yang termangu. Bukannya menjawab semua tanda tanya di kepalanya, Pak Wira justru semakin menambah kabut di teka-teki yang kusut, membuatnya kian karut.
Walaupun demikian, Pak Wira tidak melakukan apa-apa. Selain kata-kata tajam, dia tidak pernah memperlakukan Dara dengan kasar. Karena itu, Dara mengabaikannya, tetap pergi menemui Damar setiap malam. Dorongan untuk berjumpa dengan lelaki itu lebih kuat dari apa pun, Dara tidak mampu menepisnya.
Dan kini, foto di tangannya ini, Dara yakin pasti diselipkan Pak Wira. Pasti. Karena dari interaksi hampir dua bulan ini, sikap Siti lebih menunjukkan iri. Tetapi Pak Wira, sangat jelas berusaha membuatnya angkat kaki dari sini.
‘Tapi mengapa dengan cara menyelipkan foto?’ Dara berpikir keras. Mematung di tepi tempat tidurnya tanpa bergerak.
Tiba-tiba, entah sebuah ide dari mana, seolah ada bisikan gaib yang berbisik agar ia melangkah, Dara bangkit.
Kakinya bergerak ke arah rumah utama. Gedung mewah dimana biasa Oom Bernard dan Tante Mir tinggal. Selama ini, Dara hanya pernah berada di ruang makannya, ketika Oom Bernard memasak dan mengajak ia dan Siti makan bersama.
Dara tiba di gedung itu, mengedarkan pandangan. Ruang makannya terbuka, setelah itu adalah ruang tamu atau ruang keluarga. Dara melangkah masuk, di sekitar ruang keluarga, ada beberapa pintu yang tertutup. Sepertinya itu kamar-kamar tidur.
Tiba-tiba, seolah ada sebuah aroma yang memasuki penciuman Dara. Semacam bau dupa. Bukan semacam, ini memang bau dupa!
Mata Dara menelusuri tempat itu, dan berhenti di sebuah altar di ujung ruang keluarga. Meskipun Oom Bernard dan Tante Mir tidak ada, ada tiga dupa yang masih menyala di antara sisa-sisa batang dupa yang telah habis terbakar.
Itu baru dinyalakan. Siapa yang menyalakannya?
Dara mendekat.
Ia melihat, di balik buah-buahan persembahan, ada foto seorang gadis. Gadis yang sama dengan foto yang diselipkan di bawah pintunya.
Dara bingung. Bukankah Oom Bernard dan Tante Mir tidak memiliki anak? Lalu, siapa gadis itu? Dan mengapa diletakkan di altar? Apakah berarti gadis itu telah meninggal? Mengapa tidak ada yang pernah membahas atau memberitahunya?
Baiklah, yang lain tidak perlu memberitahunya. Tapi Oom Bernard, mengapa juga tidak pernah bercerita apa-apa tentang gadis itu? Apakah Oom Bernard ingin mengangkatnya sebagai anak karena ia mirip dengannya?
Tapi… jika gadis itu adalah anak mereka, mengapa Tante Mir bukannya menyambut dengan sukacita, malah selalu meliriknya dengan sinis?
Beribu pertanyaan berputar-putar di kepala Dara tanpa ia tahu harus bertanya pada siapa.
Dara membalikkan tubuh, mulai berjalan ke pintu-pintu tertutup itu. Mencoba mendorong salah satunya, tetapi terkunci. Ia beralih ke pintu yang lain. Dan ternyata, itu terbuka!
Haruskah ia masuk? Bukankah tidak sopan memasuki kamar seseorang tanpa izin, apalagi ketika pemiliknya sedang tidak ada?
Dara mematung di depan pintu itu. Ia sungguh bimbang.
yang masih jadi pertanyaan di benakku adalah, asal usul Damar.
keren abis
penulisan biar alur maju mundur tapi runtut
semoga banyak yg baca dan suka Thor semangat
sehat selalu author