IG ☞ @embunpagi544
Elang dan Senja terpaksa harus menikah setelah mereka berdua merasakan patah hati.
Kala itu, lamaran Elang di tolak oleh wanita yang sudah bertahun-tahun menjadi kekasihnya untuk ketiga kalinya, bahkan saat itu juga kekasihnya memutuskan hubungan mereka. Dari situlah awal mula penyebab kecelakaan yang Elang alami sehingga mengakibatkan nyawa seorang kakek melayang.
Untuk menebus kesalahannya, Elang terpaksa menikahi cucu angkat kakek tersebut yang bernama Senja. Seorang gadis yang memiliki nasib yang serupa dengannya. Gadis tersebut di khianati oleh kekasih dan juga sahabatnya. Yang lebih menyedihkan lagi, mereka mengkhianatinya selama bertahun-tahun!
Akankah pernikahan terpaksa ini akan membuat keduanya mampu untuk saling mengobati luka yang di torehkan oleh masa lalu mereka? Atau sebaliknya, hanya akan menambah luka satu sama lainnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 8 (Tak berperasaan)
Hari sudah mulai malam ketika kakek Senja telah selesai di makamkan. Semua yang ikut ke pemakaman mulai bubar satu persatu. Tersisa Keluarga kakek Senja dan Elang serta Kendra.
Senja terus berusaha menahan tangisnya selama pemakaman meski kadang tetap saja air matanya keluar tanpa bisa ia cegah lagi.
Detik kemudian, Winda mengajak Dina dan Dino pulang ke rumah.
"Kak, ayo kita pulang!" ajak Dino kepada Senja.
"Kalian pulang duluan saja, aku masih ingin di sini," ucap Senja.
"Dino ayo cepat! Ngapain ngajakin wanita pembawa sial itu pulang. Itu bukan rumah dia. Kakek kalian sudah tidak ada, jadi kita juga sudah tidak ada urusan lagi sama dia. Terserah dia mau tetap di sini atau kemanapun bukan urusan kita," ucap Winda.
"Tapi ma, kakak mau pulang kemana kalau tidak ke rumah. Itu juga rumah kak Senja," tukas Dino.
"Tidak ada tapi-tapian! Cepat ikut kami pulang atau mau tidur di sini bersama dia!" bentak Winda.
"Dino pulanglah. Jangan khawatir, kakak bisa jaga diri," ujar Senja.
"Tapi kak..." Dino merasa tak tega meninggalkan Senja.
"Kau jangan khawatir, aku akan menjaganya," ucap Elang kepada Dino. Ia benar-benar tak habis pikir ada orang sejahat itu, bahkan jika Senja bukan keluarga kandung sekalipun, tak pantas mereka memperlakukannya seperti itu.
"Baguslah kalau kau mau memungutnya. Bawa di jauh-jauh dari kami," Winda melirik sinis ke arah Senja.
"Titip kakakku, jaga dia," ucap Dino.
"Hem, jangan khawatir," sahut Elang.
Dino pun berjalan menyusul ibu dan kakaknya.
"Tunggu!" Elang menghentikan langkah Winda dan kedua anaknya tersebut.
"Apa lagi? Jangan bilang kau menyuruhku untuk mengajaknya pulang," ucap Winda sinis.
"Aku hanya ingin memberikan janjiku kepadamu," sahut Elang.
"Kend..." Elang memberi isyarat kepada Kendra untuk melakukan sesuatu.
Kendra mengeluarkan sebuah cek berisi nominal yang sangat banyak dan memberikannya kepada Winda.
"Ini nyonya, sesuai janji bos saya," ucapnya sambil menyodorkan cek tersebut kepada Winda.
Winda menerima cek itu dan cukup tercengang melihat angka yang tertulis di kertas kecil berbentuk segi panjang tersebut.
"Ini cek asli kan? Kalian tidak sedang menipuku kan?" Winda meragukan keabsahan cek tersebut. Ia tak yakin Elang sekaya itu yang bisa memberinya uang dengan jumlah banyak.
"Anda bisa mengeceknya nyonya," sahut Kendra.
"Bawa cek itu bersama kalian, saya rasa itu lebih dari cukup dan jangan pernah ganggu dia lagi!" tegas Elang sambil mengalihkan pandangan ke arah Senja yang masih setia dengan posisi jongkoknya di samping makam sang kakek dan tak mempedulikan apa yang sedang mereka perbincangkan.
"Ya cukup, apa kau sekalian membeli dia dengan cek ini? Cih! Apa bagusnya dia," menunjuk ke arah Senja dengan menaikkan satu sudut bibirnya ke atas.
"Jaga mulutmu, atau kau akan tanggung akibatnya!" Sentak Elang yang murka mendengar ucapan Winda, seakan Senja adalah wanita murahan dan dia seorang laki-laki hidung belang.
Rahang Elang mengeras menahan amarahnya. Kalau tidak mengingat keadaan yang masih berduka, sudah ia beri wanita itu pelajaran.
"Ma, sudahlah. Jangan cari ribut di sini, kasihan kakek. Tanah kuburnya saja masih basah. Ayo sekarang kita pulang," ucap Dino.
"Iya ma, buat apa kita lama-lama di sini. Ayo pulang aja," imbuh Dina.
Wind pun menuruti kedua anaknya, ia berjalan di depan Dina dan Dino.
"Maafkan mama saya, saya pulang dulu. Tolong jaga kakak saya," ucap Dino yang sebenarnya tak tega meninggalkan Senja sendirian.
Elang diam, ia tak menyahut ucapan Dino. Kelewat marah dengan ibu dan juga kakaknya.
🌼🌼🌼
"Bos, hari semakin larut. Sebaiknya kita kembali sekarang," ucap Kendra.
Elang diam tak menyahut, matanya fokus menatap gadis yang masih belum mau beranjak dari makam kakeknya tersebut.
"Bos..." panggil Kendra sedikit keras.
Elang on menoleh ke arah Kendra.
"Hari semakin larut, sebaiknya kita kembali sekarang," Kendra mengulangi ucapannya.
Elang melihat jam di tangan kanannya.
"Sudah malam, ayo kita pulang!" Ajaknya kepada Senja.
"Pulang? Apa Kamu tak mendengar tadi? Tante sudah tidak mengijinkan saya kembali ke rumah. Kalian pulang saja sendiri, tak usah mempedulikan saya," sahut Senja.
"Ikutlah denganku!" ucap Elang.
"Tidak, saya tidak ingin merepotkan siapapun! saya bisa jaga diri,"
"Jangan keras kepala, ikutlah denganku!" seru Elang.
"Saya bilang saya tidak mau! Punya hak apa Anda mengatur saya?" sentak Senja sambil berdiri dan menatap tajam Elang.
"Saya calon suami kamu," jawaban Elang sukses mengunci rapat mulut Senja.
Senja diam tak berkomentar, ia melihat jam di tangannya lalu berjalan mendahului Elang. Elang dan Kendra hanya mengikutinya dari belakang.
"Antarkan saya ke rumah tante saya!" pinta Senja setelah mereka bertiga masuk ke dalam mobil Elang.
"Kenapa kau keras kepala? Mereka sudah mengusirmu," ucap Elang.
"Tolong jalan sekarang dan antarkan saya ke sana," Senja melihat ke arah Kendra yang duduk di belakang kemudi tanpa menyahut ucapan Elang.
"Bos..." Kendra meminta persetujuan Elang.
"Turuti saja kemauan dia," ucap Elang acuh.
Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang menuju rumah Winda.
"Terima kasih sudah mengantar saya, kalian bisa pergi sekarang. Dan urusan menikah, Kamu jangan khawatir, saya tidak menuntut untuk di nikahi. Kamu tidak perlu merasa terbebani dengan amanah kakek saya," ucap Senja lalu melepas sabuk pengamannya dan turun dari mobil.
"Bos, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Kendra melihat ke kaca mobilnya untuk melihat ekspresi wajah bosnya.
"Kita tunggu saja beberapa saat di sini!" sahut Elang sambil memperhatikan langkah kaki Senja masuk ke dalam rumah.
Tak lama kemudian, Senja keluar lagu dari rumah itu. Ternyata ia kembali ke rumah itu hanya untuk mengambil tas dan ponselnya. Bahkan baju ganti pun ia tak membawa sama sekali.
Senja memicingkan matanya ke arah mobil Elang yang masih di sana. Ia tak mendekat ke arah mobil namun berjalan menjauhi mobil.
"Bos..."
"Ikuti saja dia pelan-pelan," perintah Elang. Mobil pun berjalan lambat berjarak cukup jauh dari Senja.
"Bos, apa tidak sebaiknya kita meminta nona Senja untuk masuk ke dalam mobil saja. Sepertinya akan turun hujan," ucap Kendra.
"Biarkan saja dulu, nanti dia lama-lama juga capek berjalan terus,"
Kendra tak bisa berkata apa-apa kecuali mengikuti ide konyol bosnya yang menurutnya sudah seperti seorang penguntit tersebut.
Senja terus saja berjalan tanpa menoleh ke belakang sekalipun. Ia tak tahu harus kemana, pikirannya benar-benar buntu untuk berpikir saat ini. Yang ia tahu hanya berjalan dan berjalan.
🌼🌼🌼
💠Selamat membaca...jangan kupa like, komen dan vote seikhlasnya...Terima kasih 🙏🙏
Salam hangat author 🤗❤️❤️💠