Gara-gara sahabat baiknya hamil menjelang kenaikan kelas 12, impian Alea untuk mengukir kisah kasih di sekolah dengan Dion, kakak kelasnya, harus buyar sebelum terwujud.
Dengan ancaman home schooling dan dilarang melanjutkan kuliah, Alea harus menerima keputusan ketiga kakak laki-lakinya yang mengharuskan Alea menikah dengan Yudha, sahabat Benni kakak keduanya.
Pernikahan tanpa cinta itu membuat hidup Alea kacau saat tidak satu pun dari kakaknya yang mau percaya kalau Yudha memiliki rahasia kelam sebelum menikahi Alea.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemasnya Alea
Sudah lebih dari 5 kali Alea menghubungi Yudha tapi selalu tersambung dengan penjawab otomatis dan pesan yang dikirimnya 'hanya centang 1.
Akhirnya Alea memutuskan untuk menghubungi mama Kinasih namun reaksi calon mertuanya itu sungguh di luar kebiasaan membuat Alea merasa ada sesuatu yang salah.
Tidak ada teguran keras atau nada ketus dalam percakapan mereka tapi Alea bisa menangkap kalau mama Kinasih sedang kesal padanya.
Selain canggung, sikap mama Kinasih membuat Alea merasa tidak nyaman dan sedih karena satu-satunya yang membuat Alea senang dengan pernikahannya adalah mama Kinasih. Perhatian dan kasih sayang yang diberikan mama Kinasih membuat Alea merasa memiliki orang tua lagi.
“Nanti mama sampaikan ke Yudha kalau kamu telepon,”
“Terima kasih, Ma. Mas Yudha sudah lebih baik ?”
“Semoga.”
Alea tersenyum getir mendengar jawaban mama yang singkat. Untung saja mama Kinasih tidak bisa melihat ekspresi wajahnya yang sedih tapi bukan karena Yudha sakit.
“Jaga kesehatan, Ma..”
“Ya.”
Alea kembali dikejutkan karena mama Kinasih langsung menutup panggilannya setelah menjawab singkat.
Ada rasa cemas yang tiba-tiba muncul. Alea mengharapkan pernikahannya batal tapi tidak mau kehilangan sosok mama Kinasih dalam hidupnya.
**
Sekitar jam 10 malam Benni tiba di rumah sedangkan Bara sedang tugas ke Surabaya. Lampu ruangan masih menyala semua, Benni menebak kalau Alea ketiduran di kamarnya sampai lupa mematikan lampu. Ia pun naik ke lantai 2 dan setelah mengetuk beberapa kali akhirnya Benni membuka pintu kamar Alea yang tidak dikunci.
Benni tersenyum melihat adiknya tertidur di ranjang. Dengan sangat hati-hati Benni menyelimuti tubuh Alea dan mengambil handphone yang masih berada di dalam genggamannya. Untung saja Alea tidak terbangun hanya menggeliat merubah posisi tidurnya.
Tidak bisa menahan rasa ingin tahunya, Benni memeriksa handphone Alea menggunakan sidik jari pemiliknya. Begitu terbuka, ternyata Alea sedang menunggu balasan pesan dan telepon dari Yudha. Semua pesan yang dikirim Alea masih centang 1.
Mas Yudha sakit apa ? Sudah minum obat ?
Mas Yudha sudah makan ?
Maaf tadi aku lagi kumpul sama Eva, Rangga dan Tio membahas soal kuliah. Lupa kalau nada dering handphone belum diaktifkan dan masih ada di dalam tas.
Mas Yudha udah makan ? Sudah minum obat ?
Mas Yudha lagi pingin makan apa ? Aku bisa pesankan lewat aplikasi, kasih alamat Mas Yudha aja.
Benni tersenyum membaca sederetan pesan yang dikirim Alea dengan waktu yang berbeda-beda dan beberapa panggilan telepon yang sudah pasti tidak dijawab oleh Yudha. Entah karena Yudha sengaja mematikan handphonenya atau karena kehabisan daya hingga mati sendiri.
Hati kecil Benni merasa iba saat menatap wajah polos Alea yang sedang tertidur pulas. Sejujurnya Benni belum mau menikahkan Alea di usianya yang masih belia tapi ia sendiri tidak bisa menjaga adiknya itu karena sebentar lagi akan bertugas ke Kalimantan untuk mengawasi pembangunan beberapa fasilitas di IKN dan entah berapa lama ia akan meninggalkan Alea sendirian.
Yudha pria yang baik dan bertanggungjawab namun ada rasa khawatir saat tahu Karina kembali dan ingin kembali dengan mantan kekasihnya.
Biar bagaimana Yudha tetaplah manusia biasa, kehadiran Karina yang pernah singgah di hati pria itu bisa saja menjadi godaan di saat ia lelah menghadapi Alea yang terlalu polos dan jujur dengan perasaannya kalau ia tidak mencintai Yudha.
“Semoga pernikahan kalian akan membawa kebahagiaan untukmu, Lea,” bisik Benni sambil mengusap kepala adiknya dengan penuh kasih sayang.
***
Yudha menggeliatkan badannya saat cahaya matahari mulai menyusup di antara kisi-kisi jendela kamar. Matanya menyipit mencari-cari handphone di atas nakas dan begitu menekan layarnya, Yudha baru sadar kalau gawainya mati total karena lupa diisi ulang.
Tubuhnya jauh lebih baik, sudah tidak demam dan pusing lagi. Perlahan Yudha bangun dan duduk di tepi ranjang. Waktu menunjukkan pukul 7 pagi.
Yudha meraih handphone yang masih tersambung kabel pengisi daya. Ternyata banyak pesan masuk yang belum terbaca bahkan cukup banyak panggilan telepon yang tidak terjawab. Bibirnya langsung menyunggingkan senyum saat melihat nama Alea berada di urutan pertama di barisan pesan masuk.
Selamat pagi Mas Yudha, sudah lebih baik ? Kalau masih sakit jangan kerja dulu.
Lea sekolah dulu. Jam setengah sebelas sekolah sudah bubar, nanti Lea telepon.
Yudha melanjutkan membaca sederetan pesan yang dikirim Alea dari kemarin siang. Dahinya sempat berkerut mencoba mengingat kenapa semua pesan itu baru masuk pagi ini. Seingat Yudha sebelum tidur ia hanya menon-aktifkan nada dering bukan mematikan handphonenya.
“Sudah bangun Yud ?”
Yudha menoleh, melihat mama Kinasih masuk sambil membawa nampan berisi mangkuk dan 2 gelas air.
“Sudah baikan, Ma, sarapannya di bawah aja.”
“Nggak apa-apa, sudah tanggung sampai di sini.”
“Aku sikat gigi dulu.”
Yudha beranjak bangun dan pergi ke kamar mandi yang ada di luar kamar. Niatnya hanya ingin membasuh wajah dan sikat gigi akhirnya lanjut dengan mandi pagi. Tubuhnya yang lengket terasa segar kembali setelah kemarin sore dilarang mandi karena suhu tubuhnya kembali tinggi dan Yudha sempat menggigil.
Begitu kembali ke kamar, mama Kinasih masih duduk di dekat ranjang. Tatapan wanita baya itu terlihat sendu membuat Yudha menghela nafas karena bisa menduga penyebabnya.
“Apa kemarin Alea sempat telepon mama ?” tanya Yudha sambil mengambil pakaian dari dalam lemari.
“Iya.”
Yudha tersenyum tipis dan mendekati mama Kinasih begitu selesai berpakaian. Ia pun duduk di tepi ranjang dan menggenggam jemari tua mamanya.
“Alea tidak seburuk dugaan mama kan ? Dia mengirimkan banyak pesan untukku dan menghubungiku beberapa kali tapi ternyata handphoneku mati.”
“Bukannya mati tapi sengaja mama matikan supaya tidak menganggu waktu istirahatmu. Mama juga sudah menyuruh Imam untuk menanangani masalah kantor sampai kamu sehat. Kalau Alea pasti terpaksa menghubungimu karena disuruh kakaknya.”
Yudha nampak terkejut, tidak menyangka kalau mamanya akan berpikiran negatif seperti ini pada Alea.
“Kenapa sikap mama berubah pada Alea ? Bukankah mama sendiri yang menasehati aku supaya belajar sabar dan memahami Alea selain usianya masih muda, mama bilang Alea pasti tidak menduga harus menikah secepat ini.”
Mama Kinasih menghela nafas berat dan membuang muka ke samping supaya Yudha tidak bisa melihat matanya yang mulai berkaca-kaca.
“Tapi mama tidak menyangka dia akan membuat hatimu susah. Mama melihat sendiri beberapa kali kamu kecewa dan sedih karena perlakuan Alea padamu. Kenapa kamu masih bersikeras mempertahankannya ? Kamu pria mapan yang punya wajah tsmpan, banyak perempuan yang bersedia menjadi istrimu. Apa kamu menikah hanya demi dipuji orang karena bisa punya istri yang masih muda ?”
Yudha menggeleng sambil tertawa pelan. Tangannya masih menggenggam jemari mama Kinasih.
“Tolong berikan kami restu dan percayalah kalau Alea adalah istri yang tepat untukku.”
Kinasih hanya bisa menghela nafas menghadapi anaknya yang keras kepala.
lanjut..lanjut