Shahira atau lebih akrab dipanggil Ira. Dia dijuluki perawan tua, karena belum juga menikah bahkan diusianya yang sudah menginjak 34 tahun. Dia menjadi bahan gunjingan ibu ibu komplek.
Shahira pernah di lamar, tapi gagal karena ternyata pria yang melamarnya menyukai adiknya, Aluna.
Tapi, kemudian Ira dilamar lagi oleh seorang nenek untuk menjadi istri dari cucu kesayangannya. Nenek itu pernah di tolong Shahira beberapa waktu yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Sepulang dari pertemuannya dengan Randi, Ira menjadi lebih pendiam. Begitu banyak pertanyaan dikepalanya yang membuatnya merasakan pusing dan bahkan sampai mengalami muntah.
Marni yang melihat keadaan itu tidak tinggal diam. Dia tersenyum senang karena mengira Ira mungkin hamil. Tanpa pikir panjang, dia menelpon Nicho dan menceritakan apa yang terjadi pada Ira.
"Kamu masih mual, nak?" tanya Marni yang kembali mendekati Ira dan mengelus punggungnya.
Hwuekkk
Hwuekkk
Ira masih terus muntah, sampai kepalanya terasa semakin sakit dan bahkan suhu tubuhnya memanas.
"Ra, kamu demam nak. Panasnya tinggi sekali." Marni panik. Dengan tertatih dia merangkul Ira menuju kamar.
"Ibu sudah menelpon Nicho. Sebentar lagi dia akan tiba. Ibu juga menelpon adik, ibu pikir kamu harus diperiksa."
Ira tidak mengatakan apapun. Pandangannya kosong dan dia berakhir pingsan. Untunglah saat pingsan, tubuhnya sudah terbaring di atas ranjangnya.
Tidak berselang lama, Aluna dan Nicho tiba bersamaan. Tentu saja Nicho memberi tumpangan pada Aluna, karena memang tadi mereka berada di apartemen yang sama.
"Buk, apa yang terjadi? Kakak kenapa?" Tanya Aluna dengan wajah khawatirnya.
"Tadi kakakmu muntah muntah..."
Nicho menerobos masuk ke kamar, mengabaikan mertuanya dan Aluna yang masih berbincang.
"Sha... Shahira..." panggil Nicho dengan suara sangat lembut.
Dia duduk di pinggir ranjang, kedua tangannya menyentuh wajah Ira. Dia sangat mengkhawatirkan istrinya, matanya tidak bisa bohong.
"Sha, kamu demam. Kita kerumah sakit ya!" Nicho merangkul punggung Ira, membuat Ira bersandar pada nya dan memastikan kepala Ira bersandar di pundaknya.
"Mas, aku periksa kak Ira dulu ya. Aku bawa peralatan lengkap." ujar Aluna.
"Hmm, cepat lakukan." tapi Nicho tidak melepaskan Ira sama sekali.
"Mas bisa baringkan kakak..."
"Periksa seperti ini saja!" Titahnya tegas tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Ira.
Aluna kesal, tapi dia tahan karena ada ibu di sampingnya.
Dia pun mulai memeriksa suhu tubuh Ira, detak jantung, lalu memeriksa mata dan mulut kakaknya yang ternyata hanya demam biasa.
"Kakak hanya demam biasa. Sepertinya kakak kelelahan."
"Loh, kakakmu gak hamil, dek?" tanya Marni yang membuat Nicho dan Aluna terperangah kaget.
"Maksud ibu?" tanya Nicho ragu.
"Ya, tadi Ira muntah muntah. Ibu pikir sepertinya dia... hamil."
Aluna menatap tepat kedua bola mata Nicho yang juga menatap kearahnya hanya sebentar, lalu mata Nicho beralih menatap wajah pucat Ira.
"Ira tidak hamil, buk." jawab Nicho sambil menyibak anak rambut yang menutupi wajah Ira.
Ini pertama kalinya Nicho melihat Ira tanpa jilbab.
"Sha, bangun sayang. Mas disini. Maaf ya, mas terlalu sibuk sampai sampai mengabaikan kamu." ucap Nicho lembut sekali.
Marni melihat jelas betapa Nicho mencintai putrinya. Aluna juga dapat melihat itu dan tentu saja dia kesal.
"Bu, aku harus segera kembali ke rumah sakit."
"Loh kakakmu bagaimana?"
"Hanya demam biasa. Kompres aja, sama minum obat. Kakak hanya perlu istirahat." ucapnya tanpa mau menatap ibunya, karena raut wajah marahnya sangat jelas saat ini.
Aluna keluar dari kamar Ira setelah meninggalkan obat demam. Marni mengikuti untuk mengantar Aluna kedepan.
"Ibu sudah gak demam?"
"Tidak, dek. Ibu sudah baik baik saja sekarang."
"Ya sudah, kalau begitu aku pergi dulu ya buk."
"Tidak bisa menginap malam ini, dek?"
"Gak bisa buk, aku pulang hanya untuk memeriksa kak Ira."
"Ya sudah, kalau begitu hati hati ya, dek." Marni memeluk putri bungsunya itu.
"Ibu juga jaga kesehatan."
Setelah mencium kening ibunya, Aluna pun benar benar pergi dengan menggunakan jasa ojol. Marni sendiri tadinya hendak memeriksa Shahira tapi dia urungkan saat melihat Nicho yang begitu baik merawat Ira.
"Ibu bahagia, kak. Akhirnya kamu punya suami yang luar biasa perhatian. Ibu selalu berdoa untuk kebahagiaan kamu sayang." gumam Marni dalam hatinya sebelum akhirnya dia kembali ke kamarnya.
Sedangkan Nicho sendiri saat ini mengelap bagian wajah, leher tangan dan kaki Shahira dengan handuk basah.
"Sha, panas banget ya? Haruskan aku lepas bajumu?!"
Nicho bicara sendiri. Dia sangat khawatir saat ini. Tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk merawat Ira. Ini pertama kalinya dia merawat seseorang yang sedang demam.
Mendapati suhu tubuh Ira semakin panas, Nicho akhirnya memutuskan melepas pakaian yang Ira kenakan dan menggantinya dengan piyama yang jauh lebih tipis dari pakaian sebelumnya.
Setelah mengganti pakaian Ira, Nicho pun menyempatkan mandi dan berakhir hanya memakai celana boksernya saja. Dia berbaring diranjang yang sama dengan Ira, memeluk Ira sambil mengganti handuk basah dan terus memeriksa suhu tubuh Ira sampai dia tidak sadar tertidur lelap saat azan subuh hampir berkumandang.
Ira membuka matanya kala cahaya matahari menyilaukan menusuk masuk melalui jendela kamarnya. Kepalanya masih terasa pusing. Matanya mengedar kebagian sisi kamarnya, mencoba mencari tahu apa yang terjadi sebelumnya.
Terakhir yang teringat masih malam hari dan dia muntah. Sekarang saat membuka mata sudah siang, bahkan matahari sudah berada di puncak.
"Ira, nak. Kamu sudah bangun!" Marni datang membawakan nampan berisi semangkok bubur dan segelas air putih.
"Ibu, apa yang terjadi?" mencoba duduk dan bersandar di kepala ranjangnya.
"Kamu demam. Tadi malam suhu tubuhmu sangat tinggi sampai kamu pingsan." Marni mengecek kening Ira dengan punggung tangannya.
"Sekarang panasnya sudah menurun."
"Ibu yang mengganti bajuku?"
Ira menyadari pakaiannya sudah berganti. Sementara yang mengganti pakaiannya tadi malam sudah menghilang sejak beberapa jam yang lalu.
"Suamimu."
"Hah?!"
"Tadi malam saat kamu pingsan ibu menelpon Nicho sama adek. Mereka datang."
Shahira menghela napas dalam sambil memejamkan matanya kala mendengar Aluna dan Nicho datang bersama ke rumah ibu tadi malam.
"Adek memeriksa keadaan kamu. Ibu pikir kamu hamil karena muntah muntah. Eh kata adek kamu cuma demam aja."
"Ha-hamil?!"
"Iya. Ibu berpikir begitu." jawab Marni dengan senyum malu malu.
"Aku tidak mungkin hamil, buk."
"Loh kenapa tidak mungkin. Kamu sudah menikah hampir sebulan, dulu ibu waktu mengandung kamu saat pernikahan ibu sama ayah baru memasuki minggu ke tiga loh." tuturnya antusias.
"Mas Nicho tidak mencintaiku buk. Dia menikahi aku demi nenek. Dan aku masih belum disentuh sama sekali. Bagaimana mungkin aku bisa hamil." ucap Ira tanpa jeda dengan nada suara yang tenang.
Senyum di wajah Marni hilang seketika mendengar penjelasan Ira barusan. Mendadak dia tidak tahu harus merespon seperti apa.
"Nicho mungkin mencintai wanita lain, buk."
"Kamu ngomong apa, Ra. Mana mungkin Nicho mencintai wanita lain. Tadi malam saja dia merawat kamu dengan penuh cinta. Dia sangat mengkhawatirkan kamu..."
Ira menatap wajah ibunya dengan tatapan sendu dan iba membuat Marni bergegas memberi pelukan hangat pada putrinya yang masih demam itu.
semoga ibu nya shahira cpt tau kelakuan aluna merusak keretakkan rumah tangga kakak nya sendri biar ibu merasa menyesal