Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Di hari Sabtu ini, suasana langit begitu cerah. Saking cerahnya, bahkan awan pun tidak mau melukiskan dirinya di sana. Membiarkan langit terlihat bersih tanpa noda bagi yang memandanginya.
Tak terkecuali bagi Medina dan Halim yang berada dalam ruangan yang sama. Berbagi udara yang sama. Saling bertatapan dan mengagumi dalam diam yang sama.
Semenjak Halim bilang ingin segera menghalalkannya, Medina jadi tidak tenang. Setiap tak sengaja bertatap mata dengan Halim, jantungnya jadi mendadak dugem.
Kalau dibilang senang, of course! Senang dong tentunya. Tapi Medina tidak mau terlalu ber-euforia dalam hati. Karena kita tidak ada yang tahu bagaimana takdir kita ke depannya ‘kan?
Mungkin dia akan meledakkan rasa bahagianya saat proses ijab kabul antara dirinya dan Halim benar-benar terlaksana.
“Medina.”
Medina mengangkat wajahnya saat namanya dipanggil. Tak sengaja dia langsung bertemu tatap dengan orang yang memanggilnya.
Tatapan mata tajam berbarengan dengan sendu itu berbaur menjadi sesuatu yang sukses membuat grogi.
Mereka saling bertatapan beberapa detik, sebelum Medina tersadar dengan yang dilakukannya. Medina langsung mengalihkan netranya ke arah lain. Dia sadar sudah melakukan sebuah kesalahan dengan memandang lawan jenisnya.
“Ya, Pak?” Medina bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Halim di mejanya.
Halim terperanjat. Dia menunduk sekilas dan menghela nafas. Sampai kapan dia akan merasakan batasan yang sangat tebal dan kokoh bak tembok cina ini.
‘Please! Bisa gak aku nikahi dia sekarang? Aku ingin memandangi wajah cantiknya terus. Kalau bisa tempelkan aja wajah cantiknya itu di depan mataku, biar aku puas memandanginya terus.’
Halim menggerutu dalam hati. Semakin menggerutu ketika Medina semakin dekat dengannya.
‘Kenapa? Kenapa?’
Halim mendadak jadi panas dingin. Sesekali ekor matanya melirik ke mana Medina berjalan bak seorang Puteri yang sedang menghampiri Pangerannya.
‘Hanya dengan satu tatapanmu, hatiku berdebar kencang.’
‘Walau pertemuan pertama kita terjadi saat awan mendung dan hujan deras, tapi aku berharap kamu menjadi matahari yang mampu menerangi hari-hariku.’
‘Kenapa susah sekali istiqomah untuk tidak memandangimu walau sedetik saja.’
Medina akhirnya sampai juga di hadapan Halim. Dia berdiri agak berjarak dari Halim yang sedang duduk di kursi guru.
Medina memandang aneh Halim yang salah tingkahnya begitu kentara sekali.
“Ada yang bisa Medi bantu, Pak?”
Halim mendongak, Medina langsung tersenyum. Halim membalas dengan tersenyum sendu.
“Ekhem!” Halim menggeser buku paket dan membalik halamannya, lalu menunjukkannya pada Medina-sang calon Istri. “Medina, tolong tuliskan penjelasan ini di papan tulis, ya? Saya ada kerjaan sedikit.”
Medina tersenyum lagi dan menerima buku itu. “Baik, Pak.”
Teman-teman Medina mulai berbisik-bisik. Kenapa Medina beruntung sekali bisa disuruh sama Halim. Kenapa tidak mereka aja ‘sih. Mereka ‘kan juga bisa kali kalau Cuma nulis di papan tulis.
Jangankan Cuma nulis, nemplok di papan tulis pun mereka bisa.
Devan yang dari tadi sudah sibuk memperhatikan interaksi aneh Halim pada Medina, mendengus sebal.
Dia yang sudah menaruh hati pada Medina agak sedikit kesal sepertinya.
Ternyata bukan dia saja yang kelihatan kesal, tapi juga beberapa temannya.
“Lu lihat gak Pak Halim curi pandang terus sama Medi!” Steven mulai membuka komentar.
“Entah, tuh! Baru kali ini apa lihat cewek cantik kayak Medi!” Arfan ikut menimpali.
“Kalau lu gimana, Van?”
Devan menatap lurus ke depan, memandangi Medina yang tengah menulis.
“Haaaah, gue gak tahu! Lagi pula, gak bisa kita cegah kalau ada orang yang suka sama Medi!”
Ketiga cowok itu langsung menghela nafas lelah.
Tok. Tok.
“Assalammu’alaikum, Pak Halim. Maaf mengganggu waktunya. Boleh ijinkan kami untuk masuk?” ucap Ketua OSIS dengan sopan.
Halim menoleh ke arah pintu kelas. Di sana berdiri rombongan anggota OSIS yang baru saja dilantik seminggu yang lalu.
“Wa’alaikumsalam. Ayo silakan. Medina, kamu boleh duduk dulu, ya?”
Medina mengangguk. Dia meletakkan buku paket Halim ke atas meja dan pergi ke mejanya sendiri.
“Waduh! Anak-anak OSIS ganteng-ganteng beut dah!” Nona dengan mata centilnya, mulai memperhatikan satu persatu anggota OSIS-yang wajahnya memang lumayan untuk dipandang.
“Mata! Mata!” protes Medina.
“Uuuhh, Medi! Sekali-kali ‘kan gapapa! Eh, lihat! Di sana ada Kak Ibra juga! Kok dia masih sekolah, ya? Bukannya udah lulus?”
Medina mengedikkan bahu tak peduli. Medina malah memilih menulis apa yang dia catat di papan tulis tadi ke bukunya.
Ketua OSIS mulai berbicara mengenai kedatangan mereka ke kelas ini. Ternyata tujuannya untuk minta saling bahu-membahu membantu acara perpisahan anak kelas XII nanti.
“Jadi dari kelas XI-2 ini saya minta untuk membawa makanan, ya?”
“Okeee!”
Selagi Ketua OSIS sibuk bercakap, Ibra lebih memilih menatap Medina. Medina menjadi salah satu cita-cita yang ingin dia gapai di masa mendatang.
“Baiklah, teman-teman. Kalau begitu kami permisi dulu. Pak Halim, terima kasih sudah memberikan kami kesempatan untuk menyampaikan hal ini kepada teman-teman XI-2. Kami permisi dulu, Pak”
Halim yang memang sibuk mengerjakan tugas kuliahnya di laptop, hanya melirik sekilas dan mengangguk seadanya.
Rombongan OSIS itu mulai keluar satu persatu dari kelas, tapi tidak dengan Ibra.
Ibra malah mendatangi bangku Medina. Semua pada bersorak. Termasuk juga para cowok-cowok yang sudah menaruh hati pada Medina.
Merasa ada yang mendekatinya, Medina menghentikan kegiatannya, lalu mendongak.
Alisnya mengernyit. “Kak Ibra?”
Ibra menyodorkan sebatang coklat pada Medina. “Untukmu, Dek!” setelah itu, dia langsung pergi begitu saja.
Halim yang melihat semua kejadian yang baru saja terjadi, sontak melebarkan mata tak suka.
Medina mengerjap bingung. Bukannya senang atau gimana, dia malah mengalihkan matanya pada Halim yang sudah-melihatnya dengan tatapan aneh. Medina langsung menunduk.
Duh! Kenapa hatinya mendadak jadi tak enak?
Kelas menjadi gaduh karena hal itu. Semua pada cie-cie.
Nona memegang pundak Medina. “Me, lu gapapa?”
Medina tersenyum lalu mengangguk. “Gue gapapa.” Dia menggeser coklat itu ke hadapan Nona. “Untuk lu!”
“Lah! Memangnya lu gak mau?”
Medina menggeleng. “Gak!”
Halim masih sibuk menatap Medina. Hatinya terasa berdenyut. Dia agak sedih karena tak bisa melindungi Medina yang notabene bukan siapa-siapanya dari laki-laki seperti Ibra.
‘Aku cemburu! Huh!’
........*****........
“Medina, kamu sudah bisa sering latihan untuk persiapan acara perpisahan nanti, ya?” Bu Husna langsung buka suara setelah memanggil Medina ke ruang Guru.
Medina mengangguk. “Baik, Bu Husna. Latihannya di mana ya, Bu?”
“Coba kamu tanyakan sama Pak Halim, ya?”
Medina mengernyit. “Pak Halim?”
“Iya! Kamu akan tampil bersama beliau.” Bu Husna menoleh ke belakang, ke arah meja Halim. “Loh, ke mana dia, ya? Apa sudah pulang? Katanya ‘sih belakangan ini dia agak sibuk dengan kuliahnya. Tapi nanti kamu coba hubungi ya, Me?”
Medina kembali mengangguk. “Baik, Bu. Kalau begitu Medi permisi pulang dulu ya, Bu?”
“Iya, Medina. Hati-hati ya, Nak? Nah! Itu Pak Halim! Wah, semakin dekat aja, ya?” celoteh Bu Husna dengan wajah sumringah.
Medina tersentak kaget, ketika Bu Husna menyerukan nama laki-laki yang mulai masuk ke hatinya itu.
Tapi yang membuat hati jadi tidak karuan adalah ketika Bu Husna bilang semakin dekat. Apanya yang semakin dekat?
Medina langsung menolehkan kepalanya. Mata Medina membulat, saat melihat Halim berjalan bersamaan dengan Rania masuk ke ruang Guru.
Ternyata bukan Medina saja yang sepertinya terkejut, Halim juga demikian.
Medina langsung menundukkan pandangannya. “Saya permisi, Bu.”
“Eh, Medina! Tunggu dulu! Ini Pak Halim sudah ada di sini! Kenapa dengan anak itu?”
Medina tidak lagi mendengarkan panggilan Bu Husna. Dia berjalan yang terkesan seperti orang berlari. Entah kenapa rasa sedih, kesal menyeruak menjadi kesatuan yang menyakiti hati.
Halim mengikuti langkah Medina yang terburu itu dengan matanya. Di dalam hati, rasa khawatir sudah mulai terasa.
Apakah Medina marah?
........*****........