Banyak faktor yang membuat pasangan mencari kesenangan dengan mendua. Malini Lestari, wanita itu menjadi korban yang diduakan. Karena perselingkuhan itu, kepercayaan yang selama ini ditanamkan untuk sang suami, Hudda Prasetya, pudar seketika, meskipun sebelumnya tahu suaminya itu memiliki sifat yang baik, bertanggung jawab, dan menjadi satu-satunya pria yang paling diagungkan kesetiaannya.
Bukan karena cinta, Hudda berselingkuh karena terikat oleh sebuah insiden kecelakaan beberapa bulan lalu yang membuatnya terjalin hubungan bersama Yuna, sang istri temannya karena terpaksa. Interaksi itu membuatnya ingin coba-coba menjalin hubungan.
Bagaimana Malini menyikapi masalah perselingkuhan mereka?
***
Baca juga novel kedua saya yang berjudul Noda Dibalik Rupa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lawan Berbisnis
🌿🌿🌿
Wujud Malini yang duduk di hadapannya membuat Hudda tidak bisa fokus, ada rasa cemas di hatinya yang tidak bisa ditafsirkan secara jelas. Padahal, ia sadar istrinya itu hanya sekedar bekerja. Hudda diam memperhatikan cara interaksi aktif Malini saat berbicara di hadapan Santo dan yang lainnya. Malini memperlihatkan kecerdasan bisnis yang selama ini terpendam setelah berhenti bekerja, setelah menikah. Hal itu membuat Agung semakin tertarik padanya.
Lirikan mata Agung membuat Hudda mencium aroma-aroma ketertarikan dari pria itu terhadap istrinya. Tangannya mencengkram erat dan memukul meja setelah hatinya tidak bisa tahan melihat tatapan Agung. Semua orang bereaksi kaget, fokus mereka beralih dari Malini kepadanya.
"Maaf, saya tidak sengaja. Saya pamit ke toilet sebentar."
Hudda merasa malu setelah melampiaskan emosional sesaatnya. Ia memainkan mata kepada Tio, menyuruh pria itu menghandle pertemuan itu ketika ia berada di toilet. Hudda berdiri dan menatap Malini dengan raut wajah sedikit kesal. Lalu, ia tersenyum kepada Santo dan berjalan ke arah belakang, di mana toilet berada.
"Aneh. Ada apa dengannya? Baru kali ini aku melihat seorang Hudda tidak profesional. Tidak masalah. Kali ini aku yang akan memenangkan proyek ini," kata Agung dalam hati dengan senyuman senang sambil memperhatikan kepergian Hudda.
***
"Maaf sekali Pak Hudda, kali ini saya akan menyerahkan proyek ini kepada Pak Agung. Terima kasih atas kerjasama sebelumnya," kata Santo.
"Iya. Tidak masalah," balas Hudda, pasrah, melihat lawannya juga istrinya.
Hudda berdiri dan menjabat tangan semua orang, termasuk Malini. Setelah itu, beranjak keluar dari kafe itu dengan perasaan kesal yang sejak tadi disembunyikan. Kepergiannya meninggalkan Agung dan Malini bersama Santo dan orang-orangnya. Mereka berbicara sejenak mengenai kelanjutan proyek itu.
Setelah pembicaraan mereka berakhir, Santo bersama dua pria yang ikut bersamanya meninggalkan kafe. Hudda berjalan keluar dari mobil dan kembali masuk ke kafe. Pria itu sejak tadi menunggu pembicaraan mereka berakhir, ia ingin berbicara bersama Malini selagi bertemu dengan istrinya itu di sana.
"Aku ingin berbicara bersamamu," ucap Hudda sambil menggenggam pergelangan tangan Malini yang masih duduk di bangkunya.
Tarikan tangan Hudda membuat Malini berdiri. Namun, Agung menepis tangan Hudda sampai pria itu melepaskan tangannya.
"Jangan memaksa sekretarisku pergi bersamamu," tegas Agung, marah.
"Dia sekretaris mu, tapi dia istriku," balas Hudda.
Kerutan marah di dahi Agung melonggar, terkejut setelah tahu hubungan yang terjalin antara sekretaris barunya itu dan Hudda.
"Istri?" Agung menoleh ke samping, menatap Malini dengan salah satu alis naik.
"Maaf, Pak Agung. Sebenarnya Pak Hudda adalah suami saya," terang Malini, singkat.
Situasinya membuat Agung bingung. Seharusnya Malini bergabung bersama suaminya, tapi mengapa malah bersamanya? Situasi itu hanya bisa membuat Agung diam dalam kebingungan dan rasa penasaran yang membuatnya sedikit tertarik karena merasa ada masalah yang merenggangkan mereka.
"Saya tidak ingin ikut campur dalam hubungan kalian. Kalau begitu, saya pergi." Agung meninggalkan mereka dengan langkah santai, tapi sesekali menoleh ke belakang, melihat Hudda dan Malini tampak tidak akur dalam cara mereka berekspresi.
"Kamu bekerja di perusahaannya? Kenapa kamu tidak bilang? Dia itu mengesalkan, dia juga … pokoknya dia tidak baik. Pria itu sering bertingkah tidak sopan kepada wanita," protes Hudda.
"Iya. Hanya Mas yang sopan kepada wanita sampai Mas memperlakukan mereka dengan sangat baik. Sudahlah, jangan memikirkan ku. Pikiran wanita itu dan anaknya."
Malini lanjut keluar dari kafe dan berjalan menuju mobil Agung yang berada di parkiran. Hudda mencengkram erat kedua tangan dalam emosi. Ia ikut keluar dan melihat mobil Agung sudah berjalan meninggalkan tempat itu.
"Kenapa sampai begini?" Hudda menghentakkan kaki dengan keras untuk melampiaskan kekesalannya.
Di dalam mobil, Malini meminta maaf kepada Agung atas sikap Hudda yang mengganggu suasana hati atasannya itu.
"Tidak masalah. Ternyata kamu istri Hudda. Kenapa bekerja di perusahaan ku, bukannya di perusahaannya? Bukankah perusahaannya lebih besar?" tanya Agung sambil menyetir karena penasaran.
Malini diam, ia bingung menjelaskannya.
"Jika kamu tidak mau bercerita, tidak masalah. Lagipula, itu masalah pribadi. Oh iya, kamu urus berkas-berkas yang ada di atas mejaku karena aku ada urusan penting," kata Agung.
"Iya." Malini menganggukkan kepala dan menatap Agung sambil tersenyum.
Sikap Agung membuat Malini merasa perkataan Hudda tidak benar mengenai atasannya itu.
Beberapa menit di perjalanan, mereka sampai di kantor. Malini keluar dari mobil dan mobil itu kembali berjalan dalam kelajuan sedang. Mobil yang baru berjarak beberapa meter dari perusahaan itu dihadang oleh sebuah motor besar warna hitam yang berhenti di hadapan mobil Agung.
"Apa lagi?" Agung terlihat kesal.
Agung keluar dari mobil dan menghampiri pria di atas motor itu yang menaikkan kaca helm yang dikenakannya.
"Apa?" tanya Agung, judes.
"Bagaimana? Buk Malini nyaman bekerja bersama kakak? Ingat, jangan mengganggunya karena dia istri orang. Satu lagi, kakak tidak bisa mempermainkannya seperti wanita-wanita yang kakak temui di klub," kata Rangga.
"Sudah? Iya. Aku juga tidak tertarik dengan istri orang, apalagi istri Hudda. Tapi, tidak tahu kedepan, mungkin situasi mengubahnya," balas Agung.
"Kakak. Jangan pernah berpikiran begitu. Dia wanita baik-baik," ujar Rangga.
Cara Rangga berpendapat mengenai Malini membuat Agung sadar kalau adiknya itu juga tertarik kepada wanita itu.
Rangga dan Agung adalah adik-kakak.
"Iya. Tenang saja. Ingat untuk menjenguk Mama di rumah sakit. Satu lagi, lebih baik bergabung dengan perusahaan kakak, untuk apa magang di perusahaan lain," respon Agung, lebih santai.
"Lebih baik aku tidak memberitahu kakak mengenai tempat kerjaku. Dia pasti akan memaksamu untuk berhenti. Padahal, aku hanya ingin mandiri," kata Rangga, berbicara dalam hati.
"Oh iya. Ada masalah apa antara Malini dan Hudda? Kenapa dia tidak bekerja saja di perusahaan suaminya?"
Agung mengutarakan rasa penasarannya dalam bentuk pertanyaan kepada Rangga yang membawa Malini bekerja padanya.
"Tidak ada. Alasannya sama sepertiku, ingin mandiri. Kalau begitu, aku pergi ke rumah sakit. Ingat selalu pesanku itu," kata Rangga dan kembali membenarkan helm.
Motor besarnya dinyalakan dan Rangga menancap gas motor dengan kecepatan tinggi sampai Agung menggeleng melihat tingkahnya.
Di tempat lain, di ruangan yang sunyi, tempatnya bekerja, Hudda duduk di depan laptop dalam beban pikiran mengenai Malini sampai tidak sadar Yuna sudah berdiri di hadapannya sejak lima menit yang lalu. Sikap Hudda membuat Yuna khawatir, ia berjalan ke arah belakang Hudda dan memijat kepalanya agar lebih rileks.
Tangan Yuna mengejutkan Hudda. Pria itu menarik tangan tersebut sambil menoleh ke belakang tanpa tahu siapa orang yang berada di belakangnya.
"Kamu. Tolong tinggalkan aku sendiri untuk sesaat. Aku benar-benar kacau," kata Hudda dengan raut wajah lelah.
"Biar aku pijit. Meskipun kamu tidak memenangkan proyek itu, kita masih bisa mencari investor lain. Tenang saja, sebentar lagi pasti akan ada yang akan menghubungi kita. Tidak ada yang bisa meragukan kecerdasan seorang Hudda Prasetya" Yuna sengaja mencairkan suasana hati Hudda dengan sanjungannya.
Namun, itu tampak tidak berhasil dan Hudda tetap menyuruhnya keluar.
"Keluar!" bentak Hudda setelah tidak bisa menahan emosinya.
Yuna kesal dan marah dengan tanggapan pria itu. Ia pasrah dan tidak ingin memaksa Hudda yang malah akan membuat pria itu bertambah kesal padanya. Yuna berjalan keluar dengan sesekali menoleh ke belakang, melihat emosi yang masih membara di wajah Hudda.