TAHAP REVISI🙏
***
Berawal dari kata 'tidak suka' hubungan mereka kian dekat karena sebuah pertengkaran. Batu yang keras, akhirnya luluh oleh air yang tenang.
Seperti itulah Gia dan Riza, dua remaja yang menaiki tangga bersama dari tidak suka, menjadi suka, lalu ke nyaman, dan berakhir dengan saling menyayangi.
***
Sedikit kisah, dari jutaan kisah lain yang mungkin akan membuat kalian tak bisa melupakannya.
@dwisuci.mn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Decy.27126, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
“Ayo, Bi. Gia bantu tata makanannya,” tawar Gia.
“Gia, ini biar tante aja yang bantu Bibi. Kamu tolong panggil Riza sama temen-temen kamu, ya,” pinta Vina diangguki Gia.
Gia memanggil para gadis terlebih dahulu baru menuju ke kamar Riza. Kini mereka semua turun meninggalkan Gia yang masih menunggu Riza di depan kamarnya.
Saat Gia turun dengan Riza di belakangnya, ia berpas-pasan dengan Tama yang juga baru keluar dari kamarnya.
“Malam, Om.” Gia menunduk hormat, sedangkan Riza yang melihat itu hanya terdiam.
“Malam,” balas Tama singkat.
Tama, Gia, dan Riza sampai di meja makan bebarengan, dan duduk di meja masing masing.
Beberapa saat, mereka semua makan dengan tenang. Hanya dentingan sendok dengan piring yang terdengar di ruang makan rumah itu, momen yang jarang terjadi karena adanya sedikit problem antarpenghuni rumah itu.
Setelah selesai, Gia, Nela, dan Melin naik ke lantai atas untuk mengambil tas mereka. Tidak lupa juga Keyra yang mengikuti mereka untuk kembali ke kamarnya.
“Bi, rasa masakannya beda, ya,” ucap Tama tiba-tiba. Tentu hal itu membuat Bi Suti terkejut dan menundukkan kepala.
“Iya, Pah. Nggak kayak biasa, tapi lebih enak, kok!” timpal Diki.
“Maaf, Pa. Tadi, bukan saya yang masak,” ucap Bi Suti hati-hati dan tak berani mengangkat kepalanya.
“Loh, terus siapa, dong?” tanya Diki, yang lain juga turut penasaran dengan jawabannya.
“Itu tadi, temennya Mas Riza. Hmmm, Gia namanya, yah, kalo nggak salah?”
“Gia yang masak?” beo Bagas, Dafa, dan Diki bersamaan.
Vina yang mendengarnya pun turut terkejut, tetapi, ia juga senang, karena ia menyukai orang yang tepat menurutnya, Tama juga hanya tersenyum menanggapi itu.
“Maaf, Pa. Tadi saya cuman permisi salat sebentar, pas balik, masakannya udah selesai semua,” ucap Bi Suti jujur.
“Nggak apa-apa, Bi.” Tama tersenyum tipis.
Gia, Nela, dan Melin turun membawa tas masing-masing, mereka langsung berpamitan untuk pulang.
“Lain kali, kita masak bareng, ya,” bisik Vina saat Gia di depannya, Gia tersenyum manis menanggapi itu.
“Siap, Tante. Lain kali kita collabs,” jawab Gia terkekeh.
Vina tersenyum senang, ia dan Riza mengantar Gia dan teman-temannya sampai di depan pintu, sedangkan Tama sudah masuk ke ruang kerja bersama dengan Diki.
***
Dua Minggu berlalu dengan cepat sejak kedatangan Gia dan teman-temannya untuk menjenguk Riza. Pemuda itu tentu sudah sembuh, dia juga sudah aktif berangkat sekolah seperti biasanya.
Seperti yang diberitahukan, bahwa akan ada lomba untuk memperingati hari kemerdekaan, dan hari ini adalah H-5 sebelum lomba itu.
Bu Fatin selaku wali kelas mereka benar-benar menunjukkan kemahirannya dalam mendidik dan menuntun anak-anaknya. Buktinya, saat H-5 acara, semua persiapan untuk lomba sudah 95% terpenuhi, lima persen sisanya lagi hanya tinggal bergantung pada anak-anaknya saja.
Gia dan Riza juga sudah membuktikan bahwa kucing dan tikus yang dulu sering ribut itu bisa akur pada masanya.
Adit, teman seangkatan yang berbeda kelas dengan mereka kini menjadi dekat dengan Gia dan Nela, tentang Gia dan Edo yang pernah di rumorkan berpacaran itu sudah terklarifikasi bahwa mereka sebenarnya sepupu, dan yah ... banyak yang merasa lega karena itu.
“Gia!” panggil Nela dari ambang pintu kelas.
“Kenapa, Nek?” Gia menatap Nela.
“Lo ngapain, sih?” tanya Nela yang heran melihat Gia hanya berdiri menghadap timur.
“Berjemur,” jawab Gia singkat.
“Ada-ada aja, sih. Udah, yuk, masuklah,” ajak Nela.
“Lima menit lagi, Nel.”
“Gia!” panggil seseorang di belakang Nela.
“Kenapa, Vin?” tanya Gia heran, karena tidak biasa Riza memanggilnya.
“Ngapain?”
“Berjemur.”
“Ntar item.”
“Nggak bakal.”
“Masa?”
“Ya. Kulitku putih permanen,” jawab Gia santai.
Riza berdecak, “Pake detergen, ya?”
“Enak aja kalo ngomong!” sahut Gia tak terima.
“Masuk, buru!" perintah Riza.
“Iya, Paket,” jawab Gia sambil berjalan memasuki kelas.
“Paket apaan?” tanya Riza saat berjalan di belakang Gia.
“Pa Ketua.”
“Aku bukan bapak-bapak,” jawab Riza kesal.
“Nggak ada yang bilang kamu bapak-bapak.”
“Jangan panggil aku, pa!”
“Itu cuma sebutan.”
Kedua remaja itu masih saja memperdebatkan hal unfaedah pagi itu, sama-sama tidak mau mengalah, sampai akhirnya mereka harus mengakhiri perdebatan mereka karena bel masuk berbunyi dengan nyaring.
***
“Gia, kantin, yuk!” ajak Nela saat bel istirahat berbunyi.
“Ayo!” jawab Gia.
Gia menatap Riza yang masih duduk di tempatnya. “Permisi.”
“Mau ngapain?” tanya Riza.
“Mau ke kantin.”
“Tumben.”
“ya.”
“Nggak bawa bekal?”
Gia menggeleng dengan polos. “Enggak.”
“Za, awas, dong, Gia mau lewat!” teriak Nela dari depan mereka.
Riza berdecak, tetapi, ia segera berdiri dan mempersilahkan Gia untuk keluar.
“Mau ikut, nggak?” tanya Gia setelah melewati Riza.
“Gas, Daf, kantin?” Riza melihat dua temannya yang ada di meja belakang.
“Let's go!” seru Bagas, sedangkan Dafa hanya menganggukkan kepala dan menyimpan HP yang semula digunakannya untuk bermain game.
Sampai di kantin, mereka memesan makanan dan duduk di meja pojok yang kosong.
“Kalian ikut lomba apa?” Nela menatap ketiga pria yang ikut bersamanya dengan Gia.
“Gue sama Riza ikut basket, nih si Dafa ikut volly,” jawab Bagas mewakili.
“Emang lo bisa basket?” tanya Nela meremehkan.
“Dih muka lo pengen gue tonjok, ya?” Bagas mengepalkan tangannya.
“Kalian ikut apa?” tanya Dafa pada Nela dan Gia.
“Gue? Ikut tarik tambang putri, dong,” jawab Nela dengan bangga.
“Songong, lu!” cetus Bagas pada Nela.
“Gia?” Dafa menatap Gia yang sedari tadi bermain HPnya.
“Me?” tanya Gia menunjuk dirinya sendiri.
“Iya.”
“Aku nggak ikut,” jawab Gia membuat Riza mendelik.
“Kok, nggak ikut?” protes Riza.
“Kenapa harus ikut?” jawab Gia kelewat santai.
“Lo, kan, wakil ketua kelas. Harus ikut, dong, masa nggak, sih!” decak Bagas menimpali.
Gia mencebikkan bibirnya. “Bingung mau ikut apa.”
“Lo bisanya apa?” tanya Riza.
“Jangan tanya dia bisanya apa, lo semua nggak bakal percaya.”
***
Bersambung.
see u next chapter 🖤
spnjang crita karakter gia msh konsisten msh terbaik dan kalau bs gia seharusnya dpt lbh baik lg dr karakter riza😁 dan riza sprti tdk ada lawannya buat dapetin gia kyk gmpang ajha buat riza
tp utk smwnya udh bagus karakternya kuat2👌
salken, kak....
Jd terkenang masa SMA ku😁😁