NovelToon NovelToon
Aku Pergi Membawa Benih Yang Kau Benci

Aku Pergi Membawa Benih Yang Kau Benci

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Lari Saat Hamil / Single Mom / Obsesi / Ibu Mertua Kejam / Menikah dengan Kerabat Mantan
Popularitas:34.7k
Nilai: 5
Nama Author: Rere ernie

Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.

Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.

"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.

Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.

Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.

Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...

Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter - 12.

Dalam keheningan ruang kerja yang bergema wibawa, Tuan Yudistira baru saja menyampaikan maksudnya pada Davin. Nada suaranya tenang, namun sarat pesan tersirat.

Sejak sang ibu menikah dengan Tuan Yudistira, nama keluarga Mahesa pun melekat di belakang nama Davin dan Viola. Mereka menjadi bagian dari keluarga besar Mahesa, setidaknya di atas kertas. Davin membangun bisnis sendiri pada usia 26 tahun, sebab ia bukan pewaris tapi perintis.

Davin bukan bagian dari struktur Mahesa Group. Bukan CEO, bukan komisaris dan tidak duduk di kursi pengaruh manapun dalam kerajaan bisnis milik keluarga tiri itu. Ia mendirikan perusahaannya sendiri, memimpin sebagai CEO dengan tangan dingin.

Mahesa Group sendiri kini dikelola oleh sepupu Tuan Yudistira, keputusan yang sudah disepakati sejak awal. Davin diterima sebagai keluarga, tapi tidak untuk campur tangan dalam bisnis.

“Terima kasih, Pah." Ucap Davin dengan nada hormat namun tetap tenang. “Davin sangat menghargai keputusan Papa merahasiakan identitas mantan suami Alina. Mama memang belum perlu tahu... setidaknya belum sekarang. Aku juga, belum sepenuhnya mendapat kepercayaan Alina.”

Tuan Yudistira menghela napas dan menggeleng pelan, matanya berbinar geli. “Kamu tuh benar-benar seperti turunan asli Papamu ini. Dulu, waktu Papa ketemu sama Mamamu... juga kayak kamu gini, ragu-ragu mau nyatakan perasaan. Dav... kita sama-sama masih bujang waktu jatuh hati pada seorang janda. Tapi waktu mengejar Mama mu, Papa tahu satu hal... kalau Papa lambat sedikit, Mama mu bisa diambil orang lain. Jadi ya, Papa cepat bertindak.”

Davin tertawa pelan, nada suaranya menyimpan kekaguman. “Justru aku ingat betul bagaimana Papa mendapatkan hati Mama. Makanya, sekarang aku praktikkan... tapi, versi lebih halusnya.”

Tuan Yudistira mengangkat alis, tertarik. “Versi halusnya?”

“Aku mendekati anaknya dulu,” jawab Davin singkat namun mantap. “Lalu pelan-pelan aku masuk ke hatinya, tanpa tekanan dan tanpa paksaan. Perempuan yang pernah dilukai laki-laki tidak bisa ditaklukkan dengan manisnya rayuan. Hatinya lebih waspada, dan karena itu... harus didekati dengan penuh kehormatan."

Tuan Yudistira menatap putra sambungnya dengan bangga yang tidak ia sembunyikan. Di balik senyum kecilnya, ada keyakinan jika Davin adalah seorang pria dengan prinsip.

.

.

.

Seperti biasa, Sabtu pagi itu Alina membawa Daffa ke taman kota. Namun kali ini... tanpa ia tahu, langkahnya akan mengantarkannya ke sesi uji calon menantu yang terselubung.

Raka, keponakan Davin ternyata sudah membocorkan lokasi kegiatan mereka hari ini pada nenek dan ibunya dengan mulut mungilnya yang polos.

“Aku main di taman sama Tante Alina dan Om Davin!”

Tentu saja, Nyonya Ayunda tak ingin melewatkan kesempatan. Dengan dandanan sederhana, lengkap dengan topi lebar dan kaca mata hitam ia hadir bersama Viola seolah mereka sedang piknik dadakan.

Davin yang memang sudah merencanakan piknik kecil bersama Alina dan Daffa juga mengajak Raka, nyaris tersedak roti isi ketika melihat dua perempuan paling berpengaruh dalam hidupnya muncul di taman seperti hantu masa lalu. Bedanya, kali ini hantunya pakai sandal selop biasa dan membawa termos teh manis.

“Gawat!" Gumam Davin sambil menarik napas panjang. Ia hendak melipir sembunyi pelan-pelan, tapi suara ibunya yang terlalu familier di telinga membuatnya menegang.

“Aduh! Ini suami kamu ya, Cantik?” celetuk Nyonya Ayunda dengan senyum menggoda pada Alina, ia menunjuk Davin yang baru saja akan kabur bersembunyi.

Lantas, Nyonya Ayunda duduk di samping Alina di bangku taman.

Alina yang tengah mengetik di laptop, sontak mendongak. Matanya sempat berpindah ke Davin yang tengah berpura-pura mengikat tali sepatu Daffa, lalu menoleh sopan pada wanita yang duduk di sampingnya.

“Emm... dia bukan suami saya, Bu. Saya janda, single parents." Jawab Alina jujur, sedikit kikuk tapi tetap santun.

“Ohhh gitu...” Nyonya Ayunda mengangguk-angguk, pura-pura tak kenal dengan Davin yang hampir memuntahkan nafas terakhirnya. “Tapi cocok loh! Kayak... keluarga kecil bahagia. Lihat tuh, si kecil manggilnya ‘Om’ ya?”

Alina tertawa kecil. “Iya, Daffa memang cepat akrab.”

Davin menunduk, kali ini pura-pura sibuk membetulkan helm Daffa padahal telinganya sudah memerah seperti kepiting rebus. Ia bahkan menghindari kontak mata dengan ibunya yang kini tengah berakting seperti agen properti yang sedang menjual rumah paling mewah di kompleks.

“Ah, jadi kamu belum menikah lagi?” lanjut Nyonya Ayunda, suara dan ekspresi wajahnya begitu bersahabat bahkan terlalu bersahabat.

“Belum, Bu.” Jawaban Alina diiringi senyum ringan, tanpa beban.

Nyonya Ayunda mengangguk lagi, matanya menyipit menilai. “Wah... luar biasa. Mandiri, cantik, sopan, bisa ngajarin anak naik sepeda. Calon menantu idaman saya, nih.“

Uhuk!

Davin spontan batuk.

Viola menyikut lengan Ibunya, lalu ikut nimbrung dengan suara agak keras. “Kamu tahu nggak, dek.... saya juga punya adik yang masih bujang. Dia kerjaannya bagus, pinter masak, bersih, nggak neko-neko...”

“Dan bisa mijaaat!” sahut Nyonya Ayunda menimpali, membuat Davin hampir tersedak ludah sendiri.

Alina terdiam sesaat, lalu tertawa kecil. “Wah, kayaknya saya harus kenalan deh sama anak Ibu.”

Davin yang masih diam, mulai was-was.

“Oh, nanti kenalan ya! Dia... sering ke taman juga kok.“ Ujar Nyonya Ayunda sambil melempar senyum penuh misteri, seolah-olah anak bujang itu bukan pria yang sedang duduk tiga meter darinya dengan wajah pucat pasi.

Viola menambahkan dengan gaya setengah berbisik. “Adik saya tuh agak kaku... tapi lucu. Kalau udah suka, kayaknya dia bakal setia banget. Sampai menutupi apapun tentang calon istrinya, melindungi gitu.”

Sementara itu Davin, 'si anak bujang' yang mereka bicarakan sudah pasrah jika identitas aslinya dibongkar oleh Ibu dan kakak perempuannya.

Alina tersenyum sopan, tapi matanya menyipit pelan. Ia menatap Nyonya Ayunda dan Viola bergantian. Rasanya ada sesuatu yang… aneh.

Perempuan-perempuan ini terlalu akrab dan terlalu nyaman dengannya. Dan yang paling mengganggu adalah, kenapa dari tadi mereka terus melempar pujian soal lelaki misterius yang katanya sering ke taman juga namun melirik ke arah Davin?

Dan... reaksi Davin?

Seperti kucing basah yang habis nyemplung ke dalam got.

Kepala Davin terus saja menunduk.

Tangan Davin terulur ragu, mengelus kepala Daffa yang duduk tenang di atas rerumputan. Gerakannya tampak canggung, seperti orang baru belajar menyentuh anak kecil. Helm sepeda Daffa pun melorot ke arah telinga anak itu, karena Davin memakaikan helm-nya terbalik.

“Eh, Dav...” suara Alina terdengar ringan tapi mengandung tanda tanya yang tajam. “Ibu ini bilang, anak lelakinya sering ke taman ini juga. Kamu tahu siapa? Kamu kan laki-laki, mungkin aja kenal...”

Davin hanya tersenyum kecil, seperti anak SMA yang baru saja ketahuan menyembunyikan contekan. Ia semakin menunduk, sangat dalam... seolah rumput di bawahnya lebih menarik daripada menjawab.

“Dia itu lulusan insinyur, lho.” Tambah Nyonya Ayunda dengan bangga.

'Aduh, kenapa insinyur segala dibawa-bawa! Gawat, ini bakal ketahuan!’ Dalam hati Davin menjerit.

Ia menarik napas panjang, memejamkan mata seperti sedang siap-siap disuntik.

“Aku nggak kuat lagi!” Seru Davin tiba-tiba.

Seketika, Nyonya Ayunda dan Viola terperanjat. Alina menatap Davin dengan mata membulat.

“Aku anaknya!” Davin menunjuk dirinya sendiri. “Laki-laki yang dimaksud itu aku, Alina. Yang suka masak, bisa mijet... oke, itu agak dilebih-lebihkan. Tapi ya, intinya... aku orangnya!”

Taman mendadak senyap, angin yang tadinya berhembus lembut pun seperti berhenti demi menyaksikan pengakuan dramatis itu.

Nyonya Ayunda langsung memukul lengan anaknya dengan tas kain belanja. “Aduh, Davin! Harusnya kamu nahan dikit lagi! Mama belum selesai promosi!”

Davin menepis serangan ibunya pelan. “Mama ini... udah kayak agen asuransi! Aku malu!”

“Daripada kamu nunggu kelamaan! Papamu bilang kamu itu lola... loading lama, dapetin hati calon istrimu ini! Mama cuma bantu, biar kamu cepet dapetin hati calon mantu Mama ini!”

Alina hampir tertawa, tapi menahannya dengan susah payah. Ia memandang Davin yang kini berdiri kaku, pipi merah seperti tomat, rambut nyaris berdiri karena stres. Sosoknya tampak seperti anak SD yang baru saja tertangkap mencuri es krim.

“Jadi... maksudmu, kamu anak dari Ibu ini?” tanya Alina dengan suara pelan, hanya memastikan.

Davin mengangguk pelan, wajahnya tampak pasrah. “Iya... Maaf ya. Kalau Mamaku bikin kamu risih.”

Daffa tiba-tiba memecah keheningan dengan polosnya, “Kalau gitu... Daffa boleh panggil Oma? Sama panggil Om Davin Ayah, kan?”

Kepala Alina dan Davin sama-sama menoleh ke arah bocah kecil itu.

Tanpa ragu, Nyonya Ayunda menjawab sambil tersenyum lebar. “Boleh banget, Sayang. Panggil Oma... eh maksudnya Eyang Putri. Dan panggil Om Davin, Ayah... ya.“

Alina menunduk, berusaha menahan malu yang perlahan merayap ke wajahnya. Hubungannya dengan Davin masih menggantung di antara tanya dan teka-teki belum ada kejelasan, apalagi pengakuan. Ia semula mengira hari ini akan diisi dengan duduk santai di taman, menulis sambil menikmati angin sore dan sesekali mencicipi bekal piknik sederhana.

Namun takdir berkata lain.

Yang seharusnya menjadi hari tenang, berubah menjadi pertemuan keluarga yang begitu mengejutkan dan sama sekali tidak ia rencanakan.

1
Rita
ojo gelem Dis
Rita
jgn mau Dis kmu berhak mendapatkan yg baik
Rita
ya krn kmu jg salah mudah dihasut ma tipis iman dan imin
Rita
yakin nyesel
Rita
untung sdh ditalak
Rita
dahlah jgn dibantu lg
Warung Sembako
laki2 idiot si galang, jgn smpe dia balik ma gendis, gendis jadian aja ma rama
Zenun
takan diterima.. Jreng jreng jreng
Zenun
mamam tuh Galang
Zenun
halaaa dirimu juga berkhianat
Tiara Bella
jangan mw Galang udh ungked²an sm si Ratna.....
nonoyy
jangan lebih baik gendis & rama ajaaaaa
Ma Em
Jangan biarkan Galang kembali pada Gendis biarkan si Galang menyesal sampai mati , lebih baik Gendis sama Rama saja Thor
Aditya hp/ bunda Lia: setuju banget mbak ...
total 1 replies
Heni Mulyani
lanjut author
nonoyy
nasib gendis seperti alina
setelah ini pasti si galang akan menyesal 🤣🤣🤣
Jeng Ining
hahhh ternyata semudah itu kebenaran terkuak, belom jg info dr Rama dilempar ke muka Galang...lah malah udh tau scr langsg dr mulut Ratna.. kapok ra koe Lang👏😁
Myra Myra
jgn lebih baik hidup sendiri gedis
Hariyanti
🤦🤦🤦🤦🤦
Hariyanti
keren viola......👍👍👍 jangan biarkan parasit tumbuh disekitarmu. mending janda dari pada ketemu pria mokondo 😬
Yuli Yulianti
Galang hidup mu akan merana seperti Rama
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!