Di pinggiran hutan Jawa yang pekat, terdapat sebuah desa yang tidak pernah muncul dalam peta digital mana pun. Desa Sukomati adalah tempat di mana kematian menjadi industri, tempat di mana setiap helai kain putih dijahit dengan rambut manusia dan tetesan darah sebagai pengikat sukma.
Aris, seorang pemuda kota yang skeptis, pulang hanya untuk mengubur ibunya dengan layak. Namun, ia justru menemukan kenyataan bahwa sang ibu meninggal dalam keadaan bibir terjahit rapat oleh benang hitam yang masih berdenyut.
Kini, Aris terjebak dalam sebuah kompetisi berdarah untuk menjadi Penjahit Agung berikutnya atau kulitnya sendiri akan dijadikan bahan kain kafan. Setiap tusukan jarum di desa ini adalah nyawa, dan setiap motif yang terbentuk adalah kutukan yang tidak bisa dibatalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Tangisan Bayi Tanpa Raga
Di tengah kebimbangan itu, Aris mendengar suara tangisan bayi yang sangat keras bergema dari arah bawah meja batu tempatnya bersimpuh. Suara itu begitu melengking hingga mampu menggetarkan fondasi ruangan dan membuat kepala-kepala yang menggantung mulai berguncang hebat. Lantai batu di bawah meja tersebut tiba-tiba retak, mengeluarkan uap panas yang berbau seperti air ketuban bercampur anyir darah segar.
"Sekar, apakah itu bayi yang sedang terperangkap di bawah tanah ini?" tanya Aris dengan wajah yang pucat pasi.
"Jangan mendekat Aris, itu bukan suara bayi manusia, melainkan gema dari jiwa yang gagal dilahirkan!" jerit Sekar sambil berusaha melepaskan diri dari lilitan rambut.
Aris melihat sebuah tangan mungil yang transparan muncul dari celah retakan lantai, meraba-raba udara seolah mencari perlindungan. Tangan itu tidak memiliki kuku, hanya jemari halus yang terus mengeluarkan cahaya biru pucat yang sangat redup. Namun, setiap kali tangan itu menyentuh udara, suara tangisan tersebut berubah menjadi jeritan kemarahan yang bisa merobek gendang telinga manusia.
"Siapa pun kamu, aku tidak bermaksud menyakitimu!" ucap Aris sambil mengulurkan tangannya yang masih memegang jarum emas.
"Hati-hati, tangisan itu bisa menghancurkan kewarasanmu jika kamu membiarkannya masuk ke dalam ingatan!" Sekar memperingatkan dengan nada yang sangat mendesak.
Sekar Wangi berhasil memutus lilitan rambut menggunakan cairan herbal yang ia sembunyikan di dalam balik bajunya yang robek. Ia segera berlari menuju Aris, namun langkahnya terhenti ketika melihat bayangan ribuan bayi mulai merayap keluar dari dinding-dinding batu. Sosok-sosok kecil itu tidak memiliki raga yang utuh, hanya gumpalan cahaya redup yang berbentuk janin dengan mata hitam yang sangat besar.
"Kenapa mereka mengepung kita, Sekar? Apa yang mereka inginkan dari kotak jati ini?" tanya Aris sambil memeluk kotak itu dengan erat.
"Mereka mencari ibu, Aris, dan mereka mengira kotak itu adalah rahim yang bisa memberikan mereka kehidupan kembali!" jawab Sekar dengan napas yang memburu.
Aris merasakan tarikan yang sangat kuat dari bawah meja, seolah-olah ada kekuatan magnet yang ingin menyeretnya masuk ke dalam lubang retakan. Ia melihat bayi tanpa raga itu mulai memanjat kakinya, meninggalkan rasa dingin yang membeku seolah-olah es sedang menempel pada dagingnya. Aris mencoba menghentak kaki, namun jumlah bayi gaib itu semakin banyak hingga menutupi seluruh permukaan lantai di sekelilingnya.
"Gunakan jarum emas itu untuk membelah kabut ini, Aris! Jangan biarkan mereka menyentuh tanda merah di tanganmu!" teriak Sekar yang kini terkepung di pojok ruangan.
"Aku tidak tega menusuk mereka, Sekar, mereka tampak sangat menderita!" balas Aris dengan air mata yang mulai menetes karena duka yang tiba-tiba menyerangnya.
Kesedihan yang mendalam tiba-tiba membanjiri pikiran Aris, membuatnya melihat kilasan ingatan tentang klinik bidan yang terbakar puluhan tahun silam. Ia melihat wajah ibunya yang sedang menangis sambil memeluk sebuah bungkusan kain mori kecil di tengah kobaran api yang membubung tinggi. Aris menyadari bahwa bayi-bayi ini adalah korban dari kesalahan masa lalu keluarganya yang tidak pernah selesai dijahit oleh keadilan.
"Maafkan keluargaku, maafkan dosa-dosa yang membuat kalian terjebak di tempat gelap ini!" bisik Aris sambil bersujud di tengah kerumunan arwah bayi tersebut.
"Jangan menyerah pada rasa bersalah itu sekarang, atau kita berdua akan terkubur hidup-hidup di sini!" bentak Sekar sambil melemparkan butiran kemenyan ke arah kerumunan gaib.
Asap kemenyan itu menciptakan pagar api sementara yang menjauhkan bayi-bayi tanpa raga dari tubuh Sekar, namun tidak berpengaruh pada Aris. Aris justru merasa bayi-bayi itu mulai menyatu dengan bayangannya sendiri, membuat tubuhnya terasa sangat berat seolah-olah ia sedang memikul beban ribuan nyawa. Ia melihat jarum emas di tangannya mulai mengeluarkan cahaya keemasan yang sangat menyilaukan, selaras dengan detak jantung bayi yang paling dekat dengan dadanya.
"Pola ini... ini bukan tentang kematian, ini tentang rahasia yang sengaja disembunyikan di balik lemari kayu!" teriak Aris saat mendapatkan pencerahan mendadak.
"Apa maksudmu? Apa hubungannya bayi-bayi ini dengan lemari di kamar ibumu?" tanya Sekar dengan penuh keheranan di tengah hiruk-pikuk suara tangisan.
Aris teringat pada denah rumah tuanya dan menyadari bahwa posisi meja batu ini berada tepat di bawah titik koordinat lemari kayu jati tersebut. Ruang bawah tanah ini adalah fondasi yang menyangga seluruh beban kutukan yang selama ini dialami oleh keluarganya secara turun-temurun. Ia melihat sebuah tuas kecil yang tersembunyi di balik kaki meja batu, sebuah tuas yang dibentuk menyerupai tulang rahang manusia yang sangat kecil.
"Jika aku memutar tuas ini, seluruh ruangan ini mungkin akan runtuh, Sekar!" ucap Aris sambil meletakkan jarum emas ke dalam lubang tuas tersebut.
"Lakukan saja! Lebih baik kita terkubur daripada terus menjadi saksi kengerian yang tidak berujung ini!" jawab Sekar dengan keberanian yang kembali bangkit.
Aris memutar jarum emas itu dengan sekuat tenaga, memicu suara gemuruh yang terdengar seperti bumi sedang mematahkan tulang-tulangnya sendiri. Meja batu itu terbelah menjadi dua, menyingkap sebuah tangga kayu kuno yang mengarah jauh ke bawah menuju sebuah ruangan yang lebih gelap lagi. Bayi-bayi tanpa raga itu mendadak diam dan terbang masuk ke dalam tangga tersebut, seolah-olah mereka telah menemukan jalan pulang yang selama ini mereka cari.
"Tangga itu menuju ke mana, Aris? Aku tidak melihat dasar dari kegelapan itu," bisik Sekar sambil memegang bahu Aris dengan sangat kencang.
"Ini bukan sekadar tangga, ini adalah jalan menuju rahasia di balik lemari kayu yang sebenarnya," jawab Aris sambil melangkah ragu menuju anak tangga pertama.
Saat kaki Aris menyentuh anak tangga tersebut, dinding-dinding di sekeliling mereka mulai menutup perlahan, menjebak mereka di dalam lorong sempit yang sangat lembap. Aris mendengar suara pintu lemari kayu jati di atas sana menutup dengan sendirinya, diiringi oleh suara kunci yang diputar sebanyak tiga kali oleh tangan yang tidak terlihat. Di dasar tangga yang paling bawah, sebuah cahaya merah redup mulai menyala, memperlihatkan deretan peti mati kecil yang berjejer rapi.
Di dasar tangga yang paling bawah, sebuah cahaya merah redup mulai menyala, memperlihatkan deretan peti mati kecil yang berjejer rapi.