NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:245
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lampu Neon dan Kebohongan Putih

Dunia nyata menyambut mereka dengan aroma antiseptik yang menyengat dan cahaya lampu neon putih yang terlalu terang hingga menusuk mata.

Di Unit Gawat Darurat (UGD) sebuah rumah sakit daerah di kaki gunung, waktu seolah berjalan dengan ritme yang asing. Tidak ada piano hantu, tidak ada badai salju. Hanya ada suara roda brankar yang berdecit, panggilan perawat lewat pengeras suara, dan tangisan bayi dari bilik sebelah.

Normal. Sangat normal hingga terasa tidak nyata.

"Jadi..." Dokter muda itu membetulkan letak kacamatanya, menatap Rian, Bobi, dan Sarah bergantian dengan pandangan curiga. "Kalian bilang ini kecelakaan saat hiking?"

"Betul, Dok," jawab Rian mantap, meski wajahnya masih pucat. Dia duduk di tepi ranjang periksa dengan kaki kanan yang baru saja dibalut perban elastis. "Kami terjebak badai, jalanan licin. Teman saya, Bobi, jatuh ke jurang dangkal, saya mencoba menolong tapi ikut terperosok. Dan Sarah... dia terjerat tali pengaman di leher saat kami panik."

Itu adalah kebohongan yang disepakati bersama di dalam mobil tadi. Tidak mungkin mereka bilang: "Teman saya dilempar hantu ke tembok dan leher wanita ini dicekik oleh arwah pianis tahun 80-an." Mereka akan langsung dikirim ke bangsal psikiatri, bukan UGD.

Dokter itu menghela napas, tampak belum sepenuhnya yakin tapi tidak punya bukti untuk membantah. "Baiklah. Mas Bobi mengalami retak ringan di dua tulang rusuk dan memar parah di punggung. Mas Rian, otot ligamen kaki kanan Anda robek sedikit, butuh istirahat total seminggu. Dan Mbak Sarah..."

Dokter beralih menatap Sarah yang duduk diam sambil memegang kompres dingin di lehernya. Bekas cengkeraman tangan Adrian mulai membiru, membentuk pola jari yang mengerikan.

"...Anda sangat beruntung laring Anda tidak patah. Ini memar yang serius. Saya akan resepkan pereda nyeri dosis tinggi dan salep. Jangan banyak bicara dulu selama tiga hari."

Sarah hanya mengangguk lemah. Matanya yang biasanya tajam dan kritis kini terlihat kosong, menatap lantai keramik putih.

Elara, satu-satunya yang tidak mengalami cedera fisik berarti selain lecet-lecet kecil, berdiri di sudut ruangan sambil memeluk tasnya. Dia merasa bersalah karena menjadi satu-satunya yang "utuh".

"Kalian boleh pulang setelah administrasi selesai," kata dokter itu akhirnya, menutup status pasien. "Tapi saya sarankan jangan menyetir jarak jauh dulu."

"Kami akan panggil taksi online untuk yang lain, Dok. Saya bisa istirahat di mobil," bohong Rian lagi.

Satu jam kemudian, mereka duduk di ruang tunggu farmasi, menunggu obat.

Bobi duduk merosot di kursi, tubuhnya dibebat korset penyangga dada di balik jaket Spongebob-nya yang kini robek dan kotor.

"Gue kangen kasur gue," gumam Bobi pelan. "Gue kangen kucing gue. Gue bahkan kangen suara knalpot motor tetangga gue yang berisik."

Elara duduk di sebelah Rian. Tangan mereka bersentuhan di sandaran tangan kursi besi yang dingin. Kali ini, Rian tidak menarik tangannya. Dia justru mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Elara. Tautan kecil yang tersembunyi, namun maknanya lebih dalam dari sekadar pegangan tangan biasa.

"Sakit banget kakinya?" bisik Elara.

Rian menoleh, tersenyum tipis. Senyum yang tidak sampai ke mata, tapi tulus. "Nggak sesakit kalau aku gagal nyelamatin kalian."

Jantung Elara berdesir. Kalimat itu diucapkan dengan nada datar, tanpa pretensi heroik, yang justru membuatnya terdengar makin menyentuh.

"Kita nggak bisa pulang ke rumah masing-masing," kata Sarah tiba-tiba. Suaranya serak dan parau, menyakitkan untuk didengar.

Mereka bertiga menoleh ke Sarah.

"Gue nggak mau sendirian di apartemen," lanjut Sarah, matanya mulai berkaca-kaca lagi. Wanita karier yang independen itu kini tampak rapuh seperti kaca retak. "Gue takut kalau gue tutup mata... gue bakal liat mata merah itu lagi di ventilasi."

"Gue juga," sahut Bobi cepat. "Kalau gue pulang ke kosan, terus ada suara tikus di plafon, bisa jantungan gue. Fix, gue bakal tidur di masjid atau pos ronda kalau sendirian."

Rian menatap teman-temannya. Rasa tanggung jawabnya kembali mengambil alih.

"Ke rumahku aja," putus Rian. "Rumahku ada dua kamar tamu. Ruang tengahnya luas. Kita bisa gelar kasur di sana. Kita nginep bareng malam ini. Sampai kita... ya, sampai kita siap."

Tidak ada yang membantah. Itu adalah tawaran yang paling mereka butuhkan.

Perjalanan kembali ke kota terasa lambat namun melegakan. Elara mengambil alih kemudi karena kaki Rian sakit. Rian duduk di kursi penumpang depan, menjadi navigator.

Saat mereka memasuki batas kota dan melihat lampu-lampu gedung bertingkat, kemacetan, dan papan reklame digital, rasanya seperti baru pulang dari planet lain. Kebisingan kota yang biasanya menyebalkan, malam ini terasa seperti pelukan hangat peradaban. Mereka masih hidup. Mereka ada di dunia manusia, bukan di dunia arwah.

Rumah Rian adalah sebuah rumah tipe minimalis di cluster yang tenang. Begitu pintu depan dibuka, aroma pewangi ruangan citrus menyambut mereka. Sangat kontras dengan bau debu dan belerang di Villa Edelweiss.

"Masuk," kata Rian, berjalan terpincang-pincang dibantu tongkat kruk yang diberikan rumah sakit. "Anggap rumah sendiri. Bobi, jangan nyolong makanan kucing gue buat camilan."

Bobi tertawa kecil, meski langsung meringis memegang rusuknya. "Sialan lo, Yan. Ketawa aja sakit nih."

Mereka membersihkan diri bergantian. Rian meminjamkan kaos dan celana training bersih untuk Bobi dan Sarah. Elara memakai kaos oversized milik Rian yang aromanya sangat khas, campuran musk dan kopi. Memakai baju Rian membuat Elara merasa dipeluk secara tidak langsung.

Mereka memesan makanan pesan-antar sebanyak-banyaknya: pizza, ayam goreng, martabak manis. Makanan yang penuh lemak dan gula, comfort food untuk mengobati jiwa yang guncang.

Mereka makan di ruang tengah, duduk di karpet tebal di depan TV yang menyiarkan berita malam membosankan. Tapi tidak ada yang benar-benar menonton. Mereka hanya butuh suara TV itu untuk mengisi keheningan.

"Gue nggak nyangka..." kata Bobi, mulutnya penuh keju pizza. "Gue nggak nyangka Elena itu korban. Selama ini di film horor, hantu cewek itu selalu yang jahat."

"Cinta bisa bikin orang gila," gumam Sarah pelan, menyentuh lehernya. "Obsesi Adrian bukan cinta. Itu penyakit."

Elara meletakkan potongan pizzanya. "Tapi Elena akhirnya bebas. Aku ngerasain itu pas main piano terakhir kali. Dia senyum."

Rian menatap Elara lekat-lekat. "Kamu hebat banget tadi, El. Kalau nggak ada kamu yang ngambil alih piano, kita semua mati."

"Kerja tim," elak Elara, pipinya memanas.

Malam semakin larut. Sarah dan Bobi akhirnya tertidur karena kelelahan dan efek obat pereda nyeri. Mereka tidur di karpet ruang tengah, menolak masuk kamar tamu karena ingin tetap berdekatan. Suara dengkuran halus Bobi menjadi irama yang menenangkan.

Elara tidak bisa tidur. Dia bangkit perlahan dan berjalan menuju balkon belakang rumah Rian.

Langit malam kota tidak berbintang karena polusi cahaya, tapi setidaknya tidak ada badai. Elara berdiri memegang pagar balkon, menghirup udara malam.

"Nggak bisa tidur?"

Suara Rian.

Elara menoleh. Rian berdiri di ambang pintu kaca, bertumpu pada satu kaki dan kruknya.

"Sori, aku bangunin kamu?" tanya Elara.

Rian menggeleng. Dia melompat kecil mendekati Elara, lalu bersandar di pagar di sebelahnya. "Nggak. Tiap kali nutup mata, aku masih denger suara metronom itu."

Hening sejenak. Hanya suara kendaraan yang lalu lalang di jalan raya yang jauh.

"Makasih ya, El," kata Rian tiba-tiba.

"Buat apa?"

"Buat... ngingetin aku siapa aku," Rian menatap lurus ke depan, tapi tangannya bergerak perlahan di atas pagar balkon, mendekati tangan Elara. "Waktu aku dirasukin Adrian, rasanya kayak tenggelam di laut hitam yang dingin. Aku lupa namaku sendiri. Aku lupa siapa kalian. Yang aku inget cuma kebencian dan piano itu."

Rian menoleh, menatap mata Elara dalam-dalam. "Tapi terus aku denger suara kamu. Kamu manggil aku Rian. Kamu bilang aku janji mau jadi pembaca pertamamu. Itu... itu jadi pegangan aku buat naik lagi ke permukaan."

Dada Elara bergemuruh. "Aku nggak akan biarin dia ambil kamu, Yan. Nggak akan."

Rian tersenyum lembut. Dia memutar tubuhnya menghadap Elara sepenuhnya. "Kamu tahu? Di foto polaroid itu... Adrian dan Elena. Mereka pasangan. Mungkin itu sebabnya Adrian nyasar aku. Dan Elena... milih kamu."

"Maksud kamu?" jantung Elara berdegup kencang.

"Mungkin..." Rian menelan ludah, terlihat gugup untuk pertama kalinya malam ini. "Mungkin karena di mata mereka, kita terlihat seperti mereka. Bukan fisiknya. Tapi... rasanya."

Rian mengangkat tangannya, ragu-ragu sejenak, lalu memberanikan diri menyelipkan anak rambut Elara ke belakang telinga. Jarinya menyentuh kulit pipi Elara yang dingin.

"Aku bukan Adrian," bisik Rian, jarak wajah mereka kini begitu dekat. "Aku nggak akan pernah nyakitin kamu. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu dikunci di loteng sendirian."

Elara menatap bibir Rian, lalu matanya. "Aku tahu."

"Jadi..." Rian menunduk sedikit, napasnya hangat menerpa wajah Elara. "Boleh aku nepatin janji Adrian yang nggak pernah ditepatin ke Elena?"

"Janji apa?" bisik Elara, suaranya hampir hilang.

"Janji untuk selalu ada."

Dan di balkon rumah di tengah kota yang bising itu, jauh dari dinginnya pegunungan dan teror masa lalu, Rian mencondongkan wajahnya. Bukan ciuman yang penuh nafsu atau terburu-buru. Melainkan ciuman yang lembut, hati-hati, dan penuh rasa syukur. Sebuah segel pengakuan bahwa mereka telah selamat, dan bahwa mereka tidak ingin lagi membuang waktu dalam ketidakpastian "sahabat".

Denting piano horor itu telah berakhir. Kini, denting baru, musik kehidupan mereka berdua, baru saja dimulai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!