Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.
Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Suami idaman banget!
Abraham melangkah maju dengan tatapan tajam, tubuh tegapnya membuat semua orang di butik itu terdiam. Suasana yang tadinya penuh bisik-bisik langsung membeku. Hanum masih terpaku, wajahnya memucat, air matanya menetes tanpa bisa ia tahan.
“Bian!” suara Siska tiba-tiba terdengar. Dia baru saja kembali dari ruangan manajer butik. Tatapannya langsung tertuju pada Hanum yang tersudut, dikerubungi pelayan dengan wajah panik, sementara Lilis berdiri dengan wajah penuh kemenangan.
“Hanum? Apa yang terjadi di sini?” tanya Siska dengan nada tinggi. Lilis cepat-cepat bersuara lebih lantang, menunjuk Hanum. “Tante, jangan salah lihat! Wanita ini ... dia mencuri! Aku sendiri yang melihatnya memasukkan perhiasan ke dalam tasnya. Tanyakan saja pada pelayan, buktinya sudah ada!”
Siska menoleh ke arah Hanum, lalu pada Lilis. Matanya menyipit, wajahnya berang. “Lilis! Mulutmu itu sejak dulu selalu penuh fitnah! Tidak cukup kau merusak rumah tangga orang, sekarang kau mau menjatuhkan menantuku dengan tuduhan keji?”
Hanum menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Suaranya parau. “Saya tidak mencuri … demi Allah, saya tidak…”
Namun Lilis tak berhenti. Ia bahkan melangkah mendekat, berteriak keras. “Jangan membela dia, Tante! Wanita ini licik, dia ingin merebut segalanya dariku! Buktinya jelas, perhiasan itu ada di tasnya!”
Plak!
Belum sempat Siska menjawab, satu tamparan dari Abraham sudah mendarat di pipi Lilis. Tamparan keras mendarat di pipi Lilis. Suara tamparan itu menggema hingga membuat semua orang yang menonton menahan napas. Hanum menoleh cepat, terkejut bukan main. Dia tak pernah menyangka Abraham, yang selama ini begitu dingin, bisa kehilangan kendali demi dirinya.
“Tuan…” Hanum hanya bisa berbisik lirih. Lilis terhuyung, memegangi pipinya yang memerah. Matanya membulat tak percaya. “Ka-kamu berani menamparku?!”
Abraham maju setapak lagi, nadanya semakin dingin dan menusuk.
“Memangnya kenapa kalau dia mencuri?!”
Kerumunan langsung bergemuruh. Semua orang saling pandang, bingung dengan ucapan Abraham. Pria itu menatap lurus ke arah Lilis, lalu melontarkan kalimat yang membuat seluruh butik terdiam.
“Toko ini milik saya. Bahkan seluruh mall ini atas nama saya. Kau mau apa, hah?”
Bisik-bisik langsung terdengar dari semua arah. Beberapa orang menutup mulutnya, terkejut mendengar pengakuan itu.
“Itu suami Hanum?”
“Ya Tuhan … ternyata dia lebih beruntung daripada Lilis.”
“Bukannya Lilis istri Galih? Jadi dulu benar gosip perselingkuhan itu…”
Semua mata kini tertuju pada Lilis dengan tatapan sinis. Wajah wanita itu memucat, tubuhnya bergetar hebat. Ucapan Abraham terasa seperti hantaman bertubi-tubi, lebih sakit daripada tamparan barusan. Dia tak menyangka, Hanum yang dulu ditendang dari rumah bisa bangkit dengan posisi lebih tinggi darinya.
Saat itulah dua orang satpam butik datang tergesa, menunduk hormat pada Abraham. “Ada yang bisa kami bantu, Tuan?”
Abraham mengangkat tangannya, menunjuk Lilis dengan sorot mata penuh jijik.
“Tahan dia. Wanita ini yang mencuri, lalu menuduh istriku. Serahkan ke ruang keamanan.”
Semua orang terperanjat. “Apa?!” teriak Lilis, panik. Dia langsung mencoba kabur, namun satpam sigap menahan lengannya. “Lepaskan aku! Aku tidak mencuri! Aku hanya ... aku hanya...”
Jeritannya tak digubris, Satpam mulai menyeretnya keluar butik.
“Tanpa uang tebusan senilai perhiasan itu,” tegas Abraham, nadanya dingin, “jangan lepaskan dia.”
“Siap, Tuan.” Satpam mengangguk patuh.
“Tidak! Abraham! Kau tidak bisa lakukan ini padaku!” Lilis menjerit-jerit, wajahnya penuh air mata, namun tidak seorang pun peduli. Semua orang justru menatapnya dengan pandangan merendahkan.
Saat satpam menariknya semakin jauh, Abraham berbalik. Pandangannya kini jatuh pada barisan pelayan butik yang masih terpaku ketakutan. Rahangnya mengeras, nada suaranya bagai cambuk.
“Kalian semua … dipecat. Mulai sekarang, jangan pernah kembali ke tempat ini lagi.”
Salah seorang pelayan memberanikan diri bersuara, terbata. “T-tapi, Tuan … kami tidak tahu. Kami hanya kenal Nyonya Alma, karena beliau istri sah Tuan. Apakah wanita ini … hanya istri siri sehingga...”
Belum selesai ia bicara, Abraham mengepalkan tangannya, matanya menyala.
“Apa urusan pribadiku harus aku jelaskan pada kalian?!”
Suara Abraham bergemuruh, membuat semua orang langsung menunduk ketakutan. Hanum tersentak, jantungnya seakan berhenti berdetak.
“Keluar dari ruangan ini!” Abraham menggelegar.
Semua pelayan buru-buru berhamburan keluar, tak ada yang berani menoleh. Keheningan mencekam menyelimuti butik. Hanum masih berdiri kaku, tubuhnya gemetar. dia tak tahu harus merasa lega atau takut dengan amarah Abraham yang begitu besar. Siska menatap putranya dalam-dalam, matanya penuh arti, sementara Hanum menunduk, wajahnya bersemu merah, hatinya bergetar tak menentu.
Abraham menggenggam tangan Hanum dengan erat, tatapannya tajam menembus kerumunan yang masih sibuk bergumam tentang insiden barusan. Wajah Hanum memerah, bukan hanya karena malu, tetapi juga karena campuran perasaan takut dan tidak percaya pada apa yang baru saja terjadi. Lelaki itu benar-benar menampar Lilis di depan umum, membela dirinya tanpa peduli siapa yang menonton.
Langkah Abraham mantap, menyeret Hanum keluar dari toko perhiasan itu tanpa sedikit pun menoleh. Siska menyusul di belakang mereka dengan wajah masih menyimpan amarah. Hanum berusaha menarik tangannya, merasa terlalu banyak sorotan yang tertuju pada mereka, tetapi genggaman Abraham terlalu kuat.
“Tuan ... lepaskan, tolong ... semua orang melihat,” ucap Hanum dengan suara lirih, nyaris memohon.
Namun, Abraham tidak menjawab. Dia hanya menundukkan wajahnya sedikit, seolah berusaha menahan emosi yang masih bergejolak. Di lobi mall, tatapan orang-orang terus mengikuti mereka, bisikan-bisikan semakin keras terdengar. Nama Hanum, Abraham, dan juga Lilis jelas-jelas menjadi bahan omongan hangat di sana.
Begitu sampai di parkiran, Abraham berhenti mendadak. Dia berbalik, menatap Hanum lekat-lekat. Wajah dinginnya masih ada, tetapi kali ini berbeda, ada sesuatu yang bergejolak di balik tatapan itu.
“Kamu...” Abraham menarik napas panjang, “jangan pernah biarkan mereka mempermainkanmu lagi, kamu mengerti?”
Hanum menunduk, matanya berair. “Saya ... saya tidak tahu kenapa itu bisa ada di tas saya, Tuan. Saya sungguh tidak...”
“Saya tahu kamu tidak melakukannya,” potong Abraham cepat, nadanya berat tapi mantap. “Saya kenal mata orang yang bersalah, dan kamu bukan salah satunya.”
Kata-kata itu membuat Hanum tertegun. Untuk pertama kalinya, dia merasakan keyakinan yang begitu kuat dari seorang Abraham yang selama ini dingin kepadanya. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena takut, tapi karena ada rasa haru yang sulit dia sembunyikan.
Siska yang sejak tadi diam akhirnya bicara, “Abraham, kamu tadi terlalu keras. Menampar perempuan di depan umum, apalagi istri orang. Itu bisa panjang urusannya.”
Abraham melirik ibunya sekilas, lalu menatap lurus ke depan. “Biar saja, kalau ada yang berani menyentuh Hanum lagi, aku tidak akan segan-segan melakukan lebih dari itu. Dia istriku, Bu. Dan aku tidak akan biarkan siapa pun menginjak harga dirinya.”
Hanum terperangah mendengar kalimat itu. Kata istriku keluar begitu lantang, begitu tegas, di hadapan ibunya sendiri dan banyak orang yang menyaksikan tadi. Sementara dirinya dia masih merasa belum pantas.
Mobil hitam mewah mereka akhirnya tiba di hadapan. Abraham membukakan pintu untuk Hanum, sebuah sikap yang jarang sekali ia lakukan. Hanum sempat ragu untuk masuk, namun tatapan tajam suaminya membuatnya tak punya pilihan. Dia duduk diam, tangannya menggenggam tasnya erat-erat, sementara air mata yang tadi ia tahan mulai mengalir pelan.
Di balik kemudi, Abraham menyalakan mesin mobil. Sepanjang perjalanan, keheningan menyelimuti mereka. Hanya suara jalanan dan detak jantung Hanum yang terasa begitu keras di telinganya sendiri.
Tiba di rumah, Abraham lebih dulu turun, lalu mengitari mobil untuk membukakan pintu Hanum. Hanum mengusap pipinya cepat-cepat, berusaha menyembunyikan jejak air mata. Namun, ketika ia mendongak, tatapan Abraham sudah menelannya bulat-bulat.
“Hanum,” ucap Abraham pelan, berbeda dari biasanya, “kamu tidak perlu takut lagi. Selama kamu di sisiku, aku yang akan berdiri paling depan.”
Hanum menatap kedua mata tegas Abraham dan wajah dinginnya, namun ucapan Abraham bisa dipegang olehnya. Hanum merasakan degup jantungnya yang kuat seakan ingin melompat.
Hanum.bisa loh nakhlukin ranio
waspada Abraham
Istri mu nggak kaleng2 Biiii 👏👏👏