Jodoh dicari ✖️
Jodoh dijebak ✔️
Demi membatalkan perjodohan yang diatur Ayahnya, Ivy menjebak laki-laki di sebuah club malam untuk tidur dengannya. Apapun caranya, meski bagi orang lain di luar nalar, tetap ia lakukan karena tak ingin seperti kakaknya, yang menjadi korban perjodohan dan sekarang mengalami KDRT.
Saat acara penentuan tanggal pernikahan, dia letakkan testpack garis dua di atas meja yang langsung membuat semua orang syok. ivy berhasil membatalkan pernikahan tersebut sekaligus membuat Ayahnya malu. Namun rencana yang ia fikir berhasil tersebut, ternyata tak seratus persen berhasil, ia dipaksa menikah dengan ayah janin dalam kandungan yang ternyata anak konglomerat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Dengan wajah kusut, Yusuf melemparkan amplop putih hasil tes DNA ke atas meja ruang keluarga. Sebelum pulang ke rumah tadi, ia menyempatkan diri ke rumah sakit untuk mengambil hasil tes yang sudah keluar pagi tadi. Lebih cepat dari perkiraan yang sekitar seminggu, baru 3 hari, hasilnya sudah keluar.
Sani yang duduk di sofa bersama Luth, mengambil amplop tersebut. Melihat wajah suaminya, ia bisa memprediksikan seperti apa hasilnya. Dan benar saja, saat dia buka dan lihat hasilnya, ternyata memang cocok. Janin dalam kandungan Ivy, benar anak Yasa.
"Itu apa, Mom?" Luth menelengkan kepala ke arah Mamanya, berusaha melihat lembaran kertas yang dibaca sang Mama.
Sambil tersenyum, Sani menjauhkan kertas tersebut dari pandangan Luth. Tapi sebenarnya, jika Luth melihat pun, kemungkinan besar tidak faham apa yang dijelaskan di kertas tersebut. Tolong panggil Kak Yasa, Sayang," pintanya sambil mengusap kepala Luth.
"Itu kertas apa sih?" bocah itu masih penasaran.
"Hasil tes kesehatan Kak Ivy. Luth masih ingat Kak Ivy gak?"
Luth mengangguk, "Yang cantik itu kan? Yang hari itu sarapan dengan kita?"
Sani mengangguk, "Buruan gih, panggil Kakak."
Luth mengangguk, lalu bangkit dari duduknya, berlari ke arah lift untuk naik ke lantai 3.
"Sayang, naik tangga aja, olahraga!" teriak Sani, tapi sayang gak digubris oleh Luth, anak bertubuh subur itu memilih tetap naik lift.
Yusuf duduk di sebelah Sani, menyandarkan punggung di sofa sambil membuang nafas kasar. Ia meraup wajah kusutnya dengan kedua telapak tangan. "Kita kena karma atau apa sih, bisa-bisanya punya besan, dua-duanya gak bener," ia tersenyum getir.
Sani menggenggam tangan Yusuf, menyandarkan kepala di bahunya. "Karma itu gak ada, Pah. Jangan mikir kayak gitu. Doa saja, meski punya besan dua-duanya gak bener, semoga menantu kita semuan bener."
"Kalau Yasmin udah bisa ditebak, 99 persen bener. Lah ini, si Ipi, Papa gak yakin," Yusuf mendengus kesal.
"Jangan gitu ah. Sebenernya Ivy juga anak baik kok."
"Mungkin anak-anak niru Papanya," Yusuf tiba-tiba tersenyum kecut.
"Maksudnya?" Sani menegakkan badan, mengernyit menatap Yusuf.
"Papanya punya mertua gak bener, ya mereka ngikutlah," terkekeh pelan.
"Ish!" Sani memukul pelan lengan Yusuf. "Bisa-bisanya ngatain Papa aku kamu."
Yusuf makin cekikikan melihat Sani kesal. "Ya kan aku orangnya jujur, Mah. Ya masa spek Papa kamu, aku bilang bener sih. Nonsense tahu gak!"
Sani menghela nafas kasar, lalu kembali merebahkan kepala di bahu Yusuf. Sebelah lengannya, melingkar di perut sang suami yang sudah mulai buncit. Mau marah, tapi yang dikatakan adalah fakta. "Makasih ya, kamu udah jadi Papa yang hebat untuk anak-anak. Meski aku gak memiliki Papa yang hebat, setidaknya aku bisa melihat sosok itu di diri kamu, Sayang."
"Cie sayang... " Yusuf malah meledek, menatap Sani sambil menahan tawa. "Udah berapa tahun kamu gak manggil aku sayang, Mah? Sampai lupa aku kapan terakhir kali."
"Halah lebay!" Sani kembali memukul lengan Yusuf. "Olahraga," ia mencubit lemak di perut suaminya. "Makin tebel ini."
"Mah, manggil aku?"
Suara Yasa membuat Sani melihat ke sumber suara. Menguraikan lengan yang melingkar di perut sang suami sambil menegakkan badan.
"Noh lihat!" Yusuf menunjuk dagu ke amplop putih di atas meja. Ekspresinya tampak kesal, baru membayangkan berbesanan dengan Agung saja, ia sudah muak. Baginya, seburuk-buruk Indra, mertua Nuh itu masih bisa di handle, tapi Agung, laki-laki itu lebih berbahaya, culas.
Yasa melangkah maju ke arah meja, mengambil amplop putih yang ada disana. Dari tulisan nama rumah sakit di amplop, ia sudah bisa menduga apa isinya. Ia lalu membuka untuk melihat isinya. Tak ada perasaan deg-degan, ia seperti sudah yakin apa hasilnya. Dan ternyata, sesuai perkiraannya.
Sani menepuk sisi sofa sebelahnya, meminta Yasa duduk disana. "Terus ini jadinya gimana?"
"Gimana maksudnya, Mah?" Yasa malah balik tanya.
"Ya pernikahannya, Yas. Mau dipestain di hotel, bikin acara sederhana di rumah, atau di KUA?"
"Udah, di rumah aja. Gampang, gak ribet." Bukan Yasa yang jawab, tapi Yusuf.
"Kok ngomongnya gitu sih Pa," Sani menoleh sambil menepuk paha Yusuf. "Dulu pernikahan Nuh dipestain besar, masa Yasa cuma di rumah." Ia takut Yasa merasakan ketidak adilan. Dalam mendidik ketiga anak laki-lakinya, hal yang paling ia takutkan adalah, salah satu dari mereka merasa tidak mendapatkan keadilan.
"Ya maksud Papa, yang penting sah dulu. Dulu Nuh juga gak langsung pesta, bahkan mereka udah nikah hampir setahun, baru terealisasikan pestanya. Ngurusin pesta juga butuh waktu, bisa-bisa pas pesta, perut Ivy sudah mbelendung besar."
Sani menghela nafas panjang, benar juga apa yang dikatakan suaminya. "Menurut kamu gimana, Yas?" menoleh pada Yasa. Keningnya mengkerut melihat Yasa hanya bengong, sampai ia tepuk lututnya, anaknya itu baru ngeh.
"A, apa Mah?" tanya Yasa gelapan.
"Kamu kok malah melamun sih," Sani menghela nafas panjang sambil geleng-geleng. "Yang dibahas ini penting, bisa-bisanya malah ngelamun."
"Dia yang bikin masalah, dia juga yang asyik melamun, kita yang disuruh mikir," celetuk Yusuf.
"Pah!" Sani menoleh pada suaminya. "Udah dong. Lagian Yasa gak seratus persen salah disini."
Yusuf mendengus kesal, "Sumpah, gak suka sekali Papa sama calon istrinya Yasa. Tahu gitu, dari dulu mending kamu nikah saja sama Alice."
Sani membuang nafas kasar. "Disuruh udah, malah makin jauh ngomongnya."
Mendengar nama Alice, Yasa jadi ingat, sejak kemarin dia belum membalas pesan sepupunya itu yang ngebet ngajak nonton. Bagaimana nanti saat Alice tahu dia akan menikah? Apakah gadis itu akan patah hati?
"Yas!" Sani kembali menepuk paha Yasa melihat putranya itu lagi-lagi melamun. "Kamu mikirin apa sih?"
Yasa menghela nafas panjang, "Yasa bingung Mah. Yasa belum bisa menghasilkan uang, bagaimana nanti kehidupan kami setelah menikah," ia tertunduk lesu. Sejujurnya, nikah muda tak pernah ada dalam benaknya. Ia ingin sukses berkarir, urusan nikah, tak mau dulu ia memikirkan. Mungkin nanti saat usianya sudah kepala tiga, baru akan memikirkan soal itu.
"Dia udah kerja, bisa cari uang sendiri, gak usah kamu pikirin," celetuk Yusuf santai.
"Pah, kok ngajarin anak kayak gitu sih," Sani lagi-lagi dibuat jengkel dengan ucapan Yusuf.
"Ya kan yang salah emang si Ipi itu. Sumpah, gedek banget Papa pas lihat videonya. Padahal Yasa ini mau Papa jadikan penerus Papa di perusahaan. Papa ingin Yasa fokus belajar, lulus S1, lanjut S2 di luar negeri. Lalu Papa gembleng biar jadi pengusaha yang cara berfikirnya kritis sekaligus tahan banting. Eh... tuh si Ipi malah menghancurkan mimpi Papa."
Yasa tertunduk dalam, merasa bersalah. Harapan Papanya terlalu tinggi padanya, tapi alih-alih merealisasikannya, ia malah mengecewakannya.
"Bukan mau membandingkan, tapi emang kalau dibanding Nuh, Yasa lebih cocok jadi pengganti Papa. Selain karena otaknya lebih cerdas, fikirannya matang. Anaknya gak mudah ketriger, dan penurut, mudah diarahkan."
"Kalimat pertama kamu ambigu. Gak mau membandingkan konon, tapi kalimat selanjutnya berisi perbandingan semua," cibir Sani. "Nikah bulan berarti masa depan Yasa hancur, dia masih bisa kok, jadi seperti yang Papa mau."
"Ya tapi kalau udah nikah, fikirannya jadi bercabang, gak bisa fokus pada bisnis aja."
"Siapa tahu Ivy malah bisa support, dan Yasa makin semangat belajar biar cepat lulus dan bisa kerja. Nantinya semangat juga kerja karena ada anak dan istri yang harus dinafkahi. Jangan hanya melihat dari sisi negatif aja, lihat juga dari sisi sebaliknya." Keduanya masih terus berdebat, sampai Yasa geleng-geleng sambil mengusap tengkuk.
"Mah, Pah, Yasa hubungi Ivy dulu ya, ngasih tahu soal ini. Untuk urusan pernikahan, biar kami bahas dulu. Tapi... sebisa mungkin, Yasa gak mau merepotkan kalian berdua. Mungkin, yang dikatakan Ivy kala itu cocok, kami menikah di KUA saja." Yasa bangkit dari duduknya, mengambil hasil tes DNA lalu membawanya ke kamar.
Sesampainya di kamar, setelah mengambil foto hasil tes DNA, ia mengirimkan pada Ivy. Sambil menunggu balasan Ivy, ia berfikir keras, kira-kira, pekerjaan apa yang bisa ia lakukan agar mendapatkan uang. Beberapa kali, ia jadi model pakaian di brand Kakaknya, namun job itu tak selalu ada, jadi tak bisa diandalkan untuk penghasilan setiap bulan.
Mendengar suara notif, ia mengecek ponsel yang ada di tangan. Ada balasan pesan dari Ivy.
[ Gue gak bohongkan? ]
[ Kita harus ketemu, buat bahas masalah pernikahan ]
[ Langsung daftarin aja, Yas. Kita nikah di KUA ]
[ Fix? ]
[ Iya ] Balas Ivy cepat.
[ Ya udah, besok gue jemput. Bawa dokumen yang dibutuhkan. Kita juga harus ketemu orang tua gue, buat bahas soal lain-lain. Untuk mahar, kamu minta apa? ]
Belum ada balasan dari Ivy, ponsel Yasa berdering, ada video call dari Alice.
[
yg jahat bapaknya ivy
sakit hati nya sampai kesini lo el