Dunia Yumna tiba-tiba berubah ketika sebuah video syur seorang wanita yang wajahnya mirip dengan dirinya sedang bercinta dengan pria tampan, di putar di layar lebar pada hari pernikahan.
Azriel menuduh Yumna sudah menjual dirinya kepada pria lain, lalu menjatuhkan talak beberapa saat setelah mengucapkan ijab qobul.
Terusir dari kampung halamannya, Yumna pun pergi merantau ke ibukota dan bekerja sebagai office girl di sebuah perusahaan penyiaran televisi swasta.
Suatu hari di tempat Yumna bekerja, kedatangan pegawai baru—Arundaru—yang wajahnya mirip dengan pria yang ada pada video syur bersama Yumna.
Kehidupan Yumna di tempat kerja terusik ketika Azriel juga bekerja di sana sebagai HRD baru dan ingin kembali menjalin hubungan asmara dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Arundaru menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya memutuskan mengetik sesuatu untuk Yumna. Semakin lama dia memandangi riwayat digital yang sudah terbongkar, semakin besar keinginannya untuk segera memberi tahu perempuan itu kebenaran yang selama ini membuat hidupnya porak-poranda.
[Yumna, setelah pulang kerja nanti, bisakah kita bertemu sebentar? Ada hal penting.]
Pesan itu terkirim. Jantung Arundaru berdetak kencang, seperti seseorang yang sedang menunggu hasil ujian hidup.
Tidak lama kemudian, ponselnya bergetar.
[Boleh. Tapi aku harus pulang agak cepat, soalnya ada jadwal ngajarin ngaji.]
Arundaru tersenyum.
[Tenang, tidak lama.]
Sore itu, hujan sempat turun sebentar. Jalanan tampak lembab dengan aroma tanah basah yang menenangkan. Yumna berdiri di depan halte, memeluk tasnya, sesekali mengusap ujung kerudung yang tertiup angin.
Arundaru muncul dari arah kiri, membawa payung biru gelap.
“Yumna.” Suaranya lembut, tapi serius.
Perempuan itu menoleh. Ada sesuatu dalam ekspresi pria itu—seakan-akan ia sudah memikul beban terlalu lama.
Mereka memilih duduk di bangku halte kecil yang agak sepi. Hanya suara kendaraan dan hujan yang masih menetes dari dedaunan.
Arundaru menarik napas panjang. “Aku sudah menemukan kebenaran tentang video itu.”
Yumna mematung. Tangannya refleks mengepal, tubuhnya menegang.
“Siapa?” tanyanya lirih, hampir seperti seseorang yang siap patah untuk kedua kalinya.
Arundaru membuka ponselnya pelan. “Julio. Dan orang yang meminta dia membuat video itu adalah Zakia.”
Yumna langsung menutup mulutnya dengan tangan. Napasnya tercekat.
“Zakia?” bisiknya, hampir tidak percaya.
Arundaru mengangguk penuh simpati. “Aku sudah cek bukti transaksi, chat, riwayat digital. Tidak ada lagi yang perlu diragukan.”
“Kenapa dia tega melakukan itu?” Tubuh Yumna bergetar karena marah dan sedih.
Air mata Yumna jatuh, cepat dan panik. Ia menunduk, menahan suara agar tidak pecah.
“Apa salahku sampai dia berbuat seperti itu? Di hari pernikahanku, di depan keluarga besar.”
Tanpa berpikir panjang, Arundaru menggeser tubuhnya mendekat. Tangan besarnya perlahan menyentuh punggung Yumna. Perempuan itu sedikit tersentak, namun tidak menghindar.
“Hei, Yumna, dengar aku.”
Arundaru mendekat, memiringkan wajahnya agar mata mereka sejajar. “Kamu korban. Kamu enggak salah. Kamu enggak kotor. Kamu enggak pantas dicaci. Ini semua—perbuatan orang lain.”
“Ta-tapi orang-orang sudah melihatnya… orang tuaku … Azriel, semua orang!”
“Nggak apa-apa. Ada aku di sini.” Arundaru menepuk lembut bahunya, gerakannya pelan, penuh empati. “Kamu tidak sendiri. Aku akan bantu kamu sampai akhir, sampai semuanya terbongkar.”
Yumna menangis lebih keras. Tangis itu bukan hanya luka, ada rada lega yang ikut keluar di antara sesaknya.
Tanpa berpikir panjang, Arundaru meraih tubuhnya dan menariknya ke dalam pelukan.
Yumna tersentak, tapi tidak menolak. Tubuhnya bergetar, wajahnya tenggelam di dada Arundaru.
Aroma wangi parfum maskulin yang lembut mengelilinginya, membuat Yumna tiba-tiba merasa aman dan nyaman.
Tangan Arundaru terangkat pelan, mengelus belakang kepala perempuan itu.
“Sssst… kamu sudah cukup menderita. Mulai sekarang, biarkan Mas yang bantu kamu.
Yumna menatapnya, mata basah, tetapi ada secercah rasa aman yang muncul di antara kepedihan.
“Kenapa sejauh ini Mas mau bantu aku?” tanya Yumna lirih.
Arundaru terdiam satu detik—lalu dua detik terlalu lama. Dia tersenyum kecil, menahan debaran jantungnya yang berisik. Dalam hati berkata, “Karena kamu berharga.”
“Karena ....” Arundaru menelan ludah, mencoba menahan ledakan perasaan yang selama ini berusaha dia sembunyikan. “Karena aku peduli sama kamu. Lebih dari yang harusnya.”
Ucapan itu tidak berlebihan, bukan untuk menggoda, justru terdengar seperti kebenaran yang selama ini dia butuhkan.
Setelah beberapa menit, Yumna melepaskan pelukan itu perlahan. Wajahnya memerah dan sembap. Arundaru buru-buru mengeluarkan tisu dari sakunya.
Yumna membuang tatapannya cepat-cepat, pipinya merona walau dia mencoba menyembunyikannya di balik kerudung. “Mas Arun jangan bercanda.”
“Siapa bilang aku bercanda?” Arundaru mendekat lagi selangkah, suaranya menjadi lebih dalam. “Setiap kali kamu sedih, aku ikut sesak. Setiap kali kamu tersenyum, aku merasa dunia jadi lebih terang.”
Yumna memeluk tasnya erat seperti ingin menahan gejolak aneh di dadanya. Ia berdeham, mencoba menjaga diri.
“Besok pagi, aku jemput kamu. Kita pergi ke kantor polisi, ketemu Julio, dan pastikan semua fakta terkuak,” ujar Arundaru serius.
Yumna mengangguk. “Baik, Mas. Terima kasih… banyak.”
Arundaru tertegun. Panggilan Mas dari bibir Yumna terasa berbeda—lebih hangat, lebih dekat, seperti jarak mereka menyempit dalam hitungan jam.
Yumna menatap Arundaru diam-diam. Mata pria itu fokus, tulus, tanpa kepura-puraan. Untuk pertama kalinya setelah semua rasa malu dan kehancuran itu, dia merasa ada yang melihat dan menerima dirinya.
“Terima kasih,” bisik Yumna. “Aku nggak tahu harus bilang apa.”
“Cukup bilang kamu akan jaga dirimu.” Arundaru tersenyum miring. “Soalnya kalau kamu kenapa-kenapa, aku bisa gila.”
Yumna menahan tawa kecil, tawa yang dia sendiri tidak sadari sudah lama hilang dari hidupnya. Senyum itu membuat Arundaru terpaku sesaat.
Arundaru tersenyum, melihat gadis itu akhirnya bisa tertawa meski tipis.
“Besok pagi, aku jemput kamu. Kita pergi ke kantor polisi, ketemu Julio, dan pastikan semua fakta terkuak,” ujar Arundaru serius.
Yumna mengangguk. “Baik, Mas. Terima kasih… banyak.”
Arundaru tertegun. Panggilan Mas dari bibir Yumna terasa berbeda, lebih hangat, lebih dekat, seperti jarak mereka menyempit dalam hitungan jam.
Bus yang mereka tunggu akhirnya datang.
“Ayo, pulang,” kata Arundaru sambil berdiri. Namun sebelum Yumna naik, pria itu menahan pundaknya pelan.
“Yumna ....”
Perempuan itu menoleh.
“Mulai sekarang, biar aku yang antar kamu pulang. Setiap hari.”
Wajah Yumna langsung memanas. “Ha—? Mas Arun, nanti orang-orang salah paham.”
“Biarin,” jawab Arundaru santai namun mantap. “Selama kamu aman, aku nggak peduli orang ngomong apa.”
Itu kalimat paling berani yang pernah Yumna dengar darinya. Ia tidak langsung menjawab. Tapi ketika mereka naik bus dan duduk berdampingan, jarak mereka hanya beberapa senti, Yumna merasakan sesuatu yang baru, degupan jantung yang tidak mampu dia dustakan.
Sesampainya di dekat gang kost, Yumna menoleh sebentar. “Mas Arun, terima kasih, ya.”
Arundaru melihatnya seperti seseorang yang menemukan rumah setelah bertahun-tahun tersesat. “Sama-sama. Kalau sudah selesai ngajarin ngaji, kabari aku.”
“Untuk apa?”
“Buat pastikan keadaan kamu aman.”
Yumna menunduk cepat—malu, tersipu, tapi tidak menolak.
“Baik, Mas Arun.”
Pria itu tersenyum. Senyum yang Yumna lihat sekilas sebelum berbalik dan berjalan masuk gang. Jantungnya masih berdetak kencang.
Sementara, Arundaru berdiri lama di tempatnya, menatap punggung perempuan itu menjauh.
“Yumna, kamu bakal jadi alasan aku berubah,” gumam Arundaru. Untuk pertama kalinya, ia berharap Yumna juga merasakan hal yang sama seperti dirinya.
Modus mas Arun moduusss 😂😂😂
semoga keluarga Arun bisa menerima Yumna