Menjemput Cahaya
Hujan turun perlahan di malam yang sunyi. Tetes-tetesnya jatuh ke tanah, menciptakan irama sendu yang menggema di sepanjang jalan setapak yang tengah dilalui Santi.
Langit kelam tanpa bintang, seakan mencerminkan hatinya yang kosong dan penuh keraguan. Langkahnya berat, meskipun ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya jalan yang harus ia tempuh.
Di kejauhan, sebuah pesantren berdiri kokoh dalam temaram cahaya lampu-lampu kecil. Bangunan itu terlihat sederhana, jauh berbeda dari dunia yang baru saja ia tinggalkan. Tidak ada gemerlap, tidak ada suara hingar-bingar kehidupan malam yang dulu akrab dengannya. Hanya keheningan dan desir angin yang berembus lembut, menyapu wajahnya yang basah—entah oleh air hujan atau air mata.
Santi menggenggam erat tas kecil yang hanya berisi beberapa potong pakaian dan mushaf kecil. Di dalamnya, tersimpan sepotong harapan, sejumput keinginan untuk berubah. Tapi benarkah dia bisa? Benarkah dia masih pantas untuk kembali?
Ingatan tentang masa lalunya berkelebat di benaknya. Dulu, ia pernah menjadi gadis biasa, tumbuh dalam keluarga yang sederhana, dengan segala kerumitan hidup yang menyertainya. Namun, kehidupan sering kali tidak berjalan sesuai harapan. Kematian ibunya, ayah yang pergi entah ke mana, dan keadaan ekonomi yang semakin terpuruk membuatnya mengambil jalan yang kini begitu ia sesali.
Dulu, Santi berpikir bahwa dunia bisa memberinya kebahagiaan, bahwa uang bisa menggantikan kehangatan keluarga yang hilang. Tapi kenyataannya, semakin ia terjerumus, semakin kosong dirinya. Malam-malam panjang yang ia habiskan dalam kesepian, kebisingan yang tak mampu mengisi jiwanya, dan tatapan penuh hinaan dari orang-orang yang menganggap dirinya kotor—semua itu meninggalkan luka yang tak terlihat, namun begitu dalam.
Ia mendongak, menatap gerbang pesantren yang kini hanya berjarak beberapa langkah darinya. Di balik gerbang itu, ada dunia baru yang masih sangat asing baginya. Dunia yang mungkin tidak akan menerimanya dengan mudah. Dunia yang mungkin akan mempertanyakan niatnya.
Bahkan ia sendiri tidak yakin, dengan langkah yang ia ambil saat ini. Hatinya, belum terlepas dari kemelekatan dunia. Ia masih ingin hidup damai, memiliki banyak uang, dan bisa membeli apa saja yang ia mau. Ia manusia normal, tapi ia pun tidak ingin terus-menerus berada di masa lalunya. Terlebih, ini adalah jalan yang dipilihkan oleh orang yang ia cintai.
Angin malam berembus lebih kencang, membuatnya merapatkan jaket tipis yang membalut tubuhnya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir keraguan yang masih bersarang di hatinya.
"Tuhan… aku ingin kembali. Tapi apakah Kau akan menerimaku?"
Bisikan itu meluncur dari bibirnya tanpa ia sadari. Sebuah doa yang selama ini tersimpan dalam lubuk hatinya yang terdalam.
Tangan Santi terangkat, gemetar saat ia mengetuk gerbang yang tinggi di hadapannya. Detik-detik terasa begitu lambat sebelum akhirnya suara langkah terdengar dari dalam. Pintu itu terbuka, memperlihatkan seorang pria paruh baya.
“Nak, siapa namamu?” suara itu begitu tenang, seakan tahu bahwa Santi datang dengan membawa beban berat yang tak terlihat.
“S-Santi, Pak, ” jawabnya nyaris berbisik.
Pria itu mengangguk, lalu melirik tas kecil di tangan Santi. “Santi, kerabatnya Ustadz Fahri?" tanyanya menelisik Santi.
Santi menggigit bibirnya, mengangguk pelan, "iya Pak," jawabnya sedikit ragu, sebab ia bukanlah kerabat Ustadz Fahri. Tapi, ia langsung paham barang kali Ustadz Fahri mengatakan kepada si ibu ini bahwa mereka adalah kerabat.
“Mari masuk, Bu nyai sudah menunggu di dalam," ujarnya sambil membuka pintu gerbang lebih lebar.
Santi menatap ke dalam pesantren yang kini terbuka untuknya. Sebuah langkah kecil, tapi mungkin inilah awal dari perjalanannya menuju cahaya. Dengan tarikan napas panjang, ia melangkah masuk, meninggalkan hujan dan kegelapan di belakangnya.
Masa lalu masih akan mengikutinya, tapi setidaknya kini ia telah memilih untuk berjalan ke arah yang berbeda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments