Olivia Caroline adalah seorang wanita matang dengan latar belakang kedua orang tua broken home. Meski memiliki segalanya, hatinya sangat kosong. Pertemuan dengan seorang gadis kecil di halte bis, membuatnya mengerti arti kejujuran dan kasih sayang.
"Bibi, mau kah kamu jadi Mamaku?"
"Ha? Tidak mungkin, sayang. Bibi akan menikah dengan pacar Bibi. Dimana rumahmu? Bibi akan bantu antarkan."
"Aku tidak mau pulang sebelum Bibi mau menikah dengan Papaku!"
Bagaimana kisah ini berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kumi Kimut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
Peter sedari tadi menatap wajah kakaknya yang amat sedih. Wajah Olive yang biasanya cerah kini tampak kusam, matanya sedikit merah, dan bibirnya terlihat rapuh. Peter tahu betul apa yang dipikirkan oleh kakaknya.
Selain ibu dan ayahnya yang selalu membuatnya merasa terluka dengan kata-kata mereka yang tanpa ampun, tentu saja, yang paling membebani pikiran Olive adalah Mario, mantan kekasih yang tiba-tiba pergi beberapa waktu lalu tanpa alasan yang jelas. Peter bisa merasakannya. Kakaknya masih belum bisa melupakan Mario.
Di sisi lain, Aarav yang duduk tak jauh dari mereka berdua juga menatap Olive dengan perasaan yang sama. Dia tahu Olive sedang berjuang dengan perasaannya, dan dia merasa terhubung dengan kesedihan itu.
Namun, Aarav bingung bagaimana seharusnya dia mendekati Olive. Mereka bukan sahabat dekat, dan dia tak ingin melanggar batas dengan terlalu ikut campur dalam urusan pribadi kakak Peter itu.
Saat Aarav memutuskan untuk berdiri dan menghampiri Olive, dia melihat Peter sudah lebih dulu berada di sisi kakaknya. Dengan langkah hati-hati, Aarav mundur sejenak, berusaha memberi ruang bagi mereka berdua.
Dia merasa canggung dan memilih untuk berpura-pura mengambil sesuatu dari meja di dekatnya yang sebenarnya tidak jatuh. Dalam kebingungannya, tanpa sengaja Aarav mendengar lebih dekat ke mereka.
Saat itulah, dari celah percakapan mereka, Aarav menangkap beberapa kata yang sangat familiar di telinganya—sebuah nama Mario. Nama yang ia tahu sebagai mantan kekasih Olive.
Peter, yang terlihat sangat perhatian kepada Olive, dengan lembut berkata, "Mbak, kamu harus mencoba untuk melepaskan dia. Kalau Mario benar-benar cinta sama kamu, nggak akan pergi begitu saja. Kamu nggak pantas diperlakukan seperti itu."
Olive hanya diam, menunduk, seakan kata-kata Peter terlalu berat untuk diserap. Dia menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara pelan, "Aku nggak tahu, Peter. Rasanya... semuanya begitu tiba-tiba. Mario selalu ada di sisiku, bahkan saat ulang tahunmu. Dia selalu ada, memberi kejutan, mendengarkan semua cerita tentang kita. Tapi, kenapa dia tiba-tiba pergi tanpa penjelasan? Aku merasa seperti... ditinggalkan begitu saja, tanpa ada alasan yang jelas. Itu yang paling menyakitkan."
Aarav yang mendengarnya merasa sesak di dadanya. Dia tidak pernah tahu bahwa hubungan Mario dan Olive begitu dekat. Ternyata, selama ini, Mario adalah sosok yang sangat berarti bagi Olive.
Aarav tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik hubungan mereka, tapi dia bisa merasakan betapa beratnya perasaan Olive saat ini.
Peter menatap kakaknya dengan penuh perhatian. "Mbak, kamu nggak bisa terus-menerus hidup dalam bayang-bayang seseorang yang nggak bisa menghargai kamu. Kamu bisa mendapatkan lebih darinya. Mbak pantas mendapatkan kebahagiaan yang lebih."
Olive mengangkat wajahnya, matanya masih tampak penuh dengan kebingungan dan luka.
"Tapi, Pete... aku nggak bisa begitu saja melepaskan semuanya. Aku takut, kalau aku melepaskannya, aku bakal kehilangan bagian dari diriku."
Aarav merasa tergerak untuk mengatakan sesuatu, meski dia tahu posisinya bukanlah orang yang tepat untuk berbicara. Namun, melihat Olive yang begitu rapuh, hatinya tidak bisa diam begitu saja. Dia ingin memberi dukungan, meskipun dalam diam.
Dengan langkah yang penuh keraguan, Aarav akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mendekat. "Olive," katanya pelan, "Apa yang terjadi antara kamu dan Mario memang menyakitkan, tapi kamu tidak sendirian. Kami semua di sini untuk kamu. Jangan biarkan satu orang menghancurkan kebahagiaanmu."
Olive menatap Aarav dengan sedikit kaget, tapi dalam pandangannya ada secercah rasa terima kasih yang terlihat meski samar. “Terima kasih, Pak Aarav,” jawabnya, dan untuk pertama kalinya hari itu, dia tersenyum kecil, meski senyumnya penuh dengan kesedihan.
"Maaf jika aku lancang," ujar Aarav lagi.
"Tidak masalah Pak. Aku harusnya malu sama Bapak, Pak Aarav adalah atasanku. Eh, malah harus ikut mendengarkan curcol. Maaf ya pak."
"Santai saja, Olive. Kalau di sini, kita adalah teman. Kalau di kantor, kamu boleh anggap saya bos."
Peter berkali-kali menatap mata Olive dan Aarav. Ada dua pandangan yang berbeda. Kalau di sisi Olive, masih terbayang masa lalu tapi kalau di sisi Aarav, Peter melihat ada kebahagiaan yang ingin dibagikan kepada kakaknya itu.
"Hmmm maaf, aku main sama Alesia dulu ya?" ucap Peter kabur begitu saja.
"Eh, Peter! Kamu mau kemana?" Olive ingin mengejar Peter tapi ditahan oleh Aarav.
"Biarkan saja, Liv. Orang adikmu pengen kita bicara kok."
"Ha? Maksud bapak apa ya?"
"Hahaha ya setidaknya. Aku bisa gantiin Peter mendengar curhatan kamu soal Mario itu. Kalau kamu mau sih. Hm, ya gini aja... Aku ada seorang teman, dia tampan dan baik. Aku harap kamu mau bertemu dengannya." Aarav terlalu kelewat batas. Dia salah bicara dan genting sendiri di dalam hatinya.
"Sial! Kenapa aku gak menyodorkan diriku? Malah meminta Olive bertemu orang lain? Sial! Gugup kan aku! Aish dasar pria bodoh!" gumamnya panik meski wajahnya tetap berusaha baik-baik saja.
Aarav tampak sok cool. Olivia tahu lebih baik dari itu. Tatapan matanya yang tajam mampu melihat sesuatu yang orang lain mungkin lewatkan—gerakan tangan Aarav yang gelisah, sesekali memainkan ujung jasnya atau bagaimana ia menarik napas sebelum berbicara.
"Aku nggak perlu dijodohkan dengan siapa pun," kata Olivia tiba-tiba, suaranya ringan namun tegas. "Aku sedang menikmati masa sendiri."
Aarav menoleh, sedikit terkejut. "Serius?"
Olivia mengangguk, tersenyum tipis. "Jatuh cinta itu semu, Pak Aarav. Hari ini kita merasa ada, besok bisa menghilang begitu saja."
Aarav terdiam, seolah memikirkan sesuatu. Tapi ia tak berkomentar lebih lanjut, membiarkan kata-kata Olivia menggantung di udara.
Di sisi lain ada hal yang menarik perhatian Olivia, yaitu sikap Aarav. Lelaki itu terlihat lebih perhatian malam ini.
"Kenapa hari ini kamu seperti jadi Mak comblang?" Olivia bercanda, mencoba menggodanya.
Aarav mengangkat bahu. "Nggak ada alasan khusus. Aku cuma ingin kamu tuh move on."
Jawaban itu membuat Olivia terdiam sejenak. Ada sesuatu yang berbeda dalam caranya berbicara. Tidak seperti biasanya, Aarav terlihat tulus, tanpa berusaha menyembunyikan dirinya di balik sikap sok cool-nya.
Olivia tidak langsung menjawab. Ia menoleh ke arah Aarav yang tengah mengobrol dengan rekan kerja lain, tapi sesekali melirik ke arahnya, seolah memastikan ia baik-baik saja.
Mungkin selama ini Olivia terlalu menutup diri, terlalu takut untuk membiarkan seseorang masuk ke dalam hidupnya. Tapi untuk pertama kalinya, ia bertanya pada dirinya sendiri—benarkah jatuh cinta hanya sebatas ilusi? Atau mungkin, hanya mungkin,
Aarav bisa membuatnya percaya lagi?
"Haha bagus, makasih atas hiburannya Pak. Btw, gak pengen pulang gitu pak? Kasian lho Alesia, besok sekolah kan?" bisik Olive mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Anakku tidak mau pulang. Dia ingin tetap di sini," balas Aarav berbisik pula.
"Hm bapak mulai modus lewat Alesia nih?" jawab Olive yang paham kalau Aarav ada rencana aneh lainnya.
"Eh, kamu gak boleh berpikiran buruk ya? Aku ngomong apa adanya lho? Serius. Alesia sangat suka sama kamu. Dia begitu nyaman saat bersama kamu." Aarav menjelaskan dengan detail alasan dirinya mengatakan semua itu. Olive tersenyum manis lalu menjawab." Ah yang bener."
"Iya, dong. Bener."
Kedekatan antara Aarav dan Olive kembali terpantau oleh Peter. Dia cukup senang melihat kakak dan Aarav mulai semakin akrab.
"Huft! Semoga saja mbak Olive mau membuka hati untuk Pak Aarav," batin Peter mendoakan kebaikan untuk kakaknya.
Peter menatap ke arah Alesia yang sudah mulai menguap.
"Bobok di kamar paman yuk?" ujar Peter dengan tatapan penuh kasih sayang.
"Hoaaam yok paman." Tanpa menolak, Alesia menerima tawaran Peter.
Peter mengendong tubuh itu dan membawanya ke kamar.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 malam, Aarav dan Olive yang terlalu nyaman bicara sampai mengabaikan apapun.
"Astaga, jam berapa ini?" tanya Olive seraya menatap ponselnya.
"Jam 23.00, pak. Gimana ini? Alesia harus pulang," lanjutnya seraya beranjak dari tempat duduk dan menghampiri Alesia yang ia tahu sedang bermain dengan Peter.
"Gak usah panik. Tadi aku lihat Peter membawa Alesia ke kamarnya."
"Ya ampun, kenapa aku gak tahu sih? Bentar aku cek ke kamar Peter." Olive yang masih gak percaya sama omongan Aarav, berlari ke arah kamar Peter.
Aarav menahan tawa saat tahu kepanikan Olive." Dasar, wanita aneh. Gak bisa percaya gitu sama bosnya," ucap Aarav masih berada di tempat yang sama.
Beberapa saat kemudian, Olive keluar dari kamar Peter sambil menunduk malu.
"Apa aku bilang?" ucap Aarav seraya tersenyum.
"Hehe, iya pak. Maaf ya aku gak percaya sama bapak," jawab Olive menahan rasa malu. Ia berjalan ke arah Aarav sambil sesekali menatap wajah Aarav.
"Nah kan. Makanya percaya sama aku juga. Kamu tuh keren, cantik. Banyak yang suka sama kamu kok. Tenang aja," cetus Aarav mulai kebablasan lagi ngomongnya.
Olive mengerutkan dahinya." Pak? Bapak waras kan? Apa hubungannya dengan percaya, cantik dan banyak yang suka sama aku?"
"Haha lupakan saja. Aku ngasal kok." Pak CEO ini langsung mengipasi dirinya dengan tangan yang dikibaskan. Mungkin seperti orang tidak ada kerjaan tapi namanya salah omong, harus cari kesibukan biar gak ketahuan.
"Pak, lebih baik bapak pulang aja deh. Bapak udah mulai eror keknya."
"Kan anakku ada di sini, harusnya aku juga tidur di sini kan?"
"Eh mana ada? Gak! Pokoknya bapak pulang, soal sekolah Alesia, bapak datang lagi ke sini. Sekalian jemput Alesia. Kasihan kalau harus dibangunin pas lagi nyenyak tidur."
"Hm ... ucapanmu ada benarnya juga. Oke deh, aku pulang aja." Aarav berjalan lebih dulu dari Olive. Aarav yang tak menyangka sang wanita mengikutinya, lantas melirik ke arah Olive." Ngapain ngikutin aku?"
"Lah, bapak kan tamuku. Wajarkan kalau aku nganter bapak sampai di depan?"
"Oh aku kira kamu gak bolehin aku pulang dan berubah pikiran pengen ajak aku bobok di sini."
"Eh pak, mulutnya itu lho."
"Astaga." Aarav langsung menutup mulutnya yang kadang agak-agak.
"Orang ini kenapa sih? Otaknya kok banyak sampahnya, nyesel aku bawa dia ke sini!"