Bunga itu telah layu sejak lama, menyisakan kelopak hitam yang berjatuhan, seperti itulah hidup Hanna Alaya Zahira saat ini, layu dan gelap.Hanna adalah seorang sekretaris yang merangkap menjadi pemuas nafsu bosnya, mengantungi pundi-pundi uang dalam rekeningnya, namun bukan tanpa tujuan dia melakukan itu. Sebuah rahasia besar di simpan bertahun-tahun. Pembalasan dendam.. Edgar Emilio Bastian bos yang dia anggap sebagai jembatan mencapai tujuannya menjadikannya simpanan dibalik name tag sekretarisnya, membuat jalannya semakin mulus. Namun, di detik-detik terakhir pembalasan dendam itu dia justru terjerat semakin dalam pada pria itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepastian
"Itu semua untukmu," ucapnya dengan mengecup leher Hanna yang basah.
"Untukku?" Hanna mengerutkan keningnya.
"Ya, kamu suka?"
Hanna mendengus. "Suka? Boleh aku bawa pulang?"
"Tidak, itu akan tetap disini." Edgar masih memeluk Hanna, hingga Hanna melepas lingkaran tangan Edgar di pinggangnya.
"Kalau gitu gak usah." Hanna menarik satu pakaian di lemari. "Aku minta ini saja."
"Kamu tidak suka?"
"Suka juga gak bisa di bawa pulang."
Edgar menghela nafasnya. "Kenapa harus dibawa pulang kalau kamu akan tinggal disini?"
Hanna menoleh dengan cepat. "Apa?"
"Dengan begitu aku bisa datang kapan saja, kan?"
Hanna tertegun. Edgar benar-benar memberikannya apartemen?
"Apartemen ini untukku?" Edgar berjalan ke arah nakas lalu mengambil sebuah berkas.
"Ini di beli atas namamu." Hanna tak menyangka Edgar bahkan membeli atas namanya.
"Jangan khawatir meski terjadi sesuatu padaku ini tetap milikmu."
Hanna tak bisa berkata-kata saat Edgar mencium bibirnya. "Sekarang suka?"
****
Hanna mengikuti langkah Edgar dari belakang saat pria itu keluar dari lift dan menuju ruangannya.
Di kantor mereka benar-benar seperti atasan dan bawahan, hingga tak ada seorang pun yang curiga jika mereka memiliki hubungan lain selain pekerjaan.
Hanya Dani yang tahu hubungan mereka dan bagusnya pria itu memiliki kesetiaan yang patut di acungi jempol, hingga rahasia mereka tak akan di ketahui orang lain.
Hanya saja kejelekan akan tercium seiring berjalannya waktu. Seperti bangkai yang tak bisa di sembunyikan lebih lama. Meski kita tak tahu kapan tepatnya akan terjadi.
"Dani jemput Naomi nanti!" titah Edgar saat dia melewati meja Dani.
Dani berdiri dari duduknya, dan melihat ke arah Hanna.
Hanna mengangguk membuat Dani tersenyum senang.
Edgar yang tak merasakan pergerakan dari Hanna menoleh. "Ada apa dengan kalian?" tanyanya pada Hanna dan Dani yang saling mencuri pandang.
"Gak ada, Pak." ucap Hanna.
Edgar semakin menajamkan matanya ke arah Dani. Dani yang mengerti tak bisa menyimpan rahasia. "Kami memiliki kesepakatan Pak," ucap Dani dengan meringis
"Kesepakatan?"
"Ya, Hanna akan menjemput Nona Naomi selama saya belum menemukan pengasuh baru untuknya."
Edgar menoleh pada Hanna. "Apa kesepakatannya?"
"Pak Dani akan memberikan saya tas edisi terbatas, Pak."
Edgar mengeluh, lalu pergi tanpa berkata apa- apa.
Hanna mengikuti Edgar untuk masuk ke dalam ruangannya. Namun baru saja pintu tertutup Edgar kembali menoleh.
"Kamu menolak pemberianku? dan dengan mudah menerima kesepakatan dengan Dani, hanya untuk sebuah tas?"
"Aku tidak menolak pemberian anda?" Hanna mengerutkan keningnya, dia bahkan dengan senang hati menerima apartemen dari pria itu, karena itu artinya dia mulai melangkah maju menuju tujuannya.
"Lalu kenapa kamu menerima tas itu, apa tas di lemari apartemen tadi kurang?"
Hanna melipat bibirnya. "Begini, Pak. Kesepakatan saya dan Pak Dani terjadi sebelum saya mendapatkannya dari anda."
Edgar memejamkan matanya. "Tetap saja aku tak suka kamu menerima barang dari orang lain."
"Kenapa?"
"Karena kamu akan membalasnya kan?"
Hanna terkekeh. "Dan balasannya, saya menjemput Naomi. Hanya pada anda saya membalasnya dengan tubuh saya, Pak." Hanna mencondongkan tubuhnya sedikit.
Edgar melangkah menghampiri Hanna semakin dekat. "Kenapa aku masih gak percaya, kamu bahkan menari di depan banyak pria itu."
Hanna mencebik. "Itu karena aku pikir anda sudah membuangku."
"Hanya karena aku tak datang selama dua hari?"
Hanna membawa tanganya ke dada Edgar. "Karena aku gak suka ketidak pastian, Pak. Kamu gak ada kabar aku anggap kamu selesai."
Edgar terkekeh lalu mengapit dagu Hanna dengan jarinya, dan meraih bibir Hanna untuk dia kecup. "Mulai hari ini sebelum aku bilang kita selesai, itu berarti kamu masih milikku!"
"Apa yang jadi kesepakatan kita kali ini?" Hanna memiringkan wajahnya.
"Apa yang kamu mau?"
"Kepastian hubungan kita."
****
"Kamu lagi?" Seperti biasa Naomi menatapnya dengan malas dan angkuh.
Hanna berdecak, dia masih dalam perjalanan untuk menjemput Naomi saat Dani menghubunginya dan memberitahu, jika Naomi berada di ruangan guru BK karena membuat masalah dan berkelahi dengan teman sekelasnya.
Alhasil Hanna harus masuk kedalam sekolah, dan menghadap guru BK di sekolah Naomi.
Hanna memutar matanya malas. "Kamu pikir aku mau datang?"
"Ya, terus kenapa kamu yang datang?"
Hanna terkekeh. "Kamu pikir dengan membuat masalah orang tuamu akan datang?" Naomi makin cemberut.
Saat Hanna mendudukan dirinya di sebelah Naomi, beberapa orang masuk. Salah satunya langsung menunjuk wajah Naomi.
"Kamu anak itu?" katanya dengan tatapan tajam. "Beraninya kamu memukul anakku!" Wanita itu akan menerjang Naomi, namun Hanna bangkit dan menghadang secara langsung.
"Kamu siapa? Ibunya." Lalu wanita itu menatap Hanna dari atas ke bawah.
"Kenapa kalau iya?" Hana melipat tangannya di dada. Hal yang tak pernah Naomi kira akan terlontar dari mulut Hanna.
"Pantas saja anaknya bengal, ibunya juga gak punya sopan santun!" tunjuknya pada Hanna.
Hanna menarik sudut bibirnya. "Ibu ini yang gak punya sopan santun, datang- datang main nyamber aja!"
"Lihat kan, Pak guru. Didikan di rumahnya pasti gak bener. Lihat anak saya masa pipinya memar begini."
Hanna mengerutkan keningnya menatap pada guru BK di depannya.
"Sebentar, Pak. Saya mau tanya dulu apa permasalahannya?"
"Sudah jelas anak kamu yang salah. Dia memukul anak saya!" Hanna melirik tajam pada ibu- ibu tambun di depannya.
"Naomi menampar Riska."
Hanna masih menatap guru di depannya. "Maksudku apa penyebab Naomi menampar anak ini?" Hanna mengalihkan tatapannya pada anak bernama Riska tersebut.
"Tidak mungkin Naomi melakukannya tanpa sebab, kan?"
"Naomi memang begitu, aku gak salah apapun dia sudah menampar aku." Riska menatap tajam pada Naomi.
"Benarkah?" bocah itu mengangguk.
"Bagaimana Naomi?"
Naomi memalingkan wajahnya. "Kalau kamu gak mau bicara gimana bisa aku membelamu?" Naomi tertegun dan menatap Hanna. "Ayo katakan yang sebenarnya?" Baru saja Naomi akan membuka mulutnya, Guru BK segera berkata.
"Maaf, Bu. Tapi Naomi memang begitu, dia terlalu nakal."
Hanna menatap tajam guru Bk di depannya. "Aku bertanya pada Naomi."
"Tapi, kami yang di sekolah tahu, bagaimana kelakuan Naomi."
"Tapi bukan berarti kamu bisa menyalahkan tanpa mendengar penjelasan Naomi."
"Jadi yang dia bilang benar Naomi?"tanya Hanna sekali lagi.
"Dia bilang orang tuaku tak menyayangiku, karena tak pernah melihatnya menjemputku." Naomi berkata dengan masih tak melihat ke arah Hanna.
Hanna mengangguk. "Jadi karena itu kamu menamparnya?"
"Dia juga bilang aku juga anak bodoh karena tidak mendapatkan peringkat."
Hanna terkekeh. Kalau itu sudah pasti karena Naomi terlalu sibuk mencari perhatian.
"Dia juga bilang, Ibuku wanita murahan dan suka bersama laki- laki lain."
Hanna berbalik menatap bocah seusia Naomi yang kini mengkerut.
"Cih, sudah tahu salah masih menuduh anakku!"
"Bu, apa kamu wanita murahan, kamu pecun? Atau kamu akan menjadikan anakmu seperti itu!" Hanna menatap tajam pada ibu Riska.
"Kamu!" Si ibu tambun itu melayangkan tangannya ke arah Hanna, namun dengan cepat Hanna menangkapnya dan berkata dengan tenang.
"Seperti itu? Kamu juga marah bukan? Apalagi Naomi."