Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2
"Raihan, bagaimana kalau makan siang kali ini di rumah saya. Selain untuk ucapan terima kasih, ini juga momen kita bekerja sama lagi setelah sekian lama," usul Adrian saat jam makan siang hampir tiba.
Raihan tertawa kecil. "Jika memang tidak merepotkan, saya dan Luna dengan senang hati menerima tawaran itu."
"Baiklah, mari..."
Mereka berempat keluar dari ruang meeting dan memasuki mobil masin-masing.
"Pa, benar kan kataku kalau takdir memang sekarang berpihak padaku. Senang sekali aku hari ini, ganteng ya anaknya Om Adrian." Luna terlihat gembira.
Raihan hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Luna, jangan terlalu berharap. Ingat, kita di sini untuk urusan pekerjaan, bukan hal lain."
Namun, Luna tetap tersenyum ceria, seolah tidak mendengar peringatan halus ayahnya. "Tapi Papa lihat sendiri kan? Dia itu… seperti karakter utama drama Korea yang sering aku tonton."
Raihan mendesah pelan, memilih tidak memperpanjang argumen. "Baiklah, yang penting jangan sampai kamu melupakan sopan santun. Ini pertemuan penting."
.
Setelah perjalanan singkat, mereka tiba di rumah Adrian. Sebuah rumah besar bergaya minimalis modern, dengan taman hijau yang luas dan pepohonan rindang, biasanya mereka sebut dengan mansion. Luna tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.
"Wow, rumahnya indah sekali," gumam Luna, matanya menyapu setiap sudut halaman yang tertata rapi.
Adrian mempersilakan mereka masuk, sementara Maharani sudah menunggu di ruang tamu dengan senyum ramah. "Selamat datang, Pak Raihan dan ini pasti Luna. Senang sekali bisa bertemu," katanya sambil merangkul lembut tangan Luna.
"Terima kasih, Tante Maharani. Rumah ini terlihat sangat indah," jawab Luna dengan senyum tulus.
Sementara itu, Renzo muncul dari arah dapur mengenakan kemeja putih yang dilipat hingga siku. Ia berjalan dengan santai namun membawa aura dingin yang khas. Tatapannya hanya sebentar tertuju pada tamu, sebelum kembali ke ekspresi datarnya.
Menu yang di hidangkan sangat lengkap mulai dari sup ikan hingga salad sudah tersedia di meja makan yang cukup besar, karena rumah itu hanya di huni oleh tiga orang saja. Sisanya hanya asisten rumah tangga.
"Tante Maharani yang memasak semuanya sendiri?" tanya Luna di tengah waktu makan.
"Iya, tapi tetap di bantu sama mbak yang di rumah," Maharani terlihat sedikit berbisik ke Luna, seperti mengajaknya bercanda.
Tanpa sadar Renzo sedikit tersenyum menatap dua orang yang ada di depannya, tapi ia buru-buru menampakkan wajah datarnya lagi.
Luna menangkap senyum sekilas dari Renzo, dan itu membuatnya semakin yakin bahwa pria itu tidak sepenuhnya sedingin batu seperti yang terlihat. Namun, ia memilih untuk tidak langsung berkomentar, hanya membalas candaan Maharani dengan senyum lebar.
"Masakan Tante enak sekali. Sama enaknya sama masakan Mama."
Maharani tersenyum senang, matanya bersinar lembut. "Terima kasih, Luna. Kalau kamu suka dan ingin makan di sini dengan senang hati lho Tante menerima."
"Maafkan Luna ya, Adrian, Maharani. Entah keturunan dari mana dia itu seperti tidak pernah sedih, selalu begitu tingkahnya, banyak ngomong!" sahut Raihan menempuk pelan paha Luna.
"Tidak apa-apa, Han. Rumah ini jadi ramai karena biasanya sunyi sekali," balas Maharani.
Mereka sudah mengenal sejak lama, sudah seperti keluarga sendiri. Namun hubungan mereka sempat terpisah karena keluarga Adrian memilih tinggal di Korea beberapa tahun belakangan.
.
.
Setelah selesai makan, Adrian dan Raihan sibuk berbincang kembali soal pekerjaan. Luna yang hampir saja merasa bosan, tiba-tiba melihat Maharani berjalan ke halaman menggendong kucing yang sangat menggemaskan.
Tentu saja dengan cepat Luna mengikuti langkah Maharani.
"Wah, aku juga punya kucing, Tante." Luna mendekat dan mengusap-usap kepala kucing itu.
"Namanya Latte ini, kesayangannya Renzo."
Luna tersenyum dan melirik ke arah Renzo yang berada di kursi ujung taman sembari membaca buku. Namun, Renzo sama sekali tidak meliriknya.
"Jangan di ambil hati ya, Renzo memang sedikit pendiam, sebenarnya dia anaknya baik kok. Kalian dulu waktu kecil juga pernah main bareng," ucap Maharani.
Tanpa sengaja Luna melihat bekas-bekas luka di tangan Maharani, ada luka bekas jahitan, ada juga bekas luka biasa. Bahkan juga ada bekas luka kecil di dekat pelipisnya.
Maharani yang sadar bahwa Luna memperhatikan segera menutupi tangannya. Tapi Luna hanya tersenyum seolah mengerti maksud Maharani dan memilih diam.
"Dulu Tante kecelakaan, jadi banyak bekas luka." tiba-tiba saja Maharani yang membuka percakapan lebih dulu.
"Tante masih sehat dan cantik seperti sekarang saja itu sudah merupakan anugrah, kalau Tante kesepian butuh teman ngobol telepon Luna saja. Nanti Luna temenin kalau mau ngobrol atau pergi-pergi,"
"Kamu anak yang baik, Luna. Oh iya, Luna, Tante mau ke dapur kamu ikut atau mau di sini saja?" tanya Maharani penuh hati-hati.
"Di sini saja, Tan."
.
Hanya ada Luna dan Renzo di taman itu. Suasana cukup hening beberapa saat sampai akhirnya, Renzo berdeham memecah kesunyian di sana.
"Sini..." ucap Renzo, suaranya lembut tapi tegas.
"Aku?" jawab Luna menunjuk dirinya sendiri.
"Ada siapa lagi selain kamu di sini?"
Tanpa malu-malu Luna mendekat ke arah Renzo, terlihat Renzo juga sudah menarik kursi di sampingnya untuk mempesilahkan Luna duduk.
"Sudah lama aku tidak melihat Mamaku tersenyum, terima kasih," ungkapnya, tapi matanya masih tertuju pada buku yang ada di depannya.
Luna diam.
"Aku menyukai apapun yang di sukai oleh Mamaku, sepertinya dia menyukaimu. Dia jarang tersenyum bahagia seperti tadi, senyumnya membuatku lega," terang Renzo lagi.
Luna tersenyum kecil, merasa tersanjung oleh pengakuan Renzo.
"Lalu kamu menyukaiku?" desak Luna.
Renzo akhirnya mengalihkan pandangannya dari buku dan menatap Luna. Tatapannya tajam, melihat Luna sembari memiringkan kepalanya.
"Bisa jadi. Memangnya kamu tidak takut denganku?" ucap Renzo, suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan.
Luna merasa pipinya memanas. Kata-kata Renzo membuatnya gugup, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang.
"Takut? Untuk apa takut," jawab tegas Luna. Renzo menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya tidak lepas dari wajah Luna.
"Tidak semua orang sebaik yang terlihat, Luna," ucap Renzo sambil menyilangkan tangannya di dada. "Aku tahu bagaimana dunia ini bekerja. Orang-orang mendekat karena alasan tertentu, selalu begitu,"
Luna mengernyitkan dahi, merasa sedikit tersinggung. "Jadi kamu pikir aku mendekat karena ada maksud tertentu? Kalau begitu, kenapa kamu membiarkan aku duduk di sini?"
Renzo tersenyum kecil, tetapi senyumnya tidak penuh kehangatan. "Karena aku ingin tahu seberapa jauh kamu berani."
Hening menyelimuti mereka lagi, tetapi kali ini suasananya lebih tegang.
Luna merasa seperti sedang diuji, tetapi ia menolak untuk mundur. "Belum perang masa sudah menyerah." batinnya.
"Kalau begitu tanyakan saja apa yang ingin kamu tahu, Pak Renzo. Aku tidak takut menjawab," tantang Luna.
Renzo memiringkan kepalanya sedikit, matanya memperhatikan Luna dengan intensitas yang hampir membuat gadis itu kehilangan keberanian.
"Apa tujuanmu mencuri perhatianku seharian ini? Apa kamu benar-benar siap mengenal aku? Siap menghadapi apa yang akan kamu temukan?" tanyanya pelan, tetapi nadanya penuh dengan peringatan.
Luna terdiam sejenak, tetapi akhirnya ia mengangguk, menatap langsung ke mata Renzo. "Aku siap."
Renzo tersenyum miring, tetapi senyumnya kali ini terasa lebih dingin. Ia berdiri dari kursinya, meninggalkan Luna yang masih duduk.
"Kita lihat seberapa lama kamu bisa bertahan, Luna. Kamu sudah membangunkan harimau yang sudah tertidur bertahun-tahun," ucapnya sebelum berjalan pergi, meninggalkan Luna dengan perasaan campur aduk.
.