NovelToon NovelToon
Hijrah Raya Dan Gus Bilal

Hijrah Raya Dan Gus Bilal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Bad Boy
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: sha whimsy

" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.

Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."

Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."

"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."

Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"

Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sebuah Pilihan

"Bilal, kemari, Nak. Ada yang mau Abi bicarakan," panggil Abi Rosyid dengan suara tenang namun serius.

Bilal, yang sedang duduk di ruang tamu, segera berdiri dan mengikuti langkah Abi Rosyid menuju ruang kerja. "Ada apa, Bi?" tanyanya sambil melangkah masuk, merasa sedikit penasaran dengan apa yang akan dibicarakan.

Abi Rosyid duduk di kursinya, menarik napas panjang sebelum melanjutkan, seolah sedang mencari cara terbaik untuk menyampaikan sesuatu yang penting.

"Nak, ini hal yang cukup serius. Beberapa waktu lalu, sahabat Abi, Pak Haris, berbicara tentang putrinya, Naila Sahda." Abi Rosyid berhenti sejenak, memperhatikan ekspresi Bilal yang mulai berubah.

"Naila Sahda?" Bilal mengernyitkan dahi, mengingat sosok putri sahabat Abi yang jarang ia temui, namun ia tahu sedikit tentangnya.

Abi Rosyid mengangguk. "Iya, Naila. Dia gadis yang baik, insyaAllah. Dan... ternyata dia memiliki perasaan khusus untukmu. Pak Haris sangat menghormati kita, dan dia menyampaikan niat keluarganya untuk mengajak kalian menjalani proses ta'aruf."

Bilal terdiam, matanya sedikit membesar mendengar kabar itu. "Ta'aruf?" gumamnya, merasa sedikit terkejut dan bingung.

Abi Rosyid tersenyum lembut, mencoba menenangkan Bilal. "Ta'aruf ini adalah proses untuk saling mengenal dengan niat menikah, sesuai syariat. Tidak ada paksaan, Nak. Abi hanya menyampaikan karena Pak Haris berharap agar kalian bisa mempertimbangkan hal ini dengan baik. Kalau kamu merasa belum siap atau tidak cocok, itu keputusanmu, dan Abi akan menghormatinya."

Bilal merasakan pikirannya bercampur aduk. "Abi, ini sangat tiba-tiba. Bilal bahkan belum kenal Naila lebih dalam."

"Itulah gunanya ta'aruf," kata Abi Rosyid bijak. "Ini proses awal. Kamu akan punya kesempatan untuk mengenalnya lebih baik, dengan cara yang benar. Kalau memang jodoh, insyaAllah akan dimudahkan. Tapi kalau tidak, kalian bisa berhenti dengan cara yang baik juga."

Bilal merenung sejenak. Di satu sisi, ia memahami maksud baik Abi dan Pak Haris. Di sisi lain, hatinya masih ragu karena ia tidak pernah berpikir tentang hal ini sebelumnya. Ada Raya, gadis yang sering mengisi pikirannya akhir-akhir ini, meskipun hubungannya dengan Raya terasa rumit karena perbedaan latar belakang mereka.

"Abi, bolehkah Bilal minta waktu untuk memikirkan ini dulu?" tanya Bilal, suaranya penuh kebingungan.

"Tentu, Nak. Ini bukan keputusan yang harus diambil terburu-buru. Pikirkan baik-baik, doakan, minta petunjuk dari Allah. Abi tidak akan memaksamu, apapun keputusannya, Abi akan mendukungmu," ujar Abi Rosyid penuh kasih.

Bilal mengangguk pelan. "Terima kasih, Bi. Bilal akan memikirkannya dengan sungguh-sungguh."

Malam itu, Bilal berbaring di tempat tidurnya, pikirannya dipenuhi oleh dua nama: Naila Sahda dan Raya Altaresha. Dua gadis, dua pilihan yang sama-sama berat. Satu proses yang jelas, satu hubungan yang penuh keraguan.

***

Seorang gadis dengan mengenakan gamis berwarna lembut dan jilbab panjang berdiri di balkon rumahnya, yang menghadap ke pegunungan nan hijau. Angin malam yang sejuk mengusap lembut wajahnya, sementara matanya menatap langit yang bertabur bintang. Suara gemericik air sungai terdengar dari kejauhan, menambah ketenangan malam itu.

Dia adalah Naila Sahda, gadis sederhana dengan hati yang penuh cinta kepada Tuhannya. Malam ini, pikirannya melayang kepada sosok laki-laki yang sejak awal pertemuan telah menggetarkan hatinya. Pertemuan itu begitu singkat, namun meninggalkan kesan mendalam.

"Ya Allah..." bisiknya lirih.

Pertemuan itu terjadi beberapa bulan lalu, di sebuah masjid desa. Tatapan matanya yang teduh, suaranya yang lembut, semua itu berhasil membuat hatinya tergerak tanpa ia sadari.

“Jika dia adalah takdirku, Ya Allah, maka jadikanlah dia milikku dalam jalan yang Kau ridhai. Tapi jika bukan, jauhkan perasaan ini dariku,” ucap Naila, doa yang selalu ia panjatkan setiap malam.

Ia tahu betapa besar perasaan yang mulai tumbuh di hatinya, namun ia tak ingin tergesa-gesa. Naila selalu berusaha menjaga perasaannya agar tetap dalam koridor yang benar, agar perasaannya tak menjadi sia-sia atau berujung pada kekecewaan.

Malam itu, saat bintang-bintang bersinar terang, Naila memejamkan mata, menyerahkan segala perasaannya kepada Sang Pencipta. Ia hanya berharap, jika memang Bilal adalah jodohnya, maka Allah akan memudahkan jalan mereka menuju ta'aruf. Namun, jika bukan, Naila siap menerima apapun kehendak-Nya dengan lapang dada.

Angin malam semakin dingin, namun Naila tetap berdiri di sana, memandang langit seolah mencari jawaban dari Allah. Ia tahu, cinta yang baik adalah cinta yang dimulai dengan niat yang baik, dan ia ingin menjaga perasaannya hanya untuk laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak.

Di sudut lain, di sebuah rumah tak jauh dari tempat Naila berdiri, Bilal juga sedang bergulat dengan pikirannya sendiri.

***

Di sisi lain, pada waktu yang sama, Raya duduk di tepi jendela kamarnya. Matanya yang teduh menatap langit malam, bintang-bintang bertaburan di atas sana, seakan memantulkan perasaan hatinya yang penuh harapan. Bayangan pertemuannya dengan Bilal di toko bunga sore tadi kembali terlintas di pikirannya, membuat sebuah senyuman perlahan terbit di wajahnya yang lembut.

Sore tadi, seperti biasa, Raya bekerja di toko bunga Natalie. Toko itu menjadi tempat pelariannya setelah hari-hari sibuk di sekolah. Namun, sore ini terasa berbeda, karena dia bertemu dengan Bilal. Bilal datang ke toko, memperhatikan Raya dari kejauhan. Saat dia mendekat, percakapan sederhana pun terjalin, namun ada rasa yang berbeda di hatinya.

Setelah obrolan mereka berakhir, Bilal keluar untuk menjawab telepon dari seorang teman. Sementara itu, Raya pun sibuk dengan panggilan dari temannya, Cristina. Setelah menyelesaikan pekerjaan di toko, Raya menuju gereja desa untuk bertemu dengan Cristina dan mengembalikan uang yang ia pinjam. Pertemuan itu berjalan singkat namun penuh rasa syukur. Sepanjang perjalanan pulang, Raya tidak bisa menghapus senyum dari wajahnya. Meski pertemuan dengan Bilal singkat, ada rasa hangat yang menyelinap di hatinya.

"Bagaimana tadi dia tersenyum...," batin Raya, senyum itu masih terngiang jelas dalam ingatannya. Ia tahu bahwa hatinya perlahan mulai mengagumi sosok Bilal, meskipun tak pernah ada kata yang terucap tentang perasaannya.

Dengan lirih, dia membisikkan namanya, "Kak Bilal... Kamu lagi apa sekarang? Apa kamu sudah tidur?"

Hatinya penuh tanya, namun tak ada jawaban. Malam semakin larut, tapi perasaannya terus terbang bersama angin malam, entah akan sampai kepada Bilal atau tidak. Raya tidak pernah menyangka perasaan ini akan tumbuh begitu cepat, tapi kini, setiap kali ia mengingat Bilal, ada perasaan hangat yang menjalari hatinya.

Malam ini, di bawah bintang-bintang, Raya hanya bisa berharap, suatu hari nanti, hatinya yang penuh rasa ini bisa mendapatkan jawabannya.

Perlahan-lahan, ia menutup tirai jendelanya, namun hatinya tetap terbuka untuk semua harapan yang ia gantungkan pada langit malam. Raya tersenyum kecil, mencoba mengusir kecemasan yang mulai muncul, dan perlahan-lahan merebahkan dirinya di atas tempat tidur, berdoa agar esok hari membawa cerita yang lebih indah.

Pukul 10:00 pagi, Bilal duduk di sebuah warung kopi sederhana dengan sahabat karibnya, Farhan. Secangkir teh manis mengepul di meja, tapi Bilal tampak kurang bersemangat.

"Jadi, lo lagi bingung karena dua pilihan ini, ya?" Farhan mulai membuka pembicaraan setelah mendengarkan cerita Bilal.

Bilal mengangguk sambil mengaduk-aduk tehnya pelan. "Iya, Han. Dua-duanya punya sisi positif, tapi gue takut salah pilih. Apalagi soal Raya, ada perbedaan yang cukup besar di antara kita."

Farhan tersenyum, mencoba menenangkan temannya. "Bro, kadang pilihan yang kelihatan gampang itu justru nggak selalu yang terbaik. Perasaan itu kan bisa tumbuh seiring waktu, apalagi kalau niat lo baik dari awal. Cinta tuh nggak cuma soal rasa di awal aja, tapi gimana lo dan dia bisa saling support dan bawa kebaikan."

Bilal terdiam, merenungkan kata-kata Farhan. Mungkin benar, cinta nggak melulu soal ketertarikan sesaat, tapi lebih ke bagaimana mereka bisa saling melengkapi.

Farhan menepuk bahu Bilal. "Ta’aruf sama Naila bisa jadi langkah awal yang baik, bro. Kalau dia jodoh lo, pasti Allah bakal kasih kemudahan. Kalau pun nggak, setidaknya lo udah mencoba tanpa ada penyesalan."

Bilal mengangguk meski ia masih ragu. Farhan menatap Bilal dengan tenang, lalu tersenyum kecil. "Nggak perlu buru-buru ambil keputusan. Coba jalanin dulu dengan hati yang tenang, siapa tahu ta’aruf sama Naila justru bisa kasih lo jawaban. Kalau ternyata bukan, setidaknya lo udah berusaha."

Bilal tersenyum tipis. "Thanks, Han. Gue bakal coba pikirin semuanya lagi."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!