Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
"Kak ada apa?"
Luna dengan penuh keberanian membalikkan badannya dan melihat siapa yang ada di belakangnya.
"Difan?" mata Luna seketika terbelalak. "Aku pikir kamu orang asing yang mengikutiku." imbuhnya lagi.
"Nggak jelas banget! Mana mungkin orang asing berani mengikutimu hingga kedepan gerbang begini, pasti dia juga tahu untuk masuk ke sini saja perlu access card. Apalagi di depan gerbang begini, mau di laporkan ke kantor polisi apa gimana?" ketus Difan, nada bicaranya selalu begitu kepada Luna.
"Memangnya kamu tidak takut kalau ada apa-apa sama kakakmu ini?" Luna menyentil telinga Difan. "Lagian dari mana sih kamu malam-malam gini keluyuran?"
Rupanya Difan memilih diam meledek kakaknya dan meminta penjaga membukakan gerbang. Mereka berdua saling kejar-kejaran di halaman rumah.
Tiba-tiba ponselnya bergetar di meja saat Luna sudah berada di kamarnya. Luna melirik layar dan melihat nama Renzo terpampang di sana. Dia menghela napas lega sebelum mengangkatnya.
"Lun, kamu baik-baik saja kan? Apa maksud dari pesanmu, pria itu mengikutimu?"
"Iya tadi aku lagi lari di taman depan, tiba-tiba dia ada di sana dan menceritakan hal aneh. Tapi besok aku mau ke sana untuk memantau pergerakannya sama Bimo kok nggak sendirian." jawab Luna.
"Oke, aku akan kirim orangku untuk menjagamu." sesaat kemudian Renzo mematikan teleponnya.
.
Tanpa menunggu lama dan seakan tidak peduli dengan kondisi badannya yang lelah Renzo memerintahkan Johan untuk mengantarnya ke kos Ivan.
"Apa benar kecurigaanmu, Tuan?" tanya Johan saat di perjalanan.
"Aku sudah katakan padamu, aku mencurigainya. Tapi kamu meragukan intuisi ku, kamu menganggapku orang gila yang terobsesi pada pasanganku. Begitu kan?"
"Sama sekali tidak, Tuan. Saya hanya mengkhawatirkan kondisi kesehatan Anda." jawab Johan yang sesekali menatap kaca tengah untuk melihat atasannya itu.
Mobil Rolls Royce Phantom berwarna hitam itu melaju dengan kecepatan tinggi mengejar waktu agar bisa menemui pria mencurigakan yang mengganggu kekasihnya.
Kos kecil dengan lingkungan yang cukup kumuh menjadi tempat berhentinya mobil mewah tersebut. Ukuran kamar kos itu hanya sebesar 4 meter bagi Renzo itu sangat kecil.
Tepat sekali, baru saja Renzo akan turun dari mobil ia sudah melihat siluet Ivan dari kejauhan yang berjalan ke arah kosnya.
"Jadi kamu cecunguk itu? Yang membuat Luna ketakutan saat dia berolahraga, kurasa memang mencurigakan jarak tempat tinggalmu dan Luna jauh. Untuk apa kamu repot-repot berolahraga di sana?" suara Renzo begitu mencekam di tempat yang sepi itu.
"Apa ada larangan untukku berolahraga di sana?" Ivan tak kalah ketusnya.
Johan sudah maju satu langkah siap untuk memukul Ivan. Namun, di cegah oleh Renzo dengan tangannya. "Jangan kotori tanganmu untuk orang seperti dia."
"Kau adalah orang kaya sombong, tidak ada bukti aku menyakiti kekasihmu kenapa harus sejauh ini? Obseskah kau dengan pacar cantikmu itu?" sahut Ivan dengan berani.
Rahang Renzo mengeras begitu juga tangannya yang sudah mengepal.
"Dasar gila!" sindir Ivan sebelum dirinya melangkah masuk ke dalam kosnya.
Johan geram dengan kata-kata yang keluar dari mulut pria miskin di hadapannya, dia memilih memukul pria tersebut sebelum kesabaran Renzo habis. Bisa jadi pria itu mati di tangannya.
"Pukul saja sampai aku mati, sampai kamu puas!" teriak Ivan.
Renzo menyalakan rokoknya dan melihat dengan tatapan dingin ke Ivan yang tersungkur di bawah kakinya. Abu rokok yang terhempas angin pun jatuh di hadapan Ivan.
"Don't play with me!"
Mendengar ancaman Renzo, bukannya takut Ivan justru tertawa kencang sangat kencang hingga mengganggu telinga Renzo. Beberapa kali Johan menendang kakinya tapi dia masih saja tertawa meledek Renzo.
"Harusnya aku yang berkata seperti itu, jangan main-main denganku!" bentaknya. Renzo berbalik badan dan menatap Ivan, dia mengeluarkan kata-kata dari mulutnya tanpa suara sebelum akhirnya dia bangun dan masuk ke dalam kos.
Selama di perjalanan pulang Renzo coba menelaah apa yang dia ucapkan, gerakan bibirnya masih terbayang di pikiran Renzo. Berkali-kali berusaha membaca arti dari ucapannya yang tidak bersuara tersebut.
.
.
Keesokan harinya, seperti yang sudah di katakan Luna pada Renzo saat di telepon bahwa dia akan mendatangi kafe tersebut berama Bimo.
"Apa kamu yakin, Lun. Kita seperti orang yang kurang kerjaan memantau barista bekerja?!" pekik Bimo.
"Sssst! Aku hanya ingin melihat gerak-geriknya, sumpah dia mencurigakan kemarin malam. Suaranya, nadanya bicara, seperti sedang mengintimidasiku, Bim!"
Mereka berdua duduk di tempat yang bisa melihat Ivan bekerja dengan jelas, sampai setelah mereka memesan makanan dan minuman, Ivan belum juga menunjukan batang hidungnya.
Tak lama kemudian Ivan keluar dari pantry membawa makanan yang di pesan oleh Luna dan Bimo. Tapi betapa terkejutnya dia melihat wajah Ivan yang babak belur.
"Silahkan makanannya." meletakkan makanan di meja.
Luna hanya bisa diam terpaku menatapnya, tidak berani bertanya maupun menegur karena dia menyadari itu terlalu ikut campur. Bisa jadi bukan Renzo pelakunya.
"Lun, dia di pukuli Renzo?" tanya Bimo lirih.
"Ihh, nggak mungkin kan. Nggak mungkin renzo sampai setega itu,"
"Kamu jangan terus denial, Lun. Bahaya banget kalau cuma masalah sepele tapi dia bisa sampai setega itu, besok-besok bisa kamu korbannya!" cecar Bimo yang merasa ngeri melihat wajah Ivan.
Luna yang awalnya merasa curiga atas perbuatan Ivan berubah menjadi iba, apalagi ucapan Bimo jika benar Renzo yang melakukan Luna akan sangat marah padanya.
"Bim, kayaknya aku harus minta penjelasan Renzo tentang ini deh. Habis ini aku mau ke kantornya, sekalian pulang!"
"Ya... ya terserah kamu aja sana!"
.
"Ren, aku cuma minta kamu selidiki dia bukan memukulinya seperti itu!" bentak Luna di ruangan Renzo, suaranya tidak terlalu keras tapi sangat berbeda dari Luna biasanya.
Renzo hanya diam dengan tatapan dingin menatap Luna.
"Kamu bisa buat dia mati, sadar Ren apa yang kamu lakukan itu berbahaya!" Luna masih menunjukan kemarahannya, matanya berkaca-kaca menatap Renzo yang belum menjawab apapun.
"Dia hanya memakai topeng untuk berpura-pura lemah, aku masih belum tahu apa rencananya yang jelas dia berbahaya. Jauhi dia, sementara waktu jangan ke kafe tersebut!"
"Ren!" tangis Luna pecah.
Renzo sama sekali tidak menatap Luna yang menangis di hadapannya, dia masih menatap berkas-berkas yang perlu di tanda tangani.
Luna yang kesal memilih pergi dari ruangan Renzo dengan langkah yang cepat, keluar dari kantornya dan mengemudikan mobilnya melaju pergi.
Renzo segera menekan tombol panggilan di ponselnya. "Ikuti dia."
Luna mencengkram setir mobilnya dengan kuat, dia mulai melihat sisi buruk Renzo yang kini sulit dia terima. Menyakiti orang lain bukanlah sifat Luna, dia paling tidak bisa melakukan hal tersebut. Ini juga pertama kalinya Renzo melihat Luna menangis.