6 tahun mendapat perhatian lebih dari orang yang disukai membuat Kaila Mahya Kharisma menganggap jika Devan Aryana memiliki rasa yang sama dengannya. Namun, kenyataannya berbeda. Lelaki itu malah mencintai adiknya, yakni Lea.
Tak ingin mengulang kejadian ibu juga tantenya, Lala memilih untuk mundur dengan rasa sakit juga sedih yang dia simpan sendirian. Ketika kejujurannya ditolak, Lala tak bisa memaksa juga tak ingin egois. Melepaskan adalah jalan paling benar.
Akankah di masa transisi hati Lala akan menemukan orang baru? Atau malah orang lama yang tetap menjadi pemenangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Hukuman dan Ungkapan
Lala terus berpikir perihal semalam. Sang adik nampak biasa saja ketika menjemputnya di apartment Brian. Tak ada pertanyaan apapun darinya.
Alfa memang pernah bertemu dengan Brian ketika sang adik menjemputnya. Namun, tak ada pembicaraan apapun di antara keduanya. Saling sapa pun tidak.
Baru saja hendak masuk ke kamar Alfa, dia melihat Lea yang sudah cantik menuju arah tangga. Dia teringat akan postingan Devan di media sosial.
'Tak akan gua lewatkan kesempatan bagus ini.'
Lala menggeleng. Mencoba untuk sadar jika dia sedang mencoba mengikhlaskan lelaki yang sudah enam tahun dia cintai sendirian.
Baru saja hendak melangkah, nomor tak dikenali menghubunginya. Dahinya mengkerut karena nomor itu sangat asing baginya. Tak Lala hiraukan panggilan yang terus-menerus masuk ke ponselnya dari nomor yang sama. Hingga sebuah pesan masuk ke ponselnya.
"Kenapa panggilan saya gak dijawab?"
Jari jemari lentik itu mulai menari-nari di atas layar ponsel.
"Kamu siapa?"
"Apa kamu tidak melihat profil foto nomor ini?"
Kesabaran Lala mulai diuji. Namun, dia tak ada tenaga untuk meladeni pesan yang nomor tak dia kenal.
"Balas pesan saya!"
Lala mengerang kesal. Diurungkan niatannya ke kamar Alfa dan kembali ke kamar miliknya. Rentetan pesan masuk masih dari nomor yang sama.
"Tuhan!! Sebenarnya siapa sih nih o--"
Ucapan Lala menggantung ketika dia melihat foto profil si pemilik nomor.
"Itu kan foto yang gua ambil diam-diam dan gua jadiin--"
"Mampus!!"
Lala tak mau menjawab panggilan dari Brian. Rasa malunya sudah sampai ubun-ubun. Ketukan pintu kamar terdengar. Sang mbak yang bekerja di rumahnya memberitahukan Lala jika ada yang mencarinya.
"Siapa?"
"Saya kurang tahu, Neng."
Lala pun terpaksa keluar dari kamar. Kata mbak ART tamunya sudah berada di ruang tamu. Tubuhnya menegang ketika dia melihat siapa yang sudah duduk di sofa ruang tamu.
"Kenapa kamu gak jawab telpon dan gak balas chat saya?"
Tatapan serius lelaki itu berikan dan mampu membuat Lala semakin terdiam.
"La! Gua minjem chargeran lu, ya. Punya gua ketinggalan di kafe."
Lala mulai panik ketika mendengar teriakan Alfa dari lantai atas. Sedangkan dosen dingin hanya menunjukkan wajah datarnya. Lala segera mendekat ke arah Brian. Dan berniat untuk mengusirnya.
"Kenapa ke sini?"
Bukannya menjawab, Brian malah menyandarkan tubuhnya di sofa. Itu membuat Lala semakin geram.
"Pak--"
Tubuh Lala terjerambab ke atas sofa karena tarikan tangan Brian. Sengaja dosen itu menarik tangan Lala agar duduk tepat di sampingnya.
"Punishment."
"Emang saya salah apa?"
"Lima kali gak jawab panggilan telepon saya. Lima belas pesan saya gak kamu balas."
Lala pun tercengang. Dia menatap wajah sang dosen yang terlihat masih datar.
"Saya tidak suka diabaikan."
"Bukannya diabaikan, Pak," bela Lala.
"Saya kan gak tahu itu nomor Pak Brian. Dan kalau ada nomor baru yang menghubungi saya gak akan saya jawab."
"Kamu gak liat foto profilnya?"
Tak bisa menjawab-lah Lala. Beradu ucapan dengan Brian tak akan pernah menang.
"Foto yang kamu ambil secara diam-diam kan."
Tatapan penuh selidik membuat Lala mulai menundukkan kepala.
"Maaf."
Tangan Brian meraih dagu Lala. Pandangan mereka pun kini bertemu. Menatap satu sama lain dengan begitu dalam.
"Pundak itu bisa kamu jadikan tempat bersandar ternyaman kapanpun dan di manapun."
Untuk kesekian kalinya Lala dibuat tak bisa berkata. Pasalnya, cuitannya di aplikasi X dibalas oleh Brian malam ini secara langsung.
'Bisakah pundak kekarnya menjadi sandaran ternyaman untuk perempuan penuh beban ini?'
"Bahkan punggungnya mampu menjadi tulang punggung untukmu."
Tubuh Lala semakin membeku. Brian malah menarik tubuh Lala ke dalam dekapannya. Begitu beraninya. Padahal, lelaki sedang berada di rumah Lala. Namun, sebuah kenyamanan membuat Lala hanya bisa terdiam.
"Tuhan, kenapa dia selalu hadir di saat hati ini sedang gundah?"
"Seperti obat di saat aku baik-baik saja "
.
Lea sudah bersama seseorang. Dia tersenyum lebar ketika berada di sebuah tempat yang begitu cantik.
"Suka?"
"Baru pertama sih ke tempat ini."
Mata yang menyiratkan penuh kesukaan terpancar.
"Gua kira di Kota besar kayak gini gak bakal ada tempat seperti ini. Kalau di Bandung banyak."
"Menurut gua sejelek-jeleknya tempat yang kita kunjungi kalau bareng orang yang kita sayang pasti akan selalu indah."
Lea mulai mengalihkan pandangannya. Devan sudah mulai di mode serius. Perlahan, tatapan Devan pun beralih pada Lea. Mereka berdua saling tatap cukup lama.
"Sebenarnya gua ajak lu ke tempat ini karena gua ingin bicara penting sama lu."
Lea belum menyanggah ucapan Devan. Masih membiarkan Devan berbicara.
"Gua pengen jujur--"
Getaran ponsel terdengar. Perhatian Lea teralihkan.
"Bentar, ya."
"Iya, Ma."
...
"Lea lagi keluar dulu sebentar."
...
"Enggak. Lea gak sama Lala."
Mendengar nama Lala disebut membuat atensi Devan tertuju pada sosok yang tengah berdiri membelakanginya.
...
"Jadi. Nanti jam satuan Lea dijemput kok. Lea udah bilang ke Papa."
...
"Oke, Ma."
Panggilan pun berakhir dan Lea kembali fokus pada Devan. Dia tersenyum melihat sorot mata lelaki di sampingnya.
"Lala juga lagi keluar," ujarnya.
"Samasi--"
Devan tak melanjutkan pertanyaannya. Dia harus kembali fokus pada perasaannya kepada Lea. Dahi Lea pun mengkerut ketika Devan terdiam.
"Van!"
"Gua mau jujur sama lu, Le." Kembali dia fokus.
"Jujur?"
Devan mulai meraih kedua tangan Lea. Mereka kembali saling pandangan dengan sorot mata berbeda satu sama lain.
"Selama enam tahun ini gua jadi pecundang ulung. Gua hanya bisa mengagumi tanpa bisa mendekati."
"Gua terus mendem sampai akhirnya gua mencoba memberanikan diri untuk mendekati. Rela bolak-balik Jakarta-Bandung di akhir pekan demi untuk bertemu dengannya."
"Dan sekarang sudah saatnya perasaan ini gua ungkapkan."
"Perasaan ini masih tetap sama seperti enam tahun lalu. Tak berubah sedikit pun."
"Gua sayang lu, Lea."
Lea masih menutup mulutnya. Namun, matanya terus menatap Devan dengan sorot mata yang sulit diartikan. Hingga sesuatu dia rogoh dari saku celana dan sebuah cincin dia tunjukkan.
"Maukah lu jalani hubungan yang lebih dari sekedar sahabat dengan gua?"
Bukan hanya cincin, Devan juga mengeluarkan sebatang cokelat yang amat tidak disukai oleh Lea.
"Tinggal lu pilih."
"Cincin artinya bersedia dan cokelat artinya tidak."
Devan begitu menunggu jawaban dari Lea. Jantungnya berdegup hebat walaupun dia memiliki rasa percaya diri yang tinggi bahwasannya Lea akan menerima cintanya. Lea seperti menerima sinyal yang dia berikan.
"Perlu banget gua jawab sekarang?"
"Gua gak bisa nunggu lagi, Le. Perasaan enam tahun yang gak gua utarain seperti bom waktu yang akan meledak."
Mata Lea sudah tertuju pada cincin cantik dan sama sekali tak melirik cokelat yang ada di tangan kiri Devan. Perlahan, tangan Lea mulai terangkat. Dia sudah menyentuh cincin yang ada di tangan kiri Devan.
"LDR-an juga gua siap, Le."
Kembali mata Lea menatap ke arah Devan. Sebuah senyuman Lea berikan dan membuat hati Devan bahagia. Dia yakin Lea akan mengambil cincin tersebut.
Sayangnya, bahagianya hanya bertahan lima detik karena tangan Lea mengambil apa yang tak Devan duga.
"Gua lebih menyukai cokelat dibanding cincin."
...*** BERSAMBUNG ***...
Aku udah hadir lagi nih! Masih gak mau komen?
mkasih Thor Uda double up.....
semoga up lagi
semangat
ayok susul kebandung la sekalian ketemu dewa sama lea
lanjut lgi ya Thor penasaran SMA crita Lala SMA PK dosen
semangat thor
kena mental kagak tuch si Devan 😃😃😃