Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.
Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.
Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Beberapa hari berlalu sejak kepergian kakeknya, dan Luna akhirnya memberanikan diri memasuki kamar Antonius. Aroma khas yang begitu familiar menyambutnya, memukul kenangan masa kecil yang selama ini ia pendam. Kamar itu rapi seperti biasa, meja kerja kakeknya masih dipenuhi buku-buku medis dan surat-surat yang tertata. Namun, sekarang terasa begitu sunyi, seolah kehilangan denyut kehidupan.
Luna menatap kursi kerja tua di sudut ruangan, tempat kakeknya biasa duduk membaca hingga larut malam. Air mata yang ia tahan perlahan menggenang, namun sebelum ia sempat larut dalam kesedihan, ketukan keras di pintu depan memecahkan keheningan rumah itu. Tidak, ketukan itu bukan sekadar panggilan sopan—lebih terdengar seperti ancaman yang memaksa.
Dengan enggan, Luna berjalan menuju pintu. Dia membuka perlahan, menampilkan wajah-wajah yang tak ingin ia lihat. Douglas, ayahnya, berdiri di depan bersama Claudia, istri barunya, dan Clara, saudara tiri yang Luna anggap lebih seperti aktor amatir daripada keluarga. Di belakang mereka, dua orang berpenampilan formal, seorang pria dan wanita, berdiri dengan map di tangan.
"Mau apa kalian ke sini?" Luna bertanya dengan nada dingin, pandangannya tajam menusuk.
Clara, dengan senyum palsunya, melangkah maju dan memeluk Luna erat. "Kakak," katanya dengan nada dramatis, "kau pasti sedih sekali kehilangan kakek. Aku juga merasakannya." Namun pelukan itu tidak memberikan kehangatan apa pun—hanya terasa seperti jaring laba-laba yang licin.
Luna mendorongnya perlahan, wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Jangan pura-pura peduli," ucapnya datar, tapi penuh ketegasan.
Sebelum Clara sempat membalas, pria pengacara itu membuka suara. "Nona Luna, kami di sini untuk membacakan surat wasiat dari almarhum Antonius Harrelson."
"Wasiat?" Luna mengerutkan kening, merasa heran. Selama ini ia tidak pernah tahu kakeknya memiliki sesuatu yang layak disebut sebagai warisan besar.
Douglas tersenyum tipis, senyum yang membuat darah Luna mendidih. "Sebaiknya kita bicara didalam," katanya pada pengacara itu, sambil melangkah masuk tanpa menunggu izin dari Luna.
Di ruang tamu, pengacara itu mulai membaca dokumen resmi. "Menurut surat wasiat ini, almarhum Antonius Harrelson meninggalkan saham yang cukup besar di sakit Saint Michael Medical Center di ibu kota kepada cucu tunggalnya, Luna Heinrich."
Ruangan itu hening seketika, seperti waktu berhenti. Luna tertegun. Saham?
Douglas, di sisi lain, langsung menegakkan badan. Wajahnya yang sebelumnya penuh kepalsuan berubah masam, lalu tajam seperti serigala. Claudia tampak terkejut, sedangkan Clara hanya mampu menahan senyumnya yang kaku.
"Saham rumah sakit milik kakekku?" tanya Luna dengan suara pelan, lebih pada dirinya sendiri. Perlahan, semuanya mulai masuk akal. Semua perlakuan mendadak baik dari ayahnya beberapa waktu terakhir, upaya memaksa agar ia tinggal bersama mereka—ini semua tentang warisan.
"Benar nona Luna, kakek anda adalah pemilik saham terbesar di Saint Michael Medical Center" jawab pengacara tersebut.
Douglas akhirnya membuka mulut, suaranya penuh kendali, namun ada nada kemarahan yang samar. "Tanda tangani ini," katanya sambil mengeluarkan selembar dokumen dari jasnya. "Ini adalah surat pernyataan bahwa kau menyerahkan saham rumah sakit itu padaku. Aku akan memberimu uang yang cukup untuk hidup nyaman seumur hidupmu."
Luna hanya menatap kertas itu tanpa menyentuhnya. Matanya lalu bertemu dengan tatapan ayahnya, dan senyum sinis menghiasi wajahnya. "Jadi, ini alasan kenapa kau begitu bersemangat ingin aku tinggal bersamamu. Bukan karena kau peduli padaku, tapi karena saham rumah sakit itu."
Douglas tertawa kecil, nadanya meremehkan. "Jangan bodoh, Luna. Gadis sepertimu mana mungkin bisa mengelola rumah sakit sebesar itu? Itu dunia yang tidak kau mengerti. Serahkan saja padaku, dan kau bisa hidup tenang."
Luna mengangkat alisnya, lalu melipat tangan di dada. "Sayangnya aku tidak sebodoh itu tuan Douglas. Aku cukup pintar untuk tahu kalau aku tidak akan memberikan apa pun padamu Tuan Douglas Heinrich." Ia menekankan nama ayahnya dengan sarkasme, menolak menyebutnya "ayah".
Wajah Douglas memerah karena amarah. Claudia mencoba menenangkannya, sementara Clara hanya menunduk, pura-pura tak mendengar, bagi Luna ini baru permulaan. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian. Ia merasa ada kekuatan yang diwariskan kakeknya—bukan hanya dalam bentuk warisan materi, tapi juga semangat untuk melawan dan bertahan.
Ruangan itu terasa semakin panas meski angin dingin dari luar jendela menyelinap masuk. Luna berdiri dengan tegak di tengah ruang tamu yang sempit, tatapannya tajam menembus ayahnya yang kini memerah karena amarah. Pengacara yang tadi membacakan wasiat hanya bisa berdiri diam, merasa situasi ini jauh melampaui tugas profesionalnya. Claudia, dengan tatapan penuh intrik, mencoba mengendalikan situasi, sementara Clara, dengan wajah berpura-pura polos, hanya tersenyum lemah di sudut.
Luna menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang bergemuruh. Namun, bibirnya akhirnya terbuka, mengeluarkan kata-kata yang menohok. "Mendengar nama Heinrich di belakang namaku saja membuatku jijik," katanya dingin. "Aku akan segera mengganti nama belakangku menjadi Harrelson, seperti nama kakek dan ibuku. Nama yang pantas aku sandang."
Wajah Douglas, yang sudah memerah sebelumnya, kini hampir seperti tomat matang. "Bicara apa kau!!!" teriaknya, suaranya bergema di dinding ruangan. "Kau adalah anakku! Sudah sepantasnya kau menyandang nama belakangku! Kau membawa darahku, Luna!"
Luna tertawa kecil, sinis, namun penuh rasa sakit. "Anakmu? Sejak kapan kau merasa seperti itu? Kau bahka tidak pernah bersikap selayaknya seorang ayah" ia menyipitkan mata, melangkah maju sehingga hanya beberapa inci memisahkan mereka. "Oh, aku tahu. kau takut kan? Karena kalau aku mengganti nama belakangku, kau tidak punya hak apa pun atas rumah sakit itu, kan? Karena aku adalah pewaris sahnya, bukan kau."
Douglas tampak seperti akan meledak. Ia membuka mulut untuk membalas, tapi Luna mengangkat tangannya, menghentikannya sebelum kata-kata keluar. "Tidak perlu repot-repot menyangkal, Douglas. Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kau pikir aku bodoh? Ini semua rencana kotor yang kau sembunyikan di balik topengmu."
"Hei Tuan Douglas, kalau kau sakit lebih baik kau diam di rumah. Bukan berkeliaran dan berteriak seperti anjing gila, meskipun aku tahu mengenai medis, tapi aku ini bukan dokter hewan" sarkasnya.
Claudia, yang selama ini hanya diam dengan senyum penuh kepalsuan, akhirnya maju. "Luna," katanya dengan suara yang manis beracun, "kau harus tahu bagaimana bersikap sebagai anak yang tahu diri. Apa yang ayahmu minta bukanlah sesuatu yang besar. Kau hanya perlu menyerahkan sesuatu yang tidak akan pernah bisa kau kelola."
Mata Luna beralih ke Claudia, menyipit dengan jijik. "Kau bicara tentang tahu diri, Claudia? Kau yang merebut suami orang lain? Jangan bicara padaku soal moralitas, karena kau jelas bukan ahlinya."
Claudia tampak terkejut mendengar serangan langsung itu, tapi sebelum ia bisa membalas, Clara melangkah maju dengan ekspresi sedih yang sempurna. "Kakak," katanya lembut, "kau tidak perlu bersikap seperti ini. Sebagai anak yang berbakti, bukankah seharusnya kau menuruti apa kata ayah kita? Apa salahnya menyerahkan rumah sakit itu kepada seseorang yang lebih berpengalaman? Kau hanya perlu percaya pada Ayah."
Luna memutar matanya. "Oh, tolong, Clara," katanya dengan nada geli. "Aku hampir percaya pada sandiwara kecilmu. Tapi kita berdua tahu kau tidak peduli soal 'anak berbakti.' Kau hanya ingin memastikan keluargamu tetap punya bisa hidup nyaman kan?"
Clara membuka mulutnya, tapi tidak ada kata yang keluar. Luna tidak memberinya kesempatan. Ia langsung berbalik kepada pengacara yang membawa dokumen wasiat itu. "Aku menerima warisan kakekku," katanya dengan tegas. "Aku tidak peduli apa pun yang mereka katakan."
Pengacara itu mengangguk dengan kaku, merasa lega bahwa tugasnya hampir selesai.
"Anda akan diminta hadir saat rapat pemegang saham nanti, untuk tempat dan waktunya, saya akan menghubungi anda" kata pengacara tersebut.
Luna mengangguk setuju, tapi Douglas tidak tinggal diam. "Luna!" teriaknya, nadanya penuh kemarahan dan otoritas. "Aku ini ayahmu! Kau tidak punya hak untuk bertindak seperti ini!"
Luna berbalik, menatap Douglas untuk terakhir kalinya dengan tatapan yang tajam seperti pisau. "Kau kehilangan hak itu sejak kau memilih Claudia dan keluarganya daripada aku dan Ibu. Kau bukan ayahku, Douglas. Kau hanya seorang pria yang kebetulan memberiku darah." Dengan itu, Luna langsung menyuruh mereka pergi meninggalkan rumahnya.
Sementara itu, Claudia mencoba menenangkan suaminya, disisi lain Clara berdiri dengan tangan terlipat, menatap pintu tempat Luna pergi.
...****************...