Gray adalah seorang anak yang telah kehilangan segalanya karena Organisasi jahat yang bernama Shadow Syndicate. Dia bahkan dijadikan Subjek Eksperimen yang mengerikan, namun dalam perjalanannya untuk menghentikan Organisasi tersebut, ia menemukan teman yang mengalami nasib sama sepertinya. Bagaimana perjalanan Gray untuk menjadi dewa dalam dunia fantasi yang dipenuhi bahaya dan kekuatan sihir ini akan berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
005 - Neraka (1)
Bugh!
Dalam satu gerakan cepat, Jordan menendang perut anak itu dengan keras. Tubuh kecil itu terpental beberapa meter, batuk darah, lalu jatuh ke lantai sambil meringkuk kesakitan.
Jordan menghela napas panjang, kecewa.
"Inilah yang terjadi jika kalian lemah."
Ia menatap anak-anak yang lain.
"Kalian semua akan bertarung, setiap hari. Akan ada hukuman bagi yang kalah. Akan ada hadiah bagi yang menang."
Tiba-tiba, ia menunjuk ke arah Gray.
"Kau. Maju."
Gray, yang selama ini hanya duduk diam, membuka matanya perlahan. Tanpa ekspresi, ia berdiri dan berjalan ke tengah ruangan. Jazul yang berada di dekatnya menelan ludah, sementara Serlina hanya bisa melihat dengan ketakutan.
Jordan melemparkan sebatang kayu ke arahnya.
"Ambil. Dan serang aku."
Gray mengambil kayu itu tanpa banyak bicara. Ia tidak peduli apakah ia akan kalah atau tidak. Ia tidak memiliki ketakutan seperti anak-anak lainnya. Baginya, ini hanyalah pertempuran lain dalam hidup yang sudah penuh penderitaan.
Tanpa ragu, ia melangkah maju dan mengayunkan kayunya ke arah kepala Jordan.
Tetapi sebelum kayu itu mengenai targetnya—
Tuk!
Sebuah tangan mencengkeram kayu itu dengan kuat, menghentikan serangan Gray dengan mudah.
Jordan tersenyum sinis.
"Kau punya keberanian... Tapi itu tidak cukup."
Dalam sekejap, ia menarik kayu itu dari tangan Gray dan menghantamnya ke perut bocah itu dengan kekuatan penuh.
Gray terjatuh ke lantai, tersungkur, rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya.
Namun, ia tidak berteriak.
Ia tidak menangis.
Ia hanya menatap Jordan dengan mata kosong, seolah rasa sakit itu tidak berarti apa-apa.
Jordan menyipitkan mata.
"Menarik."
Ia menendang tubuh Gray, membuatnya terlempar ke dinding. Tetapi tetap, tidak ada reaksi dari Gray selain batuk darah.
Anak-anak yang lain menyaksikan dengan ngeri. Bahkan Jazul, yang lebih tua, tidak bisa menyembunyikan ekspresi khawatirnya.
Jordan tertawa pelan.
"Kau keras kepala, ya?"
Ia berjongkok, menarik kepala Gray agar menatapnya langsung.
"Tidak apa-apa. Aku akan memastikan kau merasakan neraka yang sesungguhnya."
Hari itu, pelatihan brutal dimulai. Dan bagi Gray, neraka baru saja terbuka lebih lebar.
Tubuh Gray sudah tidak asing lagi dengan rasa sakit. Setiap hari, Jordan menghajarnya tanpa ampun—tinju yang menghantam perutnya hingga membuatnya muntah darah, tendangan yang meremukkan tulangnya, cambukan yang mengoyak kulitnya. Anak-anak lain hanya bisa menyaksikan dengan ngeri, beberapa bahkan menutup mata, tidak sanggup melihat penderitaan yang dialami Gray.
Namun, yang paling mengerikan bukanlah siksaan itu. Yang paling mengerikan adalah bagaimana Gray meresponsnya.
Bukannya menangis atau memohon, Gray malah tersenyum. Bukan senyum bahagia, bukan senyum kegilaan, tetapi senyum yang mengerikan—senyum penuh niat membunuh. Setiap pukulan Jordan hanya menambah bahan bakar bagi api yang berkobar di dalam dirinya.
Jordan melihat itu.
Ia tahu anak-anak lain takut padanya, tunduk karena rasa ngeri yang ditanamkannya dalam setiap tetes darah dan keringat mereka. Tapi Gray berbeda. Tatapan bocah itu bukan tatapan korban. Itu adalah tatapan predator yang menunggu saatnya.
"Sudah cukup," kata Jordan satu hari setelah menghajarnya habis-habisan.
Gray tergeletak di tanah, tubuhnya penuh luka lebam dan darah, tetapi matanya masih terbuka, memandang Jordan dengan penuh kebencian yang membara.
"Aku takkan membunuhmu," lanjut Jordan dengan nada dingin. "Bukan karena aku kasihan. Tapi karena aku ingin melihat sampai sejauh mana kau bisa bertahan."
Gray tidak menjawab. Ia hanya mengatur napasnya, merasakan denyutan nyeri di seluruh tubuhnya. Setiap ototnya berteriak kesakitan, tetapi pikirannya tetap jernih. Ia tidak peduli seberapa lama ini akan berlangsung. Yang penting adalah satu hal—ia akan membunuh Jordan suatu hari nanti.
Hari demi hari berlalu, dan pelatihan semakin berat. Jordan mulai mengajari mereka cara menggunakan sihir.
"Di dunia ini, sihir bukan hanya tentang mantra dan kekuatan," kata Jordan di depan anak-anak yang duduk berbaris di lantai dingin. "Setiap orang memiliki energi di dalam tubuhnya. Mengendalikannya adalah kunci untuk bertahan hidup. Tanpa itu, kau hanyalah sampah yang akan mati dalam sekejap."
Ia mengangkat tangannya, lalu energi hitam berputar di sekelilingnya seperti kabut yang bergerak liar.
"Ini adalah bentuk dasar dari energi sihir. Bayangkan tubuhmu seperti wadah, dan energi ini adalah air di dalamnya. Jika wadahmu lemah, kau takkan bisa menampung banyak. Jika wadahmu kuat, kau bisa menyimpannya dan menggunakannya sesukamu."
Jordan melirik ke arah Gray.
"Kau," katanya, menunjuk langsung ke bocah itu.
Gray menatapnya tanpa ekspresi, tetapi hatinya membara.
"Gunakan sihirmu."
Gray tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangannya, mencoba merasakan sesuatu di dalam tubuhnya. Dalam pikirannya, ia membayangkan energi mengalir seperti sungai hitam, berputar liar dan ganas. Ia bisa merasakannya, seperti arus gelap yang bergemuruh di dalam dirinya, sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Tiba-tiba, udara di sekitar Gray menjadi berat. Aura hitam menyelimuti tubuhnya, membawa hawa suram yang membuat anak-anak lain mundur ketakutan.
Jordan tersenyum tipis.
"Menarik."
Tapi sebelum Gray bisa sepenuhnya mengendalikan energinya, Jordan menghantam perutnya dengan tendangan keras, membuat Gray tersungkur dan batuk darah.
"Bukan begitu caranya," kata Jordan dingin. "Kau terlalu liar. Sihirmu adalah kekuatan yang harus kau kendalikan, bukan biarkan ia mengendalikanmu."
Gray menggertakkan giginya, menahan sakit yang menjalar di tubuhnya.
Baik. Jika itu yang diinginkan Jordan, maka ia akan belajar. Ia akan menyerap semua pelajaran ini, tidak untuk menjadi lebih kuat demi bertahan hidup, tetapi untuk satu tujuan—membunuh Jordan dengan tangannya sendiri.
Bara dalam kegelapan semakin menyala.
Hari demi hari berlalu dalam neraka yang disebut pelatihan. Jordan tidak hanya mengajarkan cara menggunakan sihir, tetapi juga bagaimana bertarung, membunuh, dan bertahan hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi.
Anak-anak yang lemah mulai menyerah. Ada yang pingsan karena kelelahan, ada yang terluka parah karena gagal mengendalikan sihir mereka sendiri. Beberapa bahkan mati karena tubuh mereka tidak bisa menahan tekanan energi yang terus dipaksa keluar. Tapi Jordan tidak peduli. Ia hanya menatap mayat-mayat itu dengan tatapan dingin dan berkata,
"Yang lemah memang pantas mati."
Gray tidak peduli dengan kematian mereka. Ia tidak punya rasa iba untuk diberikan. Satu-satunya yang ada dalam pikirannya adalah bertahan dan menjadi lebih kuat.
Di antara semua anak di sana, hanya ada dua orang yang menarik perhatian Jordan selain Gray: Jazul dan Serlina.
Jazul memiliki sihir dengan elemen warna-warni, energi yang tidak stabil tetapi sangat fleksibel. Ia bisa menciptakan berbagai efek dari sihirnya, seperti ledakan kecil, kilatan cahaya, atau bahkan membuat tubuhnya lebih ringan. Namun, ia masih belum bisa mengendalikannya dengan sempurna.
Serlina, di sisi lain, memiliki sihir yang mirip dengan Gray—kegelapan. Namun, berbeda dengan Gray yang auranya terasa seperti jurang yang mengancam menelan segalanya, kegelapan Serlina lebih lembut dan mengalir seperti kabut. Ia bisa menyelimuti dirinya dengan bayangan dan menghilang dari pandangan dalam waktu singkat.