Lunar Paramitha Yudhistia yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi harus menerima kenyataan pahit bahwa ayahnya menikah lagi dengan rekan kerjanya. Ia tak terima akan hal tersebut namun tak bisa berbuat apa-apa.
Tak disangka-sangka, wanita yang menjadi istri muda sang Ayah menaruh dendam padanya. ia melakukan banyak hal untuk membuat Lunar menderita, hingga puncaknya ia berhasil membuat gadis itu diusir oleh ayahnya.
Hal itu membuatnya terpukul, ia berjalan tanpa arah dan tujuan di tengah derasnya hujan hingga seorang pria dengan sebuah payung hitam besar menghampirinya.
Kemudian pria itu memutuskan untuk membawa Lunar bersamanya.
Apa yang akan terjadi dengan mereka selanjutnya? Yuk, buruan baca!
Ig: @.reddisna
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda Dwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15: Time To Revenge
"Keluarlah dari kamarku, aku ingin menghabiskan waktu sendiri sementara waktu. Aku akan menemuimu nanti sore saat makan malam!" ucapku sembari menyantap sarapan dengan lahap.
Selatan memutar bola matanya malas, manik hitamnya menunjukkan rasa enggan. Ia malas beranjak. "Aku ingin berada di sini, aku berjanji tidak akan mengganggu waktumu," ia memohon.
Aku melempar sebuah bantal ke arahnya, tepat mengenai wajah tampannya. Kekehan kecil lolos begitu saja dari mulutmu setelah melihat wajah masamnya. Ia mendesah pelan dan mengusap wajahnya dengan lesu. "Baiklah, tenangkan dirimu dan beritahu aku jika kau sudah siap untuk membicarakan masalah ini." Aku mengangguk pelan dan tersenyum simpul, ia pun pergi meninggalkan kamarku.
Ada banyak hal yang ingin kulakukan — menghubungi teman dan sahabat adalah salah satu tujuanku. Aku sudah mencatat nomor beberapa dari mereka yang masih ku ingat. Salah satunya adalah Rinai, aku memencet kontaknya dan mulai mengiriminya sebuah pesan singkat, menyatakan rindu yang sangat amat kepadanya setelah berbulan-bulan kami tak bersua.
Hi, apa kabar Sayang? Aku merindukanmu.
Itu adalah pesan singkat yang ku kirimkan padanya, berharap ia membalasnya dengan segera. Kemudian aku meletakkan ponselku di nakas, mengikat rambutku secara acak dan mulai mengambil satu-satunya harta yang kubawa saat keluar dari rumah, sebuah buku berwarna merah muda yang berisi segala keluh kesah dan kisah-kisah indah sejak aku duduk di bangku perkuliahan.
Aku membuka buku itu dengan hati yang berdebar, sebuah perasaan asing muncul begitu saja. Aku mulai mengambil pena dan menulis hal-hal yang menjadi keluh kesahku selama ini. Ku tumpahkan semuanya dalam sebuah guratan indah di atas kertas, tanganku menari di atas sana dengan lincahnya. Mengekspresikan diriku yang tengah tenggelam dalam rintik sendu.
Tak terasa satu jam telah berlalu, dan dinding sudah menunjukkan pukul dua belas siang, dan aku telah menyelesaikan sebuah kisah yang kutulis berdasarkan kenangan-kenangan di masa lampau, aku tak ingin melupakan mereka begitu saja. Entah itu baik ataupun buruk, semuanya tetap berharga untukmu. Banyak pembelajaran hidup yang dapat kupetik dari setiap kejadian yang pernah ku alami, dan aku yakin Tuhan akan menjadikan diriku pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
"Hmm, apalagi ya yang harus kulakukan?" gumamku pelan, aku merebahkan diriku dan mengambil ponsel di nakas. Mendapati Rinai telah membalas pesanku dengan sangat antusias, ia mengirimiku beberapa pesan balasan padahal aku hanya mengirimkan satu pesan singkat.
Astaga sayang, kemana saja kau!? Kau tidak membalas pesanku berbulan-bulan.
Aku khawatir tau!
Aku merindukanmu sayang, mari bertemu jika kau senggang.
Aku tersenyum simpul membaca pesan gadis berdarah Indonesia-Spanyol itu, dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku juga merindukan momen-momen kebersamaanku dengannya. Kami sangat akrab seperti lem yang tak bisa dipisahkan.
Aku membalasnya dengan singkat, dan mengirimkan lokasi terkini ku padanya.
Baiklah, mari bertemu besok.
Setelah itu aku hanya menghabiskan waktu untuk buka sosial media dan menonton film kesukaanku — Moana, ditemani dengan secangkir coklat panas dan beberapa camilan yang kubeli saat berlibur. Hingga akhirnya titik bosan mulai menyerang, aku mengerucutkan bibir dan melihat jam dinding, sudah pukul empat sore. Kemudian aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan gontai ke ruang kerja Selatan.
Aku tak mengetuk pintu, langung masuk begitu saja tanpa permisi. Sang empu tampak terkejut melihat eksistensiku yang tiba-tiba. "Kau mengejutkanku, ada apa?" manik hitamnya tak melepaskan pandangannya dariku.
Aku melangkahkan kakiku ke arah meja kerjanya, duduk di sana dengan santainya. Tak menghiraukan reaksinya yang tampak aneh di mataku. "Yah, aku menerima tawaranmu, kurasa memang sudah saatnya mereka menerima karma atas perbuatan mereka."
Senyum licik tersungging di bibirnya setelah mendengar ucapanku. Puas dengan jawaban yang kuberikan. Ia kemudian berdiri dan mengambil beberapa dokumen yang belum pernah kulihat sebelumnya. "Ini adalah riwayat hidup wanita itu dan catatan kriminal yang pernah ia lakukan. Ia sudah banyak memanipulasi pria dan mengambil hartanya," jelasnya.
Iris mataku melebar, ku bahkan tak tahu tentang hal itu. Ternyata dia memang sering menjebak pria-pria kaya yang haus belaian karena kesepian. Kemudian menguras seluruh hartanya dan membuang mereka begitu saja setelahnya. Benar-benar iblis!
"Dan ini…" ia menunjuk dokumen lain yang dibungkus oleh map merah muda. "Adalah riwayat hidup ayahmu dan berkas-berkas yang dapat menjebloskannya dirinya ke penjara. Salah satunya adalah karena menelantarkan putrinya saat masih di bawah umur," terusnya.
Wow, ternyata dia benar-benar serius untuk membantuku balas dendam, daripada ia mendapatkan semua informasi ini? Yah, aku tidak peduli sih. Bagi keluarga Hanubagja menghancurkan karir dan reputasi seseorang itu sangatlah mudah, mereka punya kuasa yang cukup besar di kota ini.
"Aku akan menyimpannya, sembari menumpulkan bukti-bukti lain yang dapat membantuku ke depannya," aku mengambil dua buah map itu.
"Terimakasih untuk semuanya, aku sangat mengapresiasi itu."
"Ya, itu bukan masalah besar. Kau bisa menggunakanku kapan saja jika kau mau," ia membelai rambutku mesra, menyalurkan afeksinya.
Aku tersenyum simpul, menatap manik hitamnya yang berseri. Aku menyibak sorai hitamnya yang indah, menelusuri setiap inci bagiannya dengan seksama. Membiarkan wajah kami saling bertaut, terbuai dalam suasana mesra yang diciptakan tanpa sengaja. Sekilas aku mencium bibirnya. Membuat sang empu bersemu merah, begitupun dengan diriku, aku dapat merasakannya dengan jelas walaupun hanya sekilas.
Lembut dan halus bak sutra.
Aku segera mendorong tubuh kekarnya setelah ciuman singkat itu, takut ia meminta lebih. Aku memaling wajahku yang bersemu merah. "Maaf, aku tak bermaksud, ah-um… itu benar-benar di luar kendaliku!" aku mencari pembelaan dengan mulut yang terbata-bata. Aku berlaki dengan kencang, meninggalkan dirinya yang masih diam mematung tak percaya. Semburat merah masih terlihat begitu jelas di wajahnya.
Aku melangkahkan kakiku menuju dapur dengan tergesa. Mengambil segelas air dingin dari kulkas segera setelahnya, bermaksud memenangkan pikiranku yang kacau. "Bodoh sekali, bisa-bisanya aku melakukan hal itu…" aku meracau dan meletakkan gelas itu dengan kasar. Terduduk di sana dengan tatapan kosong, memikirkan hal bodoh yang baru saja kulakukan.
"Astaga, aku tak berani berhadapan dengannya lagi setelah ini," gumamku dengan gusar, menggigit ujung kuku dengan kasar tuk meredakan rasa gusar.
"Hey, apa yang kau lakukan di sini bocah?" suara itu menginterupsi diriku yang tengah termenung, Kak Hana rupanya. Ia datang sembari membawa beberapa kantong belanja berisi bahan makanan untuk persediaan satu minggu ke depan.
"Eh, itu … tidak apa-apa, Kak." ucapku dengan cepat, memunculkan kecurigaan di wajahnya. "Aku mau kembal ke kamar!" langkahku tergesa, berniat menghindari pertanyaan-pertanyaan yang kemungkinan akan ia lontarkan.
Kak Hana menatapku yang tengah tergesa dengan tatapan heran, wajahnya tampak bertanya-tanya. "Ada apasih sebenarnya? Aneh," ucapnya sembari menaruh barang belanjaan di meja.
Mampir juga di karyaku ya ka
semangat terus