Cinta Kita Belum Usai

POV Raka

.

.

Aku terbangun setelah tidur dengan nyenyak. Semalam dan tadi pagi aku akhirnya menyempurnakan pernikahanku dengan Gendhis. Rasanya sangat luar biasa.

Tubuh Gendhis terasa sangat cocok dengan tubuhku. Aku tidak menyangka betapa cantiknya Gendhis. Wanita itu mempersembahkan dirinya yang masih suci padaku.

"Dhis, kamu di mana?" tanyaku melihat kekosongan di sisi tempat tidurku.

Aku boleh kerja hari ini, tidak peduli dengan yang terjadi di kantor. Aku memilih bersama dengan Gendhis. Entah mengapa perasaanku tidak enak. Pintu kamarku, aku buka kemudian mencari Gendhis di setiap ruangan.

Perempuan itu, tidak menampakkan batang hidungnya. Aku mencoba untuk kembali ke kamar. Tadi, aku melewatkan kamar mandi. Mungkin saja, wanita yang telah menjadi istriku selama dua tahun itu berada di dalamnya.

"Dhis, kamu di kamar mandi?" Aku membuka pintu kamar mandi, tetapi nihil. Tidak ada tanda-tanda kehadiran istriku.

Dengan kebingunganku, aku menyambar ponsel untuk menghubungi Gendhis. Tidak mungkin dia pergi begitu saja setelah aku memberikan nafkah batin padanya.

Nafkah yang tidak pernah aku berikan padanya selama dua tahun pernikahan kami. Aku bahkan selalu mengabaikannya bila dia mulai membicarakan ke mana arah hubungan kami.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif. Silakan hubungi beberapa saat lagi."

Berkali-kali aku menghubungi ponsel Gendhis, tetapi hanya operator yang menjawabnya. Kupandangi nakas yang berada di sebelah tempatku tidur. Aku terkejut melihat secarik kertas berisikan tulisan tangan.

Aku tebak itu adalah tulisan tangan Gendhis. Kupandangi kertas yang tampaknya terdapat bekas air karena kertas itu terlihat mengerut di beberapa bagian.

"Raka,

Maafkan aku karena pergi tanpa berpamitan. Aku tahu ini pengecut, tapi aku tidak punya cara lain. Aku lelah. Biarkan aku pergi, setidaknya untuk menemukan diriku sendiri."

-Gendhis-

Lututku bergetar setelah selesai membaca tulisan tangan tersebut. Apa maksudnya semua ini? Menemukan diri sendiri?

Selama bersama dengan diriku, Gendhis selalu diam. Tidak mengungkapkan apa pun. Dia selalu meminta pertimbanganku dalam setiap keputusan. Apa selama ini dia tidak menjadi dirinya sendiri?

Aku ingat ketika dia mengatakan akan mengundurkan diri dari toko roti yang selama ini di kelola. Gendhis meminta izinku terlebih dahulu.

"Aku ingin fokus pada keluarga kita, lebih baik aku mengundurkan diri saja dari toko. Bagaimana menurutmu?" tanya Gendhis tepat setelah kami menikah.

"Terserah kamu saja, bila kamu ingin berhenti bekerja. Aku masih sanggup untuk menafkahimu. Jadi, semua aku serahkan padamu," jawabku.

Pernikahan kami terjadi begitu saja, kedekatan kami dimulai ketika kami menghadiri pesta pernikahan Silvia. Melihat kebahagiaan wanita yang selama ini menjadi pujaan hatiku. Tentu saja kau terbakar cemburu.

Gendhis yang menemaniku pun turut merasakan kecemburuanku. Akan tetapi, aku tidak bisa melakukan apa pun. Tidak ada yang dapat mengubah takdir. Aku dan Silvia tidak berjodoh.

"Mengapa kalian tidak menikah saja? Ibu sudah sangat menantikan pernikahanmu Raka. Gendhis adalah wanita yang baik. Ibu yakin dia dapat membahagiakanmu," ucap ibuku pada saat aku mengantar Gendhis sepulang dari toko.

Ja

Kebetulan aku selalu searah dengan Gendhis, hingga mengantarkan gadis itu menjadi sebuah keharusan bagiku. Akhirnya, aku beranikan diri untuk meminangnya.

Gendhis menerimaku dengan tangan terbuka, tetapi sikapku berubah begitu kami menikah. Aku tidak dapat mencintai Gendhis seperti aku mencintai Silvia. Entahlah, aku bahkan tidak menunaikan kewajibanku sebagai suami.

Aku memberikan nafkah lahir padanya, tetapi tidak dengan nafkah batin. Gendhis terang-terangan menggodaku. Akan tetapi, aku bersikap dingin pada dirinya.

Saat ini, aku menerima semua ganjaran karena perbuatanku. Gendhis terang-terangan menginginkan perceraian. Hingga aku melakukan kewajibanku dengan harapan dia memberikan kesempatan padaku.

"Ke mana kamu, Gendhis? Tidak seharusnya kamu lari dariku seperti ini. Aku tidak ingin hubungan kita seperti ini!"

Kembali aku hubungi Gendhis, tetapi nomor ponselnya tetap tidak aktif. Aku menggeram, memang semua yang aku lakukan salah. Aku masih terbayang cinta masa laluku.

Cinta yang tidak pernah bersemi di antara aku dan Silvia. Seharusnya, aku dapat menerima Gendhis sebagai istriku. Perempuan yang selama ini mendampingku dengan sabar itu pasti memiliki batasnya.

Aku membaca kembali setiap tulisan Gendhis yang dia tinggalkan. Aku melipatnya kemudian menaruhnya di saku bajuku.

"Aku tidak akan menyerah begitu saja, Gendhis. Cinta kita harus saja dimulai dan tentu saja belum usai. Aku akan mencarimu walau ke ujung dunia sekali pun," gumam Raka.

Pria itu kemudian berganti baju dan meraih kunci mobilnya. Dia berkeliling ke tempat yang mungkin di datangi Gendhis. Walau dia bukan merupakan suami yang baik. Dia tahu setiap kebiasaan Gendhis. berharap wanita itu tidak pergi terlalu jauh dari jangkauannya.

Hingga ponselnya berbunyi dan di layar tertera nama seseorang yang membuatku bingung bercampur takut.

Ibu memanggil...

***

Bersambung...

Terima kasih telah membaca. ❤️