Mencari Daddy Sugar? Oh no!
Vina Rijayani, mahasiswi 21 tahun, diperhadapkan pada ekonomi sulit, serba berkekurangan ini dan itu. Selain dirinya, ia harus menafkahi dua adiknya yang masih sangat tanggung.
Bimo, presdir kaya dan tampan, menawarkan segala kenyamanan hidup, asal bersedia menjadi seorang sugar baby baginya.
Akankah Vina menerima tawaran Bimo? Yuk, ikuti kisahnya di SUGAR DATING!
Kisah ini hanya fantasi author semata😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Bimo dan Heru
Jantung Vina berdegup kencang melihat Bimo dan Heru saling mengunci tatapan mereka.
"Tuan, sebaiknya kita pergi," gumam Vina setengah berbisik, tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
"Pergilah Baby, aku masih ada urusan dengan pemuda ini," Bimo tidak mengalihkan tatapannya dari Heru.
"T-tapi--" Vina tergagap cemas.
"Kamu boleh tetap berada disini jika penasaran ingin menonton pergulatan kami," Bimo melipat lengan kemeja panjangnya tanpa mengalihkan pandangan dari Heru yang tidak menunjukan rasa takutnya sedikitpun.
"Pak Heru, tolong jangan buat keributan disini, ini rumah sakit. Dokter Anderson pasti akan marah besar pada Anda nanti," peringat kasir wanita itu, berharap kata-katanya bisa melerai dua pria beda generasi itu. Apalagi ucapan Bimo yang sempat ia dengar meminta gadis mudanya itu pergi bukanlah ucapan yang bisa diabaikan.
"Tenanglah Bu Imel, kami hanya ingin menyelesaikan urusan kami," Heru menanggapi dengan tenang, tapi tatapan tajamnya berbicara lain.
"Sekarang Baby!" Bimo sedikit menaikan nada bicaranya saat Vina belum juga beranjak dari sana.
"Jangan pernah meninggikan suaramu padanya Paman!" peringat Heru, tulang rahangnya mengeras, darah mudanya mudah sekali tersulut emosi.
"Begitu? Apa aku tidak boleh meminta calon isteriku pulang disaat ada pemuda lain yang ingin mendekatinya?"
"Dia bukan calon isterimu, Paman! Paman pasti memaksanya bukan? Lihat saja usia kalian yang terpaut jauh!" gema Heru lantang.
Bimo terpaku sesaat, lalu menoleh pada Vina yang terlihat tegang, wajah gadis itu sedikit memucat karena takut kedua pria itu adu jotos.
"Apa aku memaksamu Baby? Jujurlah," pelan Bimo.
Vina menelan salivanya dengan berat. Untuk sesaat gadis itu tidak mampu berkata-kata, kerongkongannya mendadak terasa kering dan seret.
"Lihatkan Paman? Vina bahkan tidak bisa menjawab--"
"Daddy tidak memaksaku," Vina menyela ucapan Heru, kakinya melangkah mendekati Bimo, meraih telapak tangan pria itu, lalu menautkan jari-jemari mereka.
"Kita pulang Dad, nanti Vino dan Vaniza mencari kita," lirih Vina.
"Dengar dan lihat sendiri kan?" Bimo mengangkat kedua alisnya tinggi dengan ekspresi datarnya.
"Jangan ganggu Vina-ku lagi. Pria matang itu selalu terdepan dibanding pria bau kencur."
Bugh!
"Ahh!" Vina terperangah, melihat Bibir Bimo sudah berdarah terkena tinju Heru yang melewati atas kepalanya.
Sebelum Vina sempat mengusap darah pada luka di bibir Bimo, tubuhnya telah disambar pria itu, dengan gerakan berputar.
Bertepatan saat dirinya berada dibelakang punggung Bimo, Vina hanya bisa mendengar suara pukulan bertubi-tubi tanpa jedah, diikuti tubuh Heru yang ambruk di lantai rumah sakit.
"Kak Heru!" pekik Vina, melihat wajah pemuda itu sudah babak belur terlentang tidak berdaya.
"Tolong urus rekanmu bu Imel," datar Bimo tanpa ekspresi. Tangannya menggandeng Vina dan membawa gadis itu pergi.
Tatapan Heru berkunang-kunang, ia sempat melihat bayangan Bimo pergi membawa Vina, juga suara bu Imel yang samar memanggil-manggil namanya, setelah itu gelap, dan senyap.
"Kenapa Tuan harus memukulnya sampai separah itu?" Vina bergumam, merasa kasihan pada Heru yang ditinggal begitu saja oleh Bimo setelah menghajarnya.
"Kamu tidak akan mengerti bagaimana laki-laki menyelesaikan urusannya. Jangan memikirkan pemuda itu lagi, dia tidak akan mati."
Bimo mendorong pintu ruang rawat inap Vino didepannya, seorang perawat yang ada didalam sana gegas datang menghampiri.
"Apa mereka bangun?" tanya Bimo menatap perawat itu.
"Tidak Tuan, mereka masih pulas," sahut sang perawat. "Apa Tuan memerlukan perawatan?" tanya perawat itu, melihat bibir Bimo yang memar membengkak, juga ada darah disana.
"Tidak, terima kasih, suster boleh pergi sekarang."
"Saya pamit Tuan, Nona," perawat wanita itu merunduk lalu pergi.
"Biarkan aku membantu Daddy membersihkan luka itu," Vina menunjuk bibir Bimo dengan wajahnya sedikit meringis.
"Tidak perlu. Bersihkan dirimu. Ganti, dan buang bajumu itu ke sampah. Jangan sampai aku melihatmu memakainya lagi. Bisa-bisa, aku akan menghajar pemuda itu lagi."
Selesai mengatakan itu, Bimo berjalan menuju sofa, kembali membuka laptopnya.
Tidak berani protes, Vina mengambil pakaian ganti dari lemari pakaian, lalu masuk kekamar mandi.
Ia tahu, Bimo sedang marah, tapi pria itu berusaha menahan emosinya.
Selesai membersihkan diri dan mengganti pakaiannya, Vina gegas keluar dari kamar mandi, menemukan Bimo sudah tertidur di sofa.
Perlahan Vina mendekat, ternyata luka pria itu masih belum dibersihkan.
Dari kotak obat, Vina mengeluarkan kapas pembersih, cairan antiseptik, dan salep, membawanya pada Bimo yang sedang terlelap.
Vina terkejut, menahan napas saat Bimo mencengkram tangannya yang terulur hendak membersihkan luka pria itu.
"Jangan sentuh itu, atau aku menerkammu malam ini."
"Aku hanya ingin membersihkannya, nanti bisa infeksi bila tidak lekas dibersihkan," cemas Vina.
"Tidak perlu, pergilah tidur," Bimo melepaskan cengkramannya.
"T-tapi--"
"Ti-dur se-ka-rang," ucap Bimo penuh tekanan, matanya menatap tajam.
"I-iya, baik," Vina takut, spontan beringsut turun dari tepi sofa, membawa kapas pembersih, cairan antiseptik, dan salep, lalu mengembalikannya lagi ke tempat semula.
Perlahan Vina naik ke kasur, berbaring disamping Vaniza yang tengah pulas dalam mimpi indahnya, sesekali gadis itu mencuri pandang pada Bimo di sofa, yang juga sudah terlelap tenang disana.
"Cepat sekali dia tidur," guman Vina seorang diri, menatap langit-langit putih rumah sakit, sesekali pandangannya mengawasi Vino yang tidurnya sudah tidak gelisah lagi di ranjang pasien.
Cukup lama dirinya seperti itu, hingga menit-menit berlalu, ia pun akhirnya ikut terlelap bersama Vaniza yang sudah lama tertidur disebelahnya.
Di sofa, tubuh Bimo bergerak-gerak perlahan, ia bangun dari tidurnya. Melangkah menuju kotak obat, dan mengambil semua yang sebelumnya dibawa Vina untuknya.
Di wastafel ruang inap VVIP Vino, Bimo meringis sendiri, merasakan perih, saat cairan antiseptik itu membasahi lukanya. Cukup lama ia berkutat disana hingga akhirnya selesai mengolesi salep pada bagian bibirnya yang terluka.
Bersambung...✍️
Pesan Moral : Api dihati membuat asapnya menutupi akal. (By. Author Tenth_Soldier)
sempet mikir kok baik amat manggil nak/Facepalm/