Hidup Kirana Tanaya berubah dalam semalam. Ayah angkatnya, Rangga, seorang politikus flamboyan, ditangkap KPK atas tuduhan penggelapan dana miliaran rupiah. Keluarga Tanaya yang dulu disegani kini jatuh ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Arini—seorang mantan sosialita dengan masa lalu kelam—Kirana harus menghadapi kerasnya hidup di pinggiran kota.
Namun, keterpurukan ekonomi keluarga membuka jalan bagi rencana gelap Arini. Demi mempertahankan sisa-sisa kemewahan, Arini tega menjadikan Kirana sebagai alat tukar untuk mendapatkan keuntungan dari pria-pria kaya. Kirana yang naif percaya ini adalah upaya ibunya untuk memperbaiki keadaan, hingga ia bertemu Adrian, pewaris muda yang menawarkan cinta tulus di tengah ambisi dan kebusukan dunia sekitarnya.
Sayangnya, masa lalu keluarga Kirana menyimpan rahasia yang lebih kelam dari dugaan. Ketika cinta, ambisi, dan dendam saling berbenturan, Kirana harus memutuskan: melarikan diri dari bayang-bayang keluarganya atau melawan demi membuktika
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesta sosialita
Haryo menghela napas, terlihat berpikir. “Baiklah, aku tertarik. Tapi, aku ingin lihat fotonya dulu. Aku nggak akan bayar sebanyak itu kalau hanya berdasarkan kata-kata.”
Mirna tersenyum penuh kemenangan. Ia mengambil ponselnya dan membuka galeri, menunjukkan foto Kirana yang diam-diam ia ambil beberapa waktu lalu. Foto itu menampilkan Kirana dengan wajah polos dan senyum yang begitu menawan.
“Ini dia,” kata Mirna, menyerahkan ponselnya ke Haryo.
Haryo memperhatikan foto itu dengan seksama. Wajahnya berubah menjadi senyum puas. “Cantik sekali. Kamu benar, dia memang spesial.”
Mirna tersenyum licik. “Jadi, bagaimana, Mas? Deal?”
Haryo mengangguk pelan. “Deal. Tapi aku ingin semuanya berjalan rapi. Nggak ada masalah, ya?”
Mirna menepuk dadanya. “Tenang saja, Mas. Aku yang urus semuanya. Kamu cukup siapkan uangnya.”
Haryo berdiri, menyelipkan beberapa lembar uang di atas meja sebagai tanda terima kasih awal. “Baik, aku tunggu kabar selanjutnya dari kamu. Jangan sampai mengecewakan, Mirna.”
Setelah Haryo pergi, Mirna kembali menyesap minumannya dengan senyum penuh rencana. “Kirana, kamu nggak tahu, sayang, betapa berharganya dirimu.”
...----------------...
Malam itu, di ruang tamu yang sederhana, Arini berdiri di depan Kirana sambil memegang gaun berwarna merah anggur yang tampak mahal. Dengan wajah penuh antusias, Arini menyerahkan gaun itu kepada Kirana.
"Ini, pakai ini malam ini. Kamu akan terlihat sangat cantik," ujar Arini sambil tersenyum.
Kirana memandang gaun itu dengan ragu. "Mama, dari mana Mama dapat baju ini? Kita kan lagi nggak punya uang banyak. Kenapa Mama beli barang kayak begini?"
Arini menghela napas panjang, mencoba menahan amarah. "Kirana, ini penting. Mama nggak mungkin pergi ke pesta sosialita dengan membawa kamu pakai baju biasa-biasa saja. Kita harus menjaga penampilan. Apa kata orang nanti?"
"Tapi, Ma..." Kirana mencoba membantah. "Kita butuh uang itu untuk kebutuhan lain. Ini nggak penting, Mama. Kenapa selalu soal apa kata orang? Kita lagi nggak hidup di dunia itu lagi."
"Diam, Kirana!" potong Arini tegas. "Mama tahu apa yang Mama lakukan. Kamu pikir Mama nggak mikirin kondisi kita? Pesta ini penting. Siapa tahu ada peluang buat kita."
Kirana menggeleng frustrasi, tapi ia tahu melawan ibunya hanya akan memperpanjang masalah. "Baiklah, Ma. Aku pakai bajunya. Tapi aku nggak suka cara Mama terus membuang-buang uang untuk hal seperti ini."
"Sudah, jangan banyak ngomong. Cepat bersiap, kita nggak boleh terlambat," ujar Arini sambil meninggalkan ruangan.
Di pesta itu, ruangan penuh dengan cahaya lampu kristal dan tamu-tamu berbusana glamor. Arini tersenyum lebar, menggandeng Kirana dan memperkenalkannya kepada teman-temannya.
"Ini anakku, Kirana," kata Arini bangga. "Baru lulus SMA, cantik, kan?"
Salah satu temannya, seorang wanita paruh baya bernama Vina, menatap Kirana dengan senyum lebar. "Wah, cantik sekali. Mirip model. Anakmu harus sering-sering diajak ke acara begini, Arini."
"Ah, makasih, Vin," jawab Arini, tersenyum lebar.
Kirana berdiri kaku, merasa tidak nyaman dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Ketika beberapa anak seusianya mendekat, ia hanya bisa tersenyum canggung. Dalam hati, ia merasa terjebak di dunia yang tidak pernah ia inginkan.
"Mama, aku merasa nggak cocok di sini," bisik Kirana.
"Tenang saja, semuanya akan baik-baik saja," jawab Arini, seolah tidak peduli dengan kegelisahan putrinya.
Saat Arini sedang berbicara dengan teman-temannya, seorang wanita paruh baya yang anggun menghampiri mereka. Wanita itu adalah Atika, teman lama Arini. Senyum ramahnya menghiasi wajahnya, dan di sebelahnya berdiri seorang pemuda tampan dengan setelan formal yang rapi.
"Arini! Sudah lama sekali tidak bertemu!" sapa Atika hangat, memeluk Arini.
"Atika! Ya Tuhan, aku tidak menyangka akan bertemu kamu di sini," balas Arini dengan nada antusias.
"Ini anakku, Adrian," kata Atika sambil melirik pemuda di sampingnya. "Dia sekarang sudah hampir selesai kuliah hukum, semester akhir. Aku bangga sekali."
Adrian tersenyum sopan, menatap Kirana dengan tatapan ramah. "Selamat malam, Tante," sapanya kepada Arini sebelum menoleh ke Kirana. "Dan ini siapa? Adik Tante?"
Arini tertawa kecil. "Oh, bukan, ini anakku, Kirana. Kirana, kenalkan, ini Adrian, anaknya Tante Atika."
Kirana mengangguk sopan. "Senang bertemu denganmu," ucapnya singkat, agak canggung.
"Senang bertemu denganmu juga, Kirana," jawab Adrian dengan senyum hangat. "Jadi, kamu sekarang sedang apa? Kuliah?"
Kirana ragu sejenak, merasa sedikit malu dengan kondisinya. "Belum... Aku baru lulus SMA. Rencana kuliah masih tertunda untuk sementara."
Adrian mengangguk dengan pengertian. "Oh, aku mengerti. Tidak apa-apa. Terkadang hidup membawa kita ke jalan yang tidak kita duga. Tapi aku yakin kamu punya banyak potensi."
Kirana hanya tersenyum kecil, tidak tahu harus menjawab apa.
Arini, yang memperhatikan interaksi mereka, tersenyum puas. "Adrian ini anak yang luar biasa, Kirana. Dia sudah punya banyak prestasi di bidang hukum. Mungkin kamu bisa belajar banyak darinya."
"Tante terlalu memuji," sahut Adrian sambil tersenyum. "Tapi kalau Kirana mau berbagi cerita atau butuh bantuan, aku selalu bersedia."
Atika, yang melihat interaksi itu, menambahkan, "Adrian memang baik, Kirana. Dia selalu senang membantu orang lain."
Kirana mencoba mengalihkan perhatian dari dirinya. "Terima kasih, Adrian. Aku pasti akan ingat tawaranmu."
Adrian menatap Kirana lebih lama dari seharusnya, seolah ada sesuatu dalam dirinya yang menarik perhatian pemuda itu. "Aku harap kita bisa bertemu lagi di lain waktu. Kamu orang yang menarik untuk diajak bicara."
Saat percakapan hangat antara Adrian dan Kirana terus berlanjut, tiba-tiba ponsel Arini berdering. Ia melihat nama Mirna tertera di layar. Dengan cepat, Arini meminta izin untuk menjawab telepon.
"Sebentar ya," katanya kepada Atika dan Adrian, lalu melangkah menjauh dari keramaian pesta.
Arini menempelkan ponsel ke telinganya. "Halo, Mirna?"
Suara Mirna terdengar penuh semangat di seberang sana. "Rin, kabar baik! Aku sudah dapat pria yang mau menyewa anakmu."
Mata Arini membelalak. "Serius, Mirna? Siapa dia?"
"Namanya Haryo," jawab Mirna. "Dia pengusaha besar, kaya raya. Dia sangat tertarik setelah aku tunjukkan deskripsimu soal Kirana. Dan yang paling penting..." Mirna menurunkan suaranya sedikit. "Dia setuju dengan bayaran yang kita minta—5 miliar."
Jantung Arini berdegup kencang mendengar angka itu. "5 miliar? Benar-benar setuju?"
"Tentu saja," kata Mirna, terdengar puas. "Tapi ada syarat. Besok, Kirana harus menemuinya langsung. Haryo ingin memastikan semuanya sebelum menyerahkan uangnya."
Arini menelan ludah, berpikir cepat. "Baiklah, aku akan pastikan Kirana siap. Tapi bagaimana kalau dia menolak?"
Mirna terkekeh kecil. "Itu urusanmu, Rin. Aku hanya fasilitator. Tugasmu memastikan dia menurut. Ingat, ini kesempatan besar buatmu. Jangan sampai dia menghancurkannya."
Arini mengangguk, meskipun Mirna tidak bisa melihat. "Baik. Aku akan urus. Kirana pasti menurut."
"Bagus," ujar Mirna. "Aku akan kirim detail lokasinya malam ini. Pastikan Kirana terlihat sempurna besok. Haryo suka kesempurnaan."
"Terima kasih, Mirna. Aku tidak tahu harus bagaimana tanpa bantuanmu," kata Arini, matanya berkilat penuh antisipasi.
"Sudah, simpan ucapan terima kasihmu. Yang penting kamu lakukan bagianmu," kata Mirna tegas sebelum menutup telepon.