Hanzel Faihan Awal tak menyangka jika pesona janda cantik penjual kue keliling membuat dia jatuh hati, dia bahkan rela berpura-pura menjadi pria miskin agar bisa menikahi wanita itu.
"Menikahlah denganku, Mbak. Aku jamin akan berusaha untuk membahagiakan kamu," ujar Han.
"Memangnya kamu mampu membiayai aku dan juga anakku? Kamu hanya seorang pengantar kue loh!" ujar Sahira.
"Insya Allah mampu, kan' ada Allah yang ngasih rezeky."
Akankah Han diterima oleh Sahira?
Yuk pantengin kisahnya, jangan lupa kasih bintang lima sama koment yang membangun kalau suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BTMJ2 Bab 15
Hanzel terlihat tidak sabar sekali, saat tiba di hotel dia langsung memesan kamar yang paling mewah di sana. Lalu, pria itu tanpa ragu membawa istrinya ke dalam kamar yang sudah dia pesan tersebut.
"Han, pelan-pelan!"
Sahira begitu kaget karena tiba-tiba saja Hanzel langsung mendorong tubuhnya sampai terlentang di atas tempat tidur, pria itu bahkan dengan tak sabarnya naik ke atas tubuhnya dan mengunci pergerakan kedua tangan dan juga kakinya.
"Ini semua salah kamu, kenapa juga kamu mancing-mancing tadi. Jadinya aku gak tahan," ujar Hanzel yang langsung menunduk untuk mengecup bibir istrinya dengan penuh kelembutan.
Sahira membiarkan apa yang dilakukan oleh suaminya, karena dia memang harus memberikan hak suaminya tersebut. Dua bulan menikah Sahira paham kalau suaminya itu pasti sudah lama menahannya.
"Tapi gak kaya gitu juga," ujar Sahira kala Hanzel mengecup leher jenjangnya dan sesekali menggigitnya.
Lelaki muda itu terlihat sekali tidak sabar ingin segera mengajak istrinya untuk olahraga enak, dia sudah tidak sabar untuk penyerahan keperjakaannya kepada istrinya tersebut.
"Terus kaya mana? Ajarin," pinta Hanzel sambil menatap mata istrinya dengan dalam.
Sahira jadi salah tingkah ditatap seperti itu oleh suaminya, dulu dia memang pernah melakukannya dengan Dion. Namun, hanya pasrah saja dengan apa yang dilakukan oleh pria itu.
Keduanya dulu merupakan pemain amatir, tetapi dulu mereka melakukannya dengan penuh gelora. Dua insan yang sedang dimabuk cinta, melakukannya sampai lupa kalau mereka belum ada ikatan saat itu.
"Aih! Kamu lakuin sendiri aja, sesuai kemauan kamu. Tapi, jangan terburu-buru."
"Oke," ujar Hanzel.
Hanzel mulai mengecupi setiap inci tubuh istrinya, mulai dari leher, dada sampai perutnya. Tentunya dengan tangan pria itu yang tidak bisa diam, tangan itu berusaha untuk mencari titik sensitif dari tubuh istrinya.
"Duh, sakit!"
Awalnya Sahira merasa keenakan ketika Hanzel mulai bermain dengan inti tubuhnya, tapi tidak lama kemudian dia merasakan kesakitan kala Hanzel mulai menelusupkan jari telunjuknya ke dalam sana.
"Ck! Kamu itu perawan atau janda sih? Masa jari telunjuk aja susah masuk?"
"Han, berisik ih! Mau atau tidak? Kalau mau, jangan bahas itu."
"Iya, iya."
Hanzel kembali mencumbui istrinya, sampai istrinya begitu terbuai walaupun apa yang dilakukan oleh Hanzel sangatlah amatir. Tak lama kemudian wanita itu menjerit karena kesakitan kala milik pria itu mulai menerobos masuk ke dalam inti tubuhnya.
"Ya ampun, sepertinya kamu itu berubah kembali menjadi perawan."
Hanzel sempat mengeluh kala dia sudah mulai menyerahkan keperjakaannya, tetapi dia tak menyerah dan berusaha untuk memberikan kepuasan untuk dirinya dan juga untuk Sahira.
Tidak lama kemudian di dalam ruangan itu hanya terdengar suara erangan penuh kenikmatan, keduanya begitu asik berolah raga enak sampai sore hari tiba.
"Ayo pulang, Mas. Ini udah sore banget," ujar Sahira.
Keduanya masih saling memeluk dalam keadaan polos, Sahira begitu nyaman berada di dalam pelukan suaminya. Namun, dia juga begitu merindukan putrinya.
Selain itu, dia takut akan merepotkan Ibu mertuanya. Karena putrinya masih kecil dan pasti mengganggu kegiatan Khadijah yang begitu padat dalam membuat kue.
"Minta sekali lagi boleh gak?"
"No! Masa mesti lagi dan lagi. Ogah! Kaki aku udah gemeteran, punya aku juga sakit banget. Sobek deh kayaknya," ujar Sahira.
Setelah selesai pergulatan sesi pertama, Sahira dan juga Hanzel mandi untuk melakukan shalat dzuhur. Lalu, mereka kembali bergulat dan Sahira harus mandi kembali ketika akan melakukan shalat ashar.
Tentunya olah raga enak yang mereka lakukan tidak sampai di situ, Sahira yang belum sempat membuka mukenanya sudah kembali diserang dengan gelombang kenikmatan dari Hanzel.
Alhasil, kini setelah ketiga kalinya Sahira diberikan kenikmatan oleh suaminya, wanita itu terlihat begitu lemas.
"Ya udah iya, sekarang mandi dulu. Abis itu kita ke tempat umi, jemput Cia sekalian makan malam di sana."
"Itu baru ide yang bagus," ujar Sahira.
Akhirnya keduanya mandi bersama, setelah itu melakukan shalat maghrib berjamaah dan segera pergi ke tempatnya Khadijah.
"Assalamualaikum, Umi."
Khadijah dan juga Cia yang sedang memasak di dapur langsung menolehkan wajahnya ke arah suara, Khadijah tersenyum sedangkan Cia langsung menghampiri Sahira dan juga Hanzel. Lalu, dia memeluk kedua orang tuanya dengan penuh kasih sayang.
"Kirain Ibu gak jemput?"
"Jemput dong, nanti setelah makan malam kita pulang."
"Oke, Cia mau bantu nenek lagi."
Cia langsung memotong sayuran yang sudah dicuci, sedangkan Sahira berjalan untuk menghampiri Khadijah karena ingin mencium punggung tangannya.
"Kamu sakit?" tanya Khadijah setelah Sahira mencium punggung tangannya.
"Nggak, Mi. Sehat kok, kenapa memangnya?"
"Nggak apa-apa sih? Cuma kamu tuh kaya lelah banget gitu, jalannya juga kaya yang kakinya terkilir."
Hanzel langsung tertawa mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya, karena istrinya memang sedang sakit. Namun, bukan sakit yang mengharuskan wanita itu untuk pergi ke dokter.
Sahira sakit karena terus saja diberikan serangan kenikmatan oleh dirinya, maka dari itu saat ini Sahira sampai kesusahan untuk berjalan.
"Bukan sakit, Mi. Cuma itu loh, abis Han--"
"Han!" pungkas Sahira malu.
Wajah wanita itu sampai memerah, malu rasanya kalau sampai Hanzel menceritakan apa yang sudah mereka lakukan seharian ini.
Khadijah tentunya paham, karena walaupun dia sudah lama tidak mendapatkan sentuhan seorang pria, tetapi dulu saat dia baru pertama kali menikah dengan ustadz Arfan, dia juga mengalami hal yang sama.
Dia terkadang sering menghabiskan waktu di dalam kamar, tentunya yang mereka lakukan adalah mencari kenikmatan. Naik ke puncak gunung dengan gaya dan posisi yang berbeda-beda.
"Sudah jangan bikin istri kamu malu, mending bantu Umi kupas buah."
"Siap, Umi. Han akan lakukan," ujar Hanzel.
Dapur tempat Khadijah memasak tentunya terlihat dari tempat pengunjung membeli kue, karena hanya dilapisi dinding kaca saja. Tak jauh dari sana ternyata ada Dion, pria itu sejak tadi memperhatikan apa yang dilakukan oleh Cia dengan neneknya itu.
"Daddy kangen, Nak. Daddy pengen peluk Cia," ujar Dion sambil menatap wajah anak cantik itu dengan penuh rindu.