Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persahabatan Murni
Begitu masuk ke wilayah kampus meninggalkan gerbang depan. Kimber langsung disambut oleh interaksi Dizza dan Levin di meja kantin yang entah membicarakan apa, tetapi yang jelas mereka tampak heboh akan sesuatu dan mereka belum menyadari kehadiran Kimber di belakang mereka. Keduanya memang selalu lengket kalau ada kesempatan pertemuan begini. Apalagi karena Kimber mengambil study yang agak berbeda dari keduanya sehingga kebersamaan mereka jadi sedikit berkurang. Mereka berdua memang tidak pernah luput dari apa-apa tentang Kimber. Mereka adalah definisi orang yang tepat dan sempurna untuk berada disisinya. Berkat mereka berdua pula Kimber jadi bisa berbaur dengan yang lainnya tanpa harus merasa takut lagi. Dia mengagumi Dizza, lantaran gadis itu sangat pemberani dan dia punya nyali yang tinggi. Dia tidak takut untuk melawan bila hal itu berkaitan dengan prinsipnya. Bagi gadis itu mungkin prinsip yang dilanggar orang lain adalah kejahatan hakiki yang harus dieksekusi saat itu juga. Dan Levin disisinya menjadi bagian yang akan membereskan sesuatu yang punya potensi besar untuk menyakiti Dizza bila dia berada dalam kesulitan saat mempertahankan pendapatnya. Mereka berdua sangat bersinar di mata Kimber, dan terkadang di beberapa kesempatan Kimber kadang merasa iri lantaran Levin selalu menaruh atensi lebih kepada Dizza dan di beberapa situasi pun kadang Kimber berandai-andai bahwa dia adalah Dizza sehingga dia punya banyak waktu yang bisa dia habiskan dengan lelaki itu. Tapi itu hanya seandainya karena hal-hal seperti itu tidak akan pernah terjadi.
“Sampai kapan kapan aku harus menunggumu? Belajarlah untuk bangun lebih pagi dan sudah siap ketika aku menjemputmu,” ungkap Levin setengah mengejek Dizza yang memang penampilannya tampak sangat asal hari ini.
Pemudi yang dipisahkan oleh meja kantin itu bersungut. “Diamlah, aku tidak mau dengar pendapatmu tentang itu. Lagipula buat apa kau harus dengan keras-keras mengatakan sesuatu semacam itu. Kau bisa bikin orang salah paham!”
Pria dengan badan yang atletis tersebut pun tidak jauh berbeda dengan gadis di depannya. Dia tampak membiarkan rambutnya yang gondrong sebahu tanpa kunciran. Dia mendecak dan memberi tatapan tidak suka terhadap perkataan Dizza. “Lah memang kenyataannya begitu kan?”
“Bodo amat, pokoknya aku tidak mau dengar apa-apa darimu.”
“Oke baiklah, Dizza. Tapi biar pun kau mencoba menutupinya semua orang sudah tahu kalau kita memang seperti itu. Berhentilah bersikap seolah aku mempermalukanmu hanya karena kita berdua sarapan berdua saja di kantin ini—yang ungkin orang melihat kita sedang sepasang kekasih sedang berkencan.”
“Bodoh!”
“Hei, kau ini! bukannya hal begitu sudah lumrah ya? bahkan terlalu biasa untuk kita berdua. Pertemanan diantara seorang pria dan wanita akan selalu membuat semua orang iri. Dan kita berdua punya misi untuk membuat orang lain semakin ingin seperti kita.” Pemuda itu langsung mengacungkan telunjuknya ke udara yang dibalas dengan delikan sebal Dizza.
“Aku benar-benar tidak habis pikir dengan isi kepalamu.”
“Memangnya kenapa? Sahabat itu cinta yang tertunda.”
“Sekali lagi statement terbodoh yang pernah aku dengar darimu pagi ini.”
Telak, itu mungkin akan sangat menyakitkan untuk didengar oleh Levin. Kimber mendengar semuanya dan meski sedikit enggan dia pada akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan keduanya. Meski kehadirannya barang kali seperti mendeskripsikan roh halus karena tiba-tiba saja datang tanpa mereka duga. Dan faktanya Kimber juga sudah mendengar seluruh percakapan mereka berdua sebelum dia memberanikan diri untuk duduk di samping Dizza. “Sepertinya seru sekali, apa yang sedang kalian berdua bicarakan?” tanya Kimber begitu dia menjatuhkan bokongnya pada kursi.
Dizza sempat terlonjak tetapi tak lama karena senyuman di wajah gadis manis itu langsung menyebar di wajahnya. “Ah, Kimber! Akhirnya aku bisa bertemu denganmu. Sungguh, aku kangen sekali!” kata Dizza yang langsung memeluk Kimber tanpa aba-aba.
Ya, interaksi seperti ini pun sudah menjadi makanan sehari-hari buat Kimber. Dizza memang kadang selalu memperlakukannya dengan cara ini. Gadis itu selalu punya banyak cara untuk membuatnya merasa diakui dan nyaman. Di sebrang Kimber mandapati wajah Levin yang berubah tertekuk.
“Dasar gadis gila!” sebut lelaki itu.
Seketika Dizza melepaskan pelukannya pada Kimber dan memasang muka garang andalan. “Idiot!”
“Apa? siapa yang kau sebut barusan?” Pertahanan malunya semakin runtuh.
“Kau lah siapa lagi. Tidak ada orang yang secocok itu dengan sebutan barusan.”
“Hei, manislah sedikit dengan ucapanmu, Dizza. Kau benar-benar menyebalkan. Harusnya kau bersyukur aku mau menemanimu sejak kecil sampai sekarang. Tabiatmu benar-benar buruk.”
“Aku tidak pernah meminta pun, sekarang aku sudah punya Kimber. Kalau kau tidak ikhlas ya sudah pergi sana. Aku tidak butuh saranmu.”
“Hei kenapa sekarang kau menyinggung soal meninggalkan? Jahat sekali kau! Kimber katakan sesuatu,” ujar Levin yang langsung meminta perotolongan pada satu-satunya yang tenang diantara mereka bertiga saat itu. Ah, ya benar situasi seperti ini memang kadang kerap terjadi. Biasanya Kimber akan dibantu oleh Edzhar tetapi sekarang pemuda itu tidak ada disini bersama mereka, jadinya Kimber hanya bisa menggelengkan kepala dan menghela napas berkali-kali. Mereka berdua memang kadang lengket, tapi juga kadang seperti anjing dan kucing yang bertengkar oleh sesuatu yang tidak penting seperti ini.
“Sudahlah, sudah ya. Kenapa kalian jadi berkelahi begitu. Ini masih pagi dan sebaiknya kita simpan saja energinya untuk belajar dikelas,” kata Kimber yang berusaha menjadi penengah dan pihak netral.
“Kimber, kau selalu memihak pada Levin, kapan kau akan peduli padaku?” tanya Dizza dengan nada manja, dia mengerucutkan bibirnya membuat Kimber hanya tertawa kecil sebagai bentuk balasan.
“Kimber jangan manjakan dia. Melihatnya bersandar padamu membuatku muak,” celetuk Kimber.
Seketika pula Dizza tampak tidak suka dengan itu. “He? Memangnya kenapa biar saja aku melakukan apapun yang aku mau. Kau cemburu?”
“Bodoh, kau malah terlihat semakin menggelikan dengan berkata begitu. Sudahlah, aku mau pergi duluan. Kimber, kau ikut denganku kan? kita punya kelas yang sama. Biar si bocah itu sendirian,” kata Levin sembari bangkit dari tempat duduknya.
Kimber seketika kebingungan, dia tidak pernah mengira bahwa Levin akan berinisiatif untuk mengajaknya pergi duluan seperti ini. Dia melirik pada Dizza setelah melihat arloji di tangannya. Kebetulan sekali memang sebentar lagi kelasnya dimulai. “Kurasa aku memang harus pergi duluan, maafkan aku ya, Dizza,” kata Kimber pada Dizza dengan ekspresi memohon.
Dizza menghela napas, dia memang tidak suka dengan perpisahan. Tapi mau bagaimana lagi, kelasnya masih ada setengah jam lagi. “Ya sudah, pergilah. Aku tidak ingin membuatmu terlambat,”
“Terima kasih.” Kimber langsung menyusul Levin di depannya.
Dizza melihat punggung kedua temannya semakin menjauhinya. Senyum menyebar di wajah, melihat keduanya berjalan bersama. “Senang melihatnya,” kata Dizza.
Pertengkaran konyol dan juga berlebihan diantara mereka memang sudah bagian dari dinamika keseharian mereka berdua. Semu aini membuktikan bahwa pertemanan perempuan dan laki-laki tidak berhasil itu mungkin bisa dipatahkan oleh mereka berdua. Jika ada rasa yang tidak pernah harus ada pun, Dizza yakin bisa mengatasinya dan membuangnya jauh-jauh. Menurutnya, persahabatannya dengan Levin adalah jenis persahabatan murni.
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱