NovelToon NovelToon
Jejak Takdir Di Ujung Waktu

Jejak Takdir Di Ujung Waktu

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Konflik etika / Pengantin Pengganti / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: Musim_Salju

Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.

Yuk ikuti cerita selanjutnya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7: Titik Temu di Persimpangan

Pagi itu, Zahra merasa semua mata tertuju padanya. Langkahnya terasa lebih berat dari biasanya saat ia menuju aula pesantren untuk mengikuti kajian pagi. Isu tentang kedekatannya dengan Gus Zidan sudah mulai menyebar, meskipun tidak ada yang berani menyebutkannya secara langsung.

Di sisi lain, Maya memanfaatkan situasi itu untuk memperkuat posisinya. Ia dengan sengaja duduk di barisan depan aula, memastikan semua orang melihat bahwa ia adalah sosok yang paling cocok mendampingi Zidan. Setiap gerak-geriknya mencerminkan kepercayaan diri dan klaimnya sebagai calon pasangan Zidan.

Zahra, yang duduk di barisan tengah, mencoba fokus pada kajian. Namun pikirannya terusik oleh berbagai tatapan dan bisikan halus di sekitarnya. Ia tahu, kehadirannya kini menjadi pusat perhatian.

Sementara itu, Zidan berbicara dengan Ummi di ruang keluarga. Ia ingin meyakinkan orang tuanya tentang perasaannya terhadap Zahra, meski ia tahu jalan ini tidak mudah.

"Abi sudah memberimu waktu, Zidan," ujar Ummi lembut. "Tapi kamu harus memahami bahwa hubungan ini tidak hanya tentang cinta. Ini juga tentang amanah yang harus kamu emban sebagai anak seorang pemimpin pesantren."

Zidan mengangguk pelan. "Saya mengerti, Ummi. Tapi bukankah amanah itu juga berarti memilih seseorang yang benar-benar bisa mendampingi saya dalam perjalanan ini?"

Ummi tersenyum tipis. "Betul, Nak. Tapi ingatlah, keputusan ini tidak hanya akan memengaruhi kamu, melainkan juga nama baik keluarga kita dan pesantren ini."

Zidan terdiam. Kata-kata Ummi selalu penuh kebijaksanaan, meski terkadang sulit diterima.

Selepas kajian, Zahra memutuskan untuk berjalan sendirian ke taman belakang pesantren, tempat yang sering ia kunjungi saat ingin menenangkan diri. Angin sepoi-sepoi mengiringi langkahnya, memberi sedikit rasa nyaman di tengah kegelisahannya.

Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika Maya muncul di hadapannya. Kali ini, Maya tidak datang sendirian. Dua orang santriwati yang dikenal dekat dengannya berdiri di belakang, seperti pendukung setia.

"Zahra," sapa Maya dengan senyum tipis yang tidak tulus. "Boleh kita bicara lagi sebentar?"

Zahra menatap Maya dengan hati-hati. "Tentu, Ning."

Maya melangkah mendekat, memandang Zahra dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Aku hanya ingin memastikan satu hal. Kamu tahu, kan, siapa dirimu? Dan siapa aku?"

Zahra mengangguk, mencoba tetap tenang. "Saya tahu, Ning."

"Bagus," Maya melipat tangan di dadanya. "Kalau begitu, aku harap kamu sadar bahwa tidak ada tempat untukmu di sisi Zidan. Kamu hanya seorang santriwati biasa. Sedangkan aku..." Maya berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara. "Aku adalah calon pendampingnya yang telah dipilih keluarganya."

Zahra menunduk, kata-kata itu menyengat hatinya. Tapi ia tahu, berdebat hanya akan memperkeruh keadaan.

"Maafkan saya, Ning. Saya tidak pernah berniat mengambil apa pun dari Anda," ucap Zahra dengan suara rendah.

"Tapi tindakanmu sudah cukup untuk menciptakan kekacauan," Maya memotong tajam. "Jika kamu benar-benar tidak berniat apa-apa, buktikan. Pergilah dari pesantren ini."

Mata Zahra melebar. Permintaan itu terasa seperti petir di siang bolong.

"Saya... saya tidak bisa pergi begitu saja, Ning," jawab Zahra pelan.

"Kamu harus pergi, Zahra," Maya mendekat, tatapannya menusuk. "Jika tidak, aku yang akan memastikan kamu pergi, dengan cara apa pun."

Di tempat lain, Zidan sedang duduk bersama Abi Idris di beranda rumah. Mereka berbicara tentang rencana masa depan pesantren, tetapi pembicaraan itu segera beralih ke topik Zahra.

"Zidan, kamu yakin Zahra bisa mendampingi kamu?" tanya Abi sambil menyeruput teh hangatnya.

Zidan mengangguk tanpa ragu. "Abi, Zahra adalah orang yang memiliki hati yang tulus dan kecerdasan yang luar biasa. Saya percaya dia bisa menjadi pendamping yang baik, bukan hanya untuk saya, tapi juga untuk pesantren ini."

Abi menghela napas panjang. "Tapi kamu tahu, nak Maya tidak akan tinggal diam. Dia dan keluarganya adalah bagian dari jaringan besar yang mendukung pesantren kita."

"Saya tahu, Abi," Zidan menunduk, suaranya penuh tekad. "Tapi saya juga tahu bahwa kejujuran dan kebenaran harus menjadi prioritas utama, bukan hanya koneksi atau keuntungan."

Abi tersenyum kecil. "Kamu benar, Nak. Tapi jalan ini akan sangat sulit."

"Saya siap menghadapi apa pun, Abi," jawab Zidan tegas.

Malam itu, Zahra duduk di kamarnya, memikirkan kata-kata Maya. Tekanan yang ia rasakan semakin besar, tetapi di dalam hatinya, ada keyakinan bahwa ia tidak bisa menyerah begitu saja.

Ia mengambil mushaf Al-Qur'an kecil di mejanya dan membukanya. Bacaan ayat-ayat suci itu memberinya ketenangan yang tak tergantikan.

"Ya Allah," bisiknya dalam doa, "jika ini adalah ujian-Mu, maka kuatkanlah aku. Jangan biarkan aku menyerah pada ketakutan atau tekanan manusia."

Di luar kamar, Zidan berdiri diam, mendengar suara Zahra yang lirih memanjatkan doa. Hatinya semakin mantap bahwa Zahra adalah orang yang ia cari selama ini.

Esok paginya, Zidan memutuskan untuk bertemu dengan Maya. Ia tahu, ini adalah langkah yang harus ia ambil jika ingin menyelesaikan semuanya dengan baik.

Maya menerima kedatangan Zidan dengan senyum penuh harapan. Ia yakin bahwa Zidan akhirnya akan kembali kepadanya.

"Ning Maya," Zidan memulai, suaranya tenang tetapi tegas. "Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting."

"Tentu, Gus," Maya menjawab, tatapannya penuh keyakinan.

Zidan menatapnya dalam-dalam. "Aku tahu hubungan kita sudah lama direncanakan oleh keluarga. Tapi aku harus jujur, aku tidak bisa melanjutkan ini."

Senyum Maya perlahan memudar. "Apa maksudmu?"

"Aku mencintai Zahra," Zidan berkata tanpa ragu. "Dan aku ingin memperjuangkan hubungan itu, meski harus melewati banyak rintangan."

Maya terdiam, wajahnya berubah pucat. "Gus serius?"

Zidan mengangguk. "Aku minta maaf jika ini menyakitkan. Tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku, atau membuatmu menunggu sesuatu yang tidak akan pernah terjadi."

Maya mengepalkan tangannya, matanya berkaca-kaca. "Gus, kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan. Keluargaku tidak akan tinggal diam."

"Aku siap menghadapi konsekuensinya, Ning," Zidan menjawab dengan mantap. "Aku harap kamu bisa menerima ini dengan lapang dada."

Maya berdiri, air matanya mengalir. "Kamu akan menyesali ini, Gus. Aku janji."

Zidan hanya bisa menatap Maya pergi dengan hati berat. Ia tahu, langkah ini akan membawa badai baru dalam hidupnya.

Pada bab ini membawa Zidan dan Zahra ke persimpangan besar dalam hidup mereka. Dengan Zidan yang telah mengambil sikap, bagaimana Maya akan merespons? Dan apakah Zahra siap menghadapi konsekuensi dari keputusan Zidan?

To Be Continued...

1
Jumi Saddah
👍👍👍👍👍👍👍👍👍
Berlian Bakkarang
nyai siti istri seorang kiyai tp bermulut pedas krn menghina zahra katax orang muskin segala
Nanik Arifin
waoow, dalam pesantren ternyata seperti dunia bisnis. ada lobi", ada persekongkolan, ada perebutan kedudukan, intimidasi/tekanan dll
Nanik Arifin
kog jadi ada nama Kyai Ridwan sebagai ortu Ning Maya ? Kyai Mahfud apanya Ning Maya ?
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
Nanik Arifin
seorang Ning ( putri kyai ) melakukan intimidasi demi seorang lali" atau bahkan demi sebuah keangkuhan, bahwa dirinya putri seorang kyai. waoow....
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??
Musim_Salju: benar banget kak, adab lebih tinggi dari pada ilmu, dan minusnya sekarang banyak yang tidak memperhatikan adab itu sendiri
Musim_Salju: Dunia sekarang banyak yang seperti itu kak, hanya saja tertutup dengan kebaikan yang dilakukan di depan banyak orang. Pengalaman pribadi saya sebagai seorang pendidik, sikit menyikut dan menjatuhkan saja ada
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!