Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15 - Malam Panjang
Pria jangkung itu hanya mengenakan handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Tuan Minos baru saja keluar dari bak mandi, sisa-sisa air masih mengaliri lekuk tubuhnya. Terlihat begitu menggoda.
Tubuh kekar dengan perut kotak-kotaknya pun nampak memesona. Rambut gondrong hitam pekatnya masih basah. Cocok dengan rahang tegas yang membingkai wajahnya.
Tapi sayangnya, Tuan Minos masih belum mengizinkan atau mungkin belum siap jika Naina tahu hal ini. Tentang perubahan wujudnya yang hanya bisa terjadi setelah berendam dengan bunga mawar biru.
“Berdiri dengan lututmu!” Tangan dengan urat-urat yang menonjol menekan kepala Naina, menyuruhnya untuk setengah berdiri.
Naina melakukan sesuai perintah tanpa banyak bertanya. Lututnya sudah beradu dengan lantai dingin yang sedikit basah. Jantung di dalam sana kian memompa kencang.
Pikirannya mulai kalut. Buntu dan menghitam. Masih tidak tahu apa maksud dari ‘permainan panas’ yang dikatakan Tuan Minos sebelumnya.
“Apa kita akan melakukannya malam ini, Tuan?” Naina bertanya dengan mulut bergetar, pertanyaan itu terus terlintas dalam benak.
Tuan Minos menyunggingkan sebelah sudut bibirnya. Tubuh tingginya membungkuk, wajahnya sudah berhadapan dengan wajah gadis di depannya. Deru napasnya menyapu paras Naina, hangat bercampur bau mint.
Sambil menyentuh dagu Naina dengan jari telunjuk, Tuan Minos balik bertanya, “Menurutmu bagaimana?”
Air liur menuruni kerongkongan susah payah, Naina tidak dapat menjawab apa-apa. Juga masih belum mengerti situasi dan posisinya saat ini seperti apa.
“Baiklah. Tugasmu cukup diam dan pasrah saja setiap menerima sentuhan dariku. Aku tidak suka penolakan, jadi kamu tidak boleh berontak. Nikmati dalam diam dan jangan berisik!” ujar Tuan Minos memperingati sebelum semuanya dimulai.
“Ta-tapi, Tuan— sssh!”
Naina belum sempat menyelesaikan ucapannya, tubuhnya lebih dulu memberi reaksi ketika mendapat sentuhan aneh yang dirasakan. Matanya melotot dibalik kain penutup tatkala dress yang membalut tubuhnya ditarik paksa oleh Tuan Minos.
“Tuan, aku—”
Mulutnya dibungkam oleh telapak tangan yang nyaris menutupi seluruh permukaan wajah Naina. Tuan Minos nampaknya sudah dikuasai napsu, napasnya memburu dengan dada yang kembang kempis.
“Apa kamu tuli? Jangan berisik! Cukup nikmati saja apa yang aku lakukan!” tegasnya sebelum menarik kasar lengan Naina dan membantingnya ke atas kasur.
Menahan suaranya agar tidak lolos, Naina menggigit kuat-kuat bibirnya. Tapi ia sulit menahan air matanya yang terlanjur berjatuhan, membasahi kain penutup mata. Sebagian menuruni pelipis dan telinganya.
Saat tangan-tangan besar itu mulai menjamah secara kotor, membuat dress hitam pilihannya lepas dari tubuhnya. Dan selama itu berlangsung, Naina hanya bisa diam dengan jerit tangis yang tertahan.
Meskipun dirinya tahu ini adalah hubungan wajar yang dilakukan antar suami istri, tapi Naina merasa dirinya sedang dinodai dan dilecehkan. Sejak pertama kali menginjakkan kaki, Naina belum pernah diperlakukan dengan baik, bahkan menghargai sebagai istri saja rasanya tidak bisa dilakukan pria itu.
Sebenarnya Tuan Minos mencari wanita untuk dijadikan pembantu dan memenuhi kebutuhan biologisnya saja atau memang berniat dijadikan istri? Opsi pertama rasanya menjadi jawaban paling masuk akal setelah semua ini terjadi.
“Buka mulutmu!” perintah Tuan Minos sesaat setelah memberi tepukan pada pipi Naina.
Gadis itu sempat terkesiap, lamunannya buyar. Kembali merasakan sentuhan-sentuhan menjijikan di bawah sana.
Dan ketika mulutnya sudah terbuka, benda menggeliat masuk secara paksa ke dalam untuk menari-nari. Detik itu juga dugaan Naina banyak terpatahkan.
Kenapa sedikit pun tidak tercium bau busuk? Juga kenapa tekstur dari permukaan wajah dan bibir pria itu amat berbeda dengan apa yang selama ini dilihat? Dibanding menikmati panggutan dan lumatan yang diberikan Tuan Minos, pikiran Naina berkutat pada pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Detik jam terus berputar, menit ke menit, jam ke jam, tak terasa permainan panas di atas ranjang yang lebih seperti sedang ‘mengawini’ secara paksa masih terus berlanjut tanpa ada jeda sedikitpun.
Tuan Minos menggila. Dia melakukan semua yang selama ini tertahan dan terpendam dengan brutal. Tak peduli gadis di bawah kungkungannya terus merengek dan meringis dalam tangis.
Ruangan lembap terasa hangat karena tungku perapian dibiarkan terus menyala, sekaligus menjadi saksi bisu atas erangan yang saling bersahutan. Lenguhan yang tercipta menandingi suara gemerutuk api yang setia menemani. Siluet pergerakan mereka tergambar pada permukaan dinding yang lembap dan dingin.
Semakin lama, Naina tidak lagi bersuara meski jika itu hanya erangan. Kesadarannya berada di ambang batas. Sekujur tubuhnya mati rasa. Bahkan ia sudah tak lagi mendengar suara apapun. Tapi cairan bening terus meluruh dari pelupuk mata.
Tuan Minos menggelak tawa puas, menatap tubuh Naina yang tertelungkup tak berdaya amat memilukan. Tapi gilanya, justru hal itu semakin membuatnya menggebu-gebu dan tetap ingin melanjutkan meskipun kondisi Naina sudah tak memungkinkan.
“Maaf, tapi ternyata melakukan hal seperti ini begitu menyenangkan,” gumamnya seraya mencetak seringaian kejam.
***
Pagi telah menjemput. Sebelum mengantarkan Naina yang masih belum sadarkan diri ke kamarnya, Tuan Minos sudah membersihkan tubuh gadis tersebut.
Setengah jam setelah menyelesaikan ‘permainan panas’ di ranjang, Tuan Minos berkutat dengan pikirannya sendiri. Bertanya-tanya, apakah yang dilakukannya barusan benar atau salah. Tuan Minos tidak tahu. Sebab ini pengalaman pertamanya.
Tepat sebelum fajar merekah, dengan kondisi tubuh yang masih nampak sempurna dan rupawan, Tuan Minos membawa Naina ke dalam gendongan dengan penuh hati-hati.
“Sepertinya Tuan terlalu berlebihan,” celetuk Tora yang ternyata ikut mengantarkan gadis itu ke kamarnya.
Tuan Minos menarik pandangannya dari Naina yang sudah dibaringkan ke atas kasur, menatap Tora sambil mengangkat bahu. Lalu sempurna membalik badan dan mulai beranjak keluar ruangan.
“Mau bagaimana lagi? Aku sudah menanti hal ini sejak lama. Sejak pertama kali aku menjadi lelaki dewasa sungguhan. Bayangkan beribu tahun ini aku tersiksa karena harus menahannya. Aku pikir dengan mendapat kutukan sialan itu, sampai mati pun aku tidak akan pernah bisa merasakannya,” cerocos Tuan Minos tanpa menghentikan langkah kakinya.
Kaki panjangnya terus melaju, melintasi lorong dengan sinar mentari yang menerabas masuk melalui kaca jendela. Perlahan tubuh normalnya kembali berubah seiring dengan cahaya matahari yang menyorotnya.
Kulit mulus putih bersih, tampang rupawan, rambut gondrong hitam mengkilap, semua itu sirna seketika. Berganti dengan wujud monsternya yang mengerikan dengan bau busuk yang menyebar ke mana-mana.
Sebenarnya apa yang membuat pria itu menanggung sebuah kutukan? Dan siapa yang sudah mengutuknya? Lalu, apa yang bisa mematahkan kutukannya?
Tuan Minos dengan sejuta misteri yang dirangkulnya dan sejuta kepingan luka tanpa jemu membalut tubuhnya. Sejauh ini jawaban masih belum ditemukan. Tapi apakah mungkin kehadiran Naina di sini menjadi salah satu upaya untuk melepaskan kutukannya?
“Hei, Tora,” panggil Tuan Minos tiba-tiba, langkah kakinya terhenti. Tahu gagak itu masih membuntuti dari belakang.
Membalikkan setengah tubuh seraya menoleh pada gagak tersebut, Tuan Minos berbicara kembali, “Tepat pada malam ke-100 gadis itu berada di sini, buatlah ritual di menara kastil. Aku ingin membuktikan soal kutukan ini. Apakah selama ini memang kutukan yang kuterima bisa dipatahkan atau tidak.”
Tora memiringkan kepalanya, tampak kebingungan. “Tapi Tuan, bukankah sebelum melakukan itu seharusnya Tuan memastikan agar Naina benar-benar—”
Tuan Minos menyerobot secepat kilat, tidak mau mendengar pertanyaan dari gagak itu, “Jika dia bisa bertahan sampai selama itu, bukankah jawabannya sudah jelas?”
Mendengarnya, Tora membatu. Tidak dapat mengatakan apa-apa lagi. Percuma, karena Tuannya itu tampaknya begitu naif. Terlebih dia punya perspektif sendiri mengenai cinta dan kutukan.
***