Alisa, harusnya kita tidak bertemu lagi. Sudah seharusnya kau senang dengan hidupmu sekarang. Sudah seharusnya pula aku menikmati apa saja yang telah kuperjuangkan sendiri. Namun, takdir berkata lain. Aku juga tidak mengerti apa mau Tuhan kembali mempertemukan aku denganmu. Tiba-tiba saja, seolah semua sudah menjadi jalan dari Tuhan. Kau datang ke kota tempat aku melarikan diri dua tahun lalu. Katamu,
ini hanya urusan pekerjaan. Setelah kau tamat, kau tidak betah bekerja di kotamu. Menurutmu, orang-orang di kotamu masih belum bisa terbuka dengan perubahan. Dan seperti dahulu, kau benci akan prinsip itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gregorius Tono Handoyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lelaki kesepian dan gadis pinggir muara part 1
Kau masih ingat? Kita pernah sama-sama menikmati malam yang konyol. Kau baru saja kabur meninggalkan rumahmu. Karena kau menolak menuruti keinginan ayah ibumu. Kau tidak suka kepada mereka yang menurutmu tak pernah menganggapmu dewasa. Kau benci pada sikap mereka yang selalu memaksakan kehendak. Meski sejujurnya kau akui, tidak ada manusia di dunia ini yang lebih kau cintai selain ibu dan ayahmu sendiri. Kau hanya kesal karena sikap berlebihan mereka. Iya, menurutmu sikap orangtuamu berlebihan.
Sedangkan aku. Malam itu aku baru saja melepaskan diri dari status berpacaran. Dan, memilih menjadi lelaki kesepian. Aku sebenarnya ingin tertawa dengan julukan baru itu. Ya, lelaki kesepian! Itu julukan yang diteriakan oleh perempuan yang beberapa jam lalu. masih menjadi kekasihku.
"Kau akan menjadi lelaki kesepian seumur hidup!" dengan emosi dia menyumpahiku.
Aku hanya tersenyum, lalu tertawa. Sebelum akhirnya meninggalkan dia di pinggir jalan. Kurang ajar? Ah, jika kau pikir meninggalkan kekasih yang tidak tahu diri adalah hal yang kurang ajar, barangkali kau akan menjadi kurang ajar seumur hidupmu.
Aku meninggalkannya di pinggir jalan bukan tanpa alasan. Dia yang meminta turun, hanya karena persoalan sepele. Aku jenuh dengan sikap egoisnya, aku jenuh dengan sikap manjanya yang berlebihan. Kalau bicara aku tidak sayang padanya, mungkin. waktu dua tahun berpacaran, sudah lebih dari cukup aku menyabarinya. Namun, apa yang aku dapat? Dia seperti anak kecil yang berpikiran sangat kecil.
Bagaimana tidak. Kami masih berpacaran, dia meminta hal yang sebenarnya bukan kewajiban orang berpacaran. Kau pikir saja. Gajiku sebulan hanya dua jutaan. Ya, aku memang pegawai biasa, yang upah kerjaku tidak sampai sebesar gaji anggota dewan di Negara ini. Bahkan tidak sampai setengah tunjangan telepon bapak pejabat itu. Namun, kupastikan itu adalah hakku sepenuhnya. Itu uang hasil kerja kerasku.
Gaji dua jutaan itu, sesekali kadang berlebih dan kelebihannya itu kutabung. Tujuanku menabung tentu untuk urusan serius. Kupikir, waktu dua tahun sudah lebih dari cukup untuk mempersiapkan hubungan yang serius. Aku ingin menikahi kekasihku. Dan, sebenarnya secara umum, setiap lelaki dewasa berpacaran pasti ingin menikahi kekasihnya. Kecuali lelaki dewasa yang belum berpola pikir dewasa, bisa jadi dia hanya ingin main-main, atau mempermainkan.
Setahun sudah aku menabung. Kau tahu, kekasihku yang kini sudah menjadi mantan itu, malah memintaku membongkar tabunganku, hanya untuk membelikan dia gadget terbaru yang harganya tiga bulan gajiku. Aku tidak menolaknya. Aku ingin membelikannya. Siapa sih lelaki yang tidak ingin kekasihnya bahagia? Namun, lelaki juga butuh perempuan yang bisa merencanakan keuangan dengan baik. Uangku toh juga akan menjadi uangnya nanti setelah kami menikah.
"Kita tabung saja uangnya, ya. Kamu masih bisa pakai gadget-mu yang sekarang Padahal, baru dua bulan lalu dia ganti gadget. Dan, itu masih sangat bagus. Aku saja, betah bertahan dengan ponselku yang sudah setahun tak kuganti. Bukan karena pelit. Bagiku, memakai sesuatu harus ada manfaatnya. Kalau sekadar buat gaya hidup, aku tidak terlalu peduli. Karena ketika kita mengikuti gaya hidup orang lain, kita tidak akan pernah puas. Seperti mantan kekasihku itu.
Akhirnya malam itu, dia seolah mencari kesalahan- ku. Dia mengungkit kalau aku sering lupa mengabari- nya saat sibuk bekerja. Dia merasa tidak diperhati- kan. Segala hal yang sebenarnya sepele dibuatnya
seolah-olah itu masalah besar. Saat aku mencoba menenangkannya, dia malah memojokkanku dengan kalimat yang sebenarnya tidak dewasa sama sekali.
"Jadi, bagimu itu masalah sepele?" Emosinya meluap.
Sungguh. Kalau kau tanya apakah aku sayang padanya? Aku adalah orang yang sangat. menyayanginya. Aku menghabiskan dua tahun dengan tabah menghadapinya. Aku mengikuti apa saja yang dia mau. Sampai beberapa kali aku harus meminjam uang kepada teman kantorku untuk memenuhi hasrat belanjanya. Ini aibku memang. Bukan karena aku tidak punya uang lebih. Namun, sebanyak apa pun uang tidak akan pernah cukup untuk nafsu belanjanya yang berlebihan.
Setelah dua tahun. Aku pikir dia akan berubah, aku pikir dia akan menjadi perempuan yang memikirkan masa depan kami. Namun, ternyata tidak sama sekali. Dia tetap menjadi perempuan yang konsumtif. Tidak punya keuangan yang baik. Akhirnya aku menyerah. Mungkin benar kata ibuku, "perempuan yang baik untuk dijadikan istri, bukan perempuan yang pintar mencari duit. Tapi perempuan yang pintar mengatur laju duitmu, meski sedikit."
Akhirnya aku memang berani melepaskannya. Aku bahkan tak tersentuh lagi melihat air matanya. Barangkali itulah puncak tertinggi dari rasa bosan.
Lelaki. Saat hatinya sama sekali tidak tersentuh melihat air mata perempuan yang menjadi kekasihnya.
Malam itu aku pergi ke tepi jembatan ini. Tempat kita bertemu, entah ini kebetulan atau tidak. Aku duduk di pinggir jembatan menghadap muara. Ah, aku memang suka memandang air muara kalau sedang bermasalah begini. Entahlah, meski terasa lega. Tetap saja aku sedih melepasnya. Bagaimana pun dua tahun belakangan dialah yang menemaniku. Meski kadang aku kesal, meski kadang aku harus memendam amarahku. Hanya untuk membuat dia tetap nyaman. Menekan egoku, agar kami tidak bertengkar. Tetap saja, meski lega aku tetap merasa bersalah menyakitinya.
Namun, itulah pilihan. Apa yang telah aku pilih. Sudah selayaknya aku nikmati apa pun risikonya. Meski aku akan dibencinya. Aku harus siap. Dan, kalau pun meninggalkan kekasih di pinggir jalan itu berdosa. Aku pun harus menerima. Tidak apalah, toh sudah kejadian. Sekarang aku sudah bebas lagi. Aku hanya perlu membuka hati lagi. Memang aku membuat semua terkesan mudah. Namun sebenarnya, tidak semudah itu. Hanya saja, sebagai lelaki aku tidak ingin berlarut sedih atas segala hal yang telah sudah.
Kita duduk berdua menghadap muara. Tidak ada sepatah kata pun. Kita hanya saling diam menatap riak air yang tenang. Seperti amarah yang disembunyikan kesabaran. Meski di bawah riak itu ada arus yang deras. Namun, permukaannya tetaplah tenang. Entah kenapa saat menatap riak air itu, aku merasa akulah muara yang selama ini menjadi sabar untuk mantan kekasihku. Pada akhirnya, setenang apa pun terlihatnya riak muara, ia akan tetap menghanyutkan.
"Kau tidak ingin kembali padanya?" tanyamu.
"Tidak. Aku tidak ingin mengulangi kebodohan yang sama.
"Lalu, jika aku pulang ke rumah. Itu menurutmu artinya aku mengulangi kebodohan yang sama?" Suaramu terdengar sedih.
Sungguh, sebenarnya masalahmu tidak bisa disamakan dengan masalahku. Aku punya masalah dengan kekasihku. Mantan kekasihku. Orang yang hanya kenal denganku saat aku sudah dewasa. Saat aku sudah bisa memberikan sesuatu untuknya. Sedangkan kau bermasalah dengan orangtuamu. Orang yang membawamu hadir ke bumi ini. Dia yang mengenalkanmu pada warna-warna. Yang mengajarkanmu cara berbicara. Yang membelamu saat kau dijahili teman-teman sebayamu. Meski pada akhirnya, kau merasa mereka menjadikanmu seperti robot atas kemauan mereka.
"Untuk urusan orangtua dan anak tidak ada hubungannya dengan kebodohan.