NovelToon NovelToon
Young & Free

Young & Free

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Rucaramia

Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Split Moment

Setelah kejadian semalam, seperti biasa Levin kembali mampir ke kediamannya dalam rangka menjemputnya untuk ke kampus bareng. Pemuda itu melakukannya memang karena hal itu seperti sebuah kewajiban dan buat Dizza itu adalah sebuah berkah sendiri. Dia jadi bisa menghemat budget untuk naik kendaraan umum, dan sebagai gantinya kadang Dizza memberikan pria itu makan siang untuk ganti ongkos. Untungnya kejadian semalam seolah tidak terjadi, dan seperti yang di sarankan oleh Levin hari ini Dizza juga membungkus kue buatannya untuk diberikan kepada Edzhar. Memang sangat disayangkan karena kue ini menginap di kulkasnya semalam dan bukan kue yang fresh. Tapi dia ingin hasil usahanya tetap di rasakan oleh lelaki itu walaupun sudah lewat hari ulangtahunnya.

Sepanjang perjalanan mereka ke kampus Dizza terus saja mengoceh tanpa henti, dia menceritakan berbagai hal, beberapa tentang kisah masa lalu mereka berdua yang punya kaitan dengan Edzhar. Sementara Levin mendengarkan di depan, fokus mengendari kuda besinya di jalanan dan sesekali menanggapi meskipun bentuknya hanya kalimat pendek seadanya.

“Hei, kau masih marah padaku ya?” tanya Dizza hati-hati karena dia merasa meskipun Levin mencoba untuk bersikap biasa saja, Dizza bisa merasakan ada yang tidak beres pada sikap lelaki itu pagi ini. Kebetulan mereka terhenti di depan rambu lalulintas yang sedang berwarna merah dan saat itulah Levin berbalik untuk sekadar mendelik pada Dizza. “Maafkan aku ya, please… jangan diamkan aku begini. Aku jadi tidak betah loh.”

“Aku tidak marah kok,” sahut Levin yang kembali membawa kepalanya ke depan dan melirik ke arah lampu lalulintas. Tetap siaga sampai benda itu berubah warna menjadi warna hijau.

“Masa?”

“Aku tidak marah, Dizza. Sungguh,” kata Levin lagi.

“Terus kenapa beda?” tuntut Dizza.

Levin menghela napas, untungnya lalulintas kembali berjalan. Suara klakson dari belakang membuat Levin segera memacu kuda besinya melaju kembali. Moment yang dia syukuri sehingga dia punya waktu untuk memberikan jawaban yang lebih baik dari pada sekadar celetukan tidak bertanggung jawab yang mengganggu isi kepalanya. Dan untungnya lagi Dizza menutup mulutnya, dia tidak lagi memaksanya untuk bicara. Malah dia terdiam seolah menunggu jawaban dari Levin secara tuntas.

“Kenapa beda?” setelah jeda yang berlangsung lama dan setelah jeda yang Levin pikir Dizza melupakannya rupanya perempuan itu masih saja menuntut jawaban.

“Tidak ada apa-apa,” sahut Levin.

Tiba-tiba saja perempuan itu mencubit pinggangnya. “Aw!” Levin mengaduh kesakitan.

“Jawab yang betul, aku sedang serius,” kata Dizza lagi.

“Kita bisa celaka kalau tiba-tiba menyerangku begitu,” timpal Levin sedikit berteriak tetapi dia masih bisa mempertahankan keseimbangan dan mereka masih melaju menuju ke kampus.

“Habisnya kau bersikap aneh. Kau pikir aku mengenalmu satu dua hari? kita sudah tumbuh bersama sejak kecil. Jadi aku tahu kalau ada sesuatu.”

Senyum samar muncul dari bibir Levin, meski Dizza tidak bisa melihatnya karena dia memakai helm full face sekarang.

“Tidak apa-apa Dizza, aku sungguhan berkata begitu. Kenapa kau suka sekali membuat segalanya jadi terdengar rumit? Aku hanya kepikiran soal semalam. Kau menangis ya?” tanya Levin yang seketika membuat pegangan tangan Dizza pada bagian pinggang lelaki itu mengerat. Lebih tepatnya pada jaketnya karena Dizza memegang jaketnya saat itu.

“Kenapa kau membawa yang semalam? Aku baik-baik saja? nih lihat aku tidak menangis sekarang,” sahut Dizza riang.

“Iya, aku tahu kau memang strong woman sih,” timpal Levin.

Dizza menepuk lengan Levin. “Bicaramu aneh sekali sih, kurasa kau sedang mencoba menyembunyikan sesuatu dariku.”

“Ngawur!”

Perlu waktu setidaknya setengah jam barulah mereka sampai ke tempat tujuan. Levin segera membelokan motornya dan memasuki area parkir kampus. Setelah memarkirkannya disana. Dizza turun dari motornya, lalu selanjutnya dia sendiri yang mereka berdua kemudian mulai memasuki area kampus bersama.

“Hei, tuh ada Edzhar,” ujar Levin sambil menyikut lengan atas sahabat tersayangnya.

“Eh kau benar! Kalau begitu ayo kita kesana!” kata Dizza penuh semangat.

“Aku tidak, kau saja yang berikan. Lagipula itu kan hadiah darimu. Aku takut kau jadi batu kalau aku ada disitu.”

“Batu apa? memangnya kau medusa?”

“Berisik, sudah sana dekati dia dan selesaikan urusanmu!” ujar Levin sambil mendorong Dizza untuk meninggalkannya. Dizza sempat tertawa kecil sebelum akhirnya langkah kakinya mulai menjauh dan mendekati Edzhar yang sedang duduk di kursi taman kampus sendirian. Levin tersenyum tipis, lalu dia sendiri menuju ke direksi yang lain. Dia tidak tertarik menjadi penonton untuk sekarang.

***

Air sisa embun semalam masih membasahi bangku besi tempa yang saat itu sedang Edzhar duduki, sebagian meresap pada celana jeans yang dia kenakan tetapi lelaki itu tampak tidak begitu peduli. Basah dan dingin tidak dapat menggapai hatinya sebab ada rasa lain yang begitu menusuk disana. Dadanya ngilu dan diserbu cemburu— sesuatu yang tiba-tiba hinggap padanya ketika dia menyaksikan Dizza dan Levin bersama. Dari gerak gerik mereka yang saling bercanda ria di pelataran parkir membuat hatinya agak panas. Melihat kebersamaan dua orang yang penting baginya kini menjadi sebuah kebiasaan yang harus dia terima karena mereka memang seperti itu bahkan sebelum Edzhar mengenal mereka berdua dan terikat hubungan pertemanan dengan keduanya. Sesuatu yang betul-betul membuatnya risih sendiri karena terlihat jahat.

Semalam begitu pulang setelah membantu Rowenna sang dosen muda, Edzhar tiba di kedimannya pada dini hari karena wanita itu memaksanya untuk memakan ramen buatannya. Sebenarnya Edzhar enggan tetapi karena dia terus memaksa pada akhirnya dia hanya bisa menerima saja. Puncaknya adalah Edzhar meminta izin untuk pulang tapi wanita itu berusaha untuk membuatnya menginap. Namun Edzhar bersikeras untuk pulang meski pun sang dosen tampak tidak begitu senang dengan keputusannya.

Dan saat tiba dia melihat ada banyak miscall dan satu pesan dari Dizza. Bodoh baginya karena dia tidak membawa ponselnya tadi. Edzhar berusaha menghubungi tapi ponsel wanita itu mati. Sepertinya dia sudah tidur dan bila pun dia ke kediaman wanita itu, rasanya tidak sopan sekali. Mungkin saja dia sudah tidur kan?

Tapi pagi ini saat dia melihat Dizza bersama Levin amarah jadi satu hal yang mendeskripsikan isi hatinya. Tidak peduli sesering apa pun dirinya menjadi saksi kebersamaan Levin dan Dizza, rasa tidak wajar ini masih saja menusuk dadanya.

Keriuhan sekitar kampus terdengar dari tempat Edzhar duduk. Suara obrolan menyatu diantara para mahasiswa yang baru saja datang untuk menghadiri kelas masing-masing. Edzhar menatap dari kejauhan tanpa minat setelahnya, dia memilih berbalik dibanding memperhatikan interaksi Dizza dan Levin lebih jauh lagi. Lebih baik dia memang menyendiri dan menyepi dari pada menjadi penonton ‘kemesraan’ si duo sahabat masa kecil itu.

“Hei, kenapa pagi-pagi sudah menyendiri begini?” Suara itu membuyarkan lamunan Edzhar. Dia mengangkat kepala dan menoleh, tetapi seketika dia membuang muka.

“Aku hanya ingin melakukannya,” sahutnya pada si gadis yang beberapa saat lalu menjadi pusat perhatiannya sejak duduk di tempat ini. Edzhar tidak menyangka bahwa gadis itu memilih mendekatinya sendiri. “Dimana Levin?”

“Si bodoh itu katanya tidak mau kemari, dia bilang aku bisa jadi batu kalau ikut bersamaku,” sahut Dizza sambil terkekeh lalu duduk di sisinya.

“Lalu kau sendiri kenapa kemari?”

“Menemanimu,” sahut gadis itu acuh tidak acuh. “Aku cemas kau pundung karena kemarin aku tidak muncul di depan mukamu padahal kemarin kau ulang tahun. Jadi aku sedang menebus dosaku.”

Edzhar memberenggut. “Hanya karena itu?”

“Iyalah, memang karena apa lagi?”

1
Tara
there is no sich thing friends between man n woman..in the end they Will falling love eventually. or break up n never see each other again😱🤔
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱
Rucaramia: omg, sorry to hear that 🥹
that's right, there is no 'friendship' between woman and man.
don't hate to much about love, and i hope u find your love my dear ✨️
total 1 replies
Rubby
Kayaknya ini bakal jadi cerita yang ringan + gemesin deh, tumben kak Ruca pake POV cowo. Semangat terus ya kaaaaaa
Rucaramia: makasih banyak review-nya kak Rubby 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!