[Update tiap hari, jangan lupa subscribe ya~]
[Author sangat menerima kritik dan saran dari pembaca]
Sepasang saudara kembar, Zeeya dan Reega. Mereka berdua memiliki kehidupan layaknya anak SMA biasanya. Zeeya memenangkan kompetisi matematika tingkat asia di Jepang. Dia menerima hadiah dari papanya berupa sebuah buku harian. Dia menuliskan kisah hidupnya di buku harian itu.
Suatu hari, Zeeya mengalami patah hati sebab pacarnya menghilang entah kemana. Zeeya berusaha mencari semampu dirinya, tapi ditengah hatinya yang terpuruk, dia malah dituduh sebagai seorang pembunuh.
Zeeya menyelidiki tentang masa lalunya. Benarkah dia merupakan seorang pembunuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 | Kasus Pembunuhan
Beberapa hari yang lalu
Hansel pulang ke rumahnya setelah seharian sekolah. Dia bergegas menuju sebuah ruangan di rumahnya itu. Mumpung kedua orang tuanya sedang tidak berada di rumah.
Ruangan yang dimasukinya itu merupakan ruang kerja milik papanya yang seorang polisi. Hansel dengan sigap membongkar laci meja di ruangan itu.
“Hah! Nggak ketemu.”
Hansel memutar bola matanya ke penjuru ruangan. Dia melihat sebuah lemari besar dengan berjejer map dokumen di dalamnya.
“Itu dia!”
Map dokumen itu tersusun urut ditandai dengan tulisan tahun. Hansel dengan segera mengambil salah satu map pada tahun yang sama dengan kasus kematian siswi di sekolah Zeeya. Dia masih ingat betul tahun itu karena kasusnya sedang panas di mana mana.
Hansel membuka lembar demi lembar map di tangannya, “eh ... tunggu! Tunggu dulu ...” Wajahnya menampilkan raut muka terkejut.
Krek ...
Suara pintu ruang kerja dibuka yang membuat Hansel segera meletakkan kembali map yang sudah diambilnya ke tempatnya semula.
.........
Tit, tit, nomor yang Anda tuju sedang di luar jangkauan ...
Aku menelepon kembali nomor yang digunakan Kairo kemarin. Tapi tidak ada jawaban. Aku tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Apa dia sudah berada di luar negeri sekarang?
“Eh, Zee ...” Hana mengagetkanku, “gimana kompetisi lu kemarin?”
“Oh ... aman, kok.” Aku kembali melirik HP-ku.
“Lu nggak makan, Zee?” Hana bertanya padaku.
“Kamu duluan aja ke kantin ...”
Hana menarik tanganku dan menyeretnya ke luar kelas, “nggak! Kali ini lu harus ikut makan bareng. Bosen tau kalo Cuma berdua doang.”
“Lepasin, Na. Aku bisa jalan sendiri kok.” Aku akhirnya menuruti apa kata Hana.
Kami bertiga memesan makanan seperti biasa di kantin. Lalu duduk di kursi yang disediakan sambil menunggu makanan di antar ke meja kami.
Hana memandangiku. “Lu kenapa, sih. Dari tadi bengong terus.” Dia menyadarkanku yang termenung cukup lama.
“Kamu pasti kaget. Kemarin aku ketemu Kairo ...”
“Hah! Beneran?”
Aku mengangguk, “... tapi habis itu dia langsung pergi lagi.”
Hana dan Nisa memandang satu sama lain. Aku hanya bisa tersenyum memandangi nasibku yang ditinggal pacar ini.
“Kamu nggak nanyain ke mana dia pergi?” tanya Nisa.
“Sudah. Tapi nggak dijawab.” HP yang kupegang masih berusaha menghubunginya.
“udah lah, Zee. Move on aja gih. Lupain semua tentang Kai. Sekarang yang lebih penting lu harus temuin orang yang jahatin lu.”
Kuletakkan HP yang kupegang itu ke meja, “by the way, katanya Hansel mau kasih tau sesuatu ke aku. Dari tadi di kelas dia kutanya, tapi diam saja ...”
“Itu orangnya panjang umur.” Nisa menunjuk seseorang di belakangku.
Aku dan Hana yang duduk bersebelahan lantas menoleh ke belakang. Benar saja, Hansel sedang berjalan menuju kami.
“Han, sini! Gabung sama kita. Katanya ada yang mau kamu omongin.” Nisa melambaikan tangan padanya.
“Entar aja pulang sekolah di gudang belakang.”
“Sekarang aja lah, Han ...” aku memelas.
Hansel menghela nafasnya kemudian duduk di samping Nisa. Saat itu juga pegawai kantin membawakan makanan yang sudah kami pesan.
“Apa yang mau kamu kasih tau ke aku?” aku menatap Hansel.
Mulanya Hansel hanya mengunci mulutnya, “gua ... tapi gua mau bicara personal aja sama lu ...”
Nisa dan Hana pura-pura tidak mendengarnya. Mereka berdua berpaling untuk menyantap makanan masing-masing.
“Terus terang. Aku ingin mereka juga mendengarkan. Aku nggak mau lagi main rahasia-rahasiaan.”
Hana tersenyum bangga padaku. Kini aku harus menghadapinya bersama teman-temanku itu. Sebab aku sadar, aku begitu lemah setelah menghadapi kejadian yang bertubi-tubi.
Hansel akhirnya setuju, “gua pernah bilang, kan kalau papa gua orang yang ngurus kasus pembunuhan di sekolah lu itu?”
Kami bertiga berhenti makan karena antusias dengan perkataan Hansel.
“Sebelum itu ... gua minta maaf ya, Zee,” Hansel mengambil nafas panjang, “apa nama ibu lu Malikha Dewi Vierhalt ...?”
Aku tersentak kaget mendengarnya. Kenapa Hansel bisa tau kalau itu mamaku? Aku tidak pernah memberi tahu nama kedua orang tuaku pada siapa pun. Terutama mamaku yang telah tiada.
“Hm ... iya.” Aku mengatakannya pelan.
Hansel melanjutkan, “gua nemu berkas kasus pembunuhan ibu lu. Dokumennya dijadikan satu sama dokumen kasus pembunuhan di sekolah lu. Setelah gua cek, ternyata itu dokumen kumpulan kasus yang pelakunya sama.”
Sekujur tubuhku merinding, “jadi ... orang yang telah membunuh mamaku juga membunuh siswi itu?”
“Iya ...”
“Apa kamu tau siapa pelakunya?” tanyaku berharap Hansel tau jawabannya.
“Ah! gua belum baca semuanya. Papa gua mergokin gua masuk ke ruang kerjanya. Gua dimarahi habis-habisan kemarin.”
“Jadi kita nggak bakalan tau siapa si inisial J itu ...” Hana kembali menyantap bakso yang sudah dingin itu.
.........
Kring ...!
Bel pulang sekolah berbunyi, aku langsung menuju ke belakang kelas untuk mengecek lokerku. Seharian tadi aku sama sekali tidak membukanya karena takut dengan surat misterius itu.
“Zee, lu pulang aja ... biar ini gua sama Satya yang urus.”
“Maksudmu, Han?” aku belum membuka loker itu.
“Kemarin waktu lu nggak masuk sekolah, gua sama Satya berjaga di sekolah buat nangkap pengirim surat itu. Tapi sampe malam kita nggak nemuin siapa-siapa.”
“Kenapa kamu melakukan itu, Han?”
“Gua Cuma mau bantuin lu. Rencananya gua bakal berjaga lagi hari ini ...”
“Gua ikut!” Hana mengejutkan kami berdua, “gua penasaran banget sama orang iseng itu.”
“Nggak usah, Na. Gua bisa sendiri, kok.”
“Aku juga. Ini kan masalahku. Aku ingin menyelesaikannya dengan tanganku sendiri.”
Nisa berjalan padaku, “biar mereka aja yang urus. Kamu harus menghemat tenaga dan pikiran buat babak seleksi kompetisi nanti.”
Nisa mengantarku keluar kelas sampai pintu gerbang sekolah. Aku merasa tidak enak pada Hansel dan Hana karena mereka telah terjun dalam masalahku. Aku harusnya menyelesaikan sendiri masalahku, bukan malah bergantung pada orang lain.
“Hati-hati pulangnya, Zee ...” Nisa berpamitan padaku.
Aku membalasnya dengan lambaian tanganku dari dalam mobil. Mobil yang aku tumpangi itu melaju meninggalkan sekolah. Nisa juga pulang dijemput ibunya.
Tak berselang lama aku sampai di rumah. Nisa juga mengabari lewat chat kalau dia sudah pulang ke rumah. Dia sungguh mengkhawatirkan aku. Baru saja aku menginjakkan kaki keluar mobil, HP-ku berdering.
“Hansel?!” aku melihat kontak yang meneleponku itu.
Perasaanku tidak enak. Apa menunggu di sekolah adalah keputusan yang benar bagi Hansel?
“Pak, tolong antarkan aku kembali ke sekolah!” aku kembali masuk ke dalam mobil.
“Kenapa, Non?” tanya sopirku heran.
“Ada yang tertinggal. Cepetan, Pak!”
Mobil melaju kembali ke gedung sekolahku. Aku tidak bisa tenang sebab aku dapat merasakan sesuatu telah terjadi pada mereka berdua.
Aku langsung turun dari mobil ketika sampai di gerbang sekolah lalu berlari sekuat tenaga menuju ruang kelasku. Saat masuk ke kelas, aku sangat terkejut dengan apa yang kulihat di depan mataku.
“Hansel?!”
.........
dari judulnya udah menarik
nanti mampir dinovelku ya jika berkenan/Smile//Pray/
mampir di novel aku ya kasih nasihat buat aku /Kiss//Rose/