Bertransmigrasi kedalam tubuh Tuan Muda di dalam novel.
Sebuah Novel Fantasy terbaik yang pernah ada di dalam sejarah.
Namun kasus terbaik disini hanyalah jika menjadi pembaca, akan menjadi sebaliknya jika harus terjebak di dalam novel tersebut.
Ini adalah kisah tentang seseorang yang terjebak di dalam novel terbaik, tetapi terburuk bagi dirinya karena harus terjebak di dalam novel tersebut.
Yang mau liat ilustrasi bisa ke IG : n1.merena
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ronan Yang Dihajar.
Tiga hari sebelum seleksi, tepat saat aku memohon kepada Ayah untuk melatihku dengan sungguh-sungguh.
"Ronan, kau seharusnya tahu, menjadi kuat dalam tiga hari adalah hal yang mustahil," ujar Ayah dengan nada tegas. Matanya tajam, seolah ingin memastikan aku mengerti betul apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Aku tahu itu," jawabku dengan suara datar, menahan rasa gugup yang mulai merayap di benakku. Aku tahu bahwa meminta sesuatu seperti ini adalah langkah berisiko, tapi aku tak punya pilihan lain. Ujian seleksi semakin dekat, dan aku tidak bisa masuk tanpa persiapan.
Ayah menatapku sejenak, lalu tersenyum samar—sebuah senyum yang entah mengapa membuat jantungku berdetak lebih cepat. "Namun, meskipun kau tidak akan tiba-tiba menjadi jauh lebih kuat, setidaknya aku bangga kau tidak bermalas-malasan. Tubuhmu sudah terlatih dengan cukup baik," katanya sambil menepuk bahuku dengan keras, nyaris menjatuhkanku.
Seperti yang dia katakan, tubuh ini—yang sebelumnya milik Ronan—tidaklah lemah. Pemilik tubuh sebelumnya telah berlatih fisik secara konsisten, dan aku kini merasakan hasil dari disiplin itu. Namun, pengalaman bertarung tetap menjadi titik lemahnya.
"Tapi," lanjut Ayah, suaranya berubah lebih rendah, lebih berbahaya, "pengalaman bertarung tidak ada dalam tubuhmu ini. Karena itu, aku akan menggunakan metode yang sedikit tidak biasa agar tubuhmu terbiasa menghadapi rasa sakit selama ujian nanti."
Aku menelan ludah, merasa sesuatu yang buruk akan datang. "Apa maksudmu?" tanyaku, mencoba menyembunyikan kegelisahanku.
Ayah tersenyum lebih lebar kali ini, sebuah senyum yang dingin dan penuh makna. "Sederhana saja, Ronan. Aku akan menghajarmu habis-habisan selama tiga hari penuh. Dan kau tidak akan bisa merasakannya nanti saat ujian, tubuhmu akan kebal sementara."
Sebelum aku bisa memproses apa yang dia katakan, Ayah sudah bergerak. Dia melesat dengan kecepatan yang tidak bisa diikuti oleh mataku, dan detik berikutnya sebuah pukulan keras menghantam perutku. Rasanya seperti ada palu besar yang menghantam tulang rusukku. Aku terhuyung ke belakang, batuk keras, dan mencoba menghirup udara yang terasa hilang.
Aku mencoba menghindar, tapi refleksku terlalu lamban dibandingkan dengan kecepatannya. Setiap kali aku mencoba membaca gerakannya, dia sudah lebih dulu menebas tubuhku dengan tendangan, pukulan, atau dorongan yang membuatku terpental ke tanah. Keringat bercucuran di wajahku, bercampur dengan darah yang mengalir dari bibirku yang pecah.
"Ini baru permulaan!" seru Ayah dengan suara yang bergema di telingaku. Tangannya terus menghantamku tanpa ampun. Setiap kali aku jatuh, dia memaksaku untuk bangkit, meskipun tubuhku ingin menyerah.
Selama tiga hari penuh, penyiksaan itu berlangsung tanpa henti. Aku diserang, dipukul, ditendang, dilempar ke sana-sini seperti boneka kain. Tubuhku penuh dengan luka memar, darah mengalir dari sudut bibirku dan kulitku terasa terbakar oleh setiap benturan. Namun, di balik setiap rasa sakit, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh. Tubuhku semakin peka terhadap serangan, indra-indraku perlahan mulai beradaptasi. Refleksku, meskipun masih kaku, mulai bekerja sedikit lebih baik.
Ayah selalu memastikan aku tidak pingsan. Dokter tua yang selalu hadir di dekat kami memberi potion setiap kali aku hampir kehilangan kesadaran, memaksaku untuk tetap terjaga. Setiap kali tubuhku hampir menyerah, potion itu membuatku tetap sadar, meskipun rasa sakit tidak pernah hilang. Ini seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.
Sampai akhirnya, di hari ketiga, tepat sebelum ujian seleksi, aku tergeletak di tanah dengan napas tersengal-sengal. Setiap inci tubuhku terasa hancur, nyaris tak mampu bergerak. Aku bahkan tidak bisa mengangkat tanganku sendiri.
Ayah berdiri di atas kepalaku, mengamati kondisiku dengan tatapan puas. "Itu cukup untuk sekarang," katanya, suaranya datar tetapi penuh kepuasan. "Dalam tiga hari ini, kau telah belajar sesuatu yang tidak pernah kau miliki sebelumnya. Setidaknya, kau bisa mengalahkan lawan-lawan yang berada di bawah levelku dengan mudah."
Aku tidak menjawab. Tenggorokanku kering, bibirku kaku, dan paru-paruku terasa seperti terbakar. Aku hanya bisa mengatur napas dengan susah payah, merasakan denyut sakit di setiap detak jantungku.
"Berdiri," perintah Ayah tiba-tiba, suaranya keras dan tegas.
Aku mencoba untuk bangkit. Lututku gemetar hebat, dan aku hampir jatuh kembali ke tanah. Tapi aku tahu, tidak ada pilihan lain. Dengan susah payah, aku akhirnya berdiri. Begitu aku berhasil berdiri tegak, darah mengalir dari sudut bibirku, dan aku terpaksa memuntahkan seteguk darah yang terasa seperti racun di tenggorokanku. "Sialan," desisku pelan, suara itu hampir tenggelam oleh rasa sakit yang masih menusuk-nusuk.
"Bagaimana aku bisa menghadapi seleksi dalam kondisi seperti ini?" Aku akhirnya berhasil bertanya, meskipun napasku masih berat.
Ayah tertawa kecil, tawa yang mengejek namun juga penuh keyakinan. "Pertanyaan bodoh macam apa itu? Tentu saja kita punya sihir di sini. Kau akan disembuhkan sebelum seleksi."
Perkataan itu langsung membuatku terjaga. "Kalau begitu, cepat sembuhkan aku!" seruku, kali ini dengan lebih bersemangat.
Tanpa ragu, Ayah mengangkat tangannya, dan pria tua yang selalu berada di sisi kami—dokter yang membuatku tetap sadar selama tiga hari penuh—segera mendekat. Dia mulai merapal mantra, dan dalam sekejap, aku bisa merasakan luka-luka di tubuhku mulai menghilang. Rasa sakit yang tadi mendominasi tubuhku perlahan memudar. Bahkan rasa lelah yang mencekam otot-ototku mulai menghilang.
Aku menyentuh perutku, bagian yang paling banyak dihantam, dan mendapati bahwa semua luka itu benar-benar hilang. "Sihir sungguh luar biasa," gumamku pelan, masih tidak percaya dengan keajaiban yang baru saja terjadi. Tubuhku yang semula penuh dengan luka memar kini kembali normal, seolah-olah tiga hari penyiksaan itu hanyalah mimpi buruk yang tak meninggalkan jejak.
Dokter tua itu mundur dengan cepat setelah selesai, seolah takut ada konsekuensi jika dia berlama-lama.
Aku melirik ke arah Ayah, dengan sebuah pertanyaan yang kini muncul di benakku. "Hei, kenapa kau tidak mengajariku sihir selama ini?" tanyaku, penasaran.
Ayah mengangkat alis, seolah-olah pertanyaanku lucu. "Mengajarkan sihir dalam tiga hari? Itu mustahil. Namun," lanjutnya, sambil menjentikkan jarinya, dan sebuah api kecil muncul di ujung jarinya, "aku bisa mengajarimu sesuatu yang sederhana, seperti ini."
Aku menatap api kecil itu, sedikit skeptis. "Apa gunanya?"
Ayah tersenyum lebar, senyum yang penuh arti. "Untuk membakar daging, tentunya."
Aku terdiam sejenak, merenung. "Ajarkan aku," akhirnya aku berkata dengan mantap.
"Tentu," jawab Ayah dengan seringai yang tidak pernah hilang dari wajahnya.
the darkest mana
shadow mana
masih ada lagi tapi 2 itu aja cukup