Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kita berbeda!
Tama, dengan tangan gemetar, mengetik pesan cepat kepada ibunya saat dia dan Freya berada di dalam mobil.
Bu, tunggu ambulans, aku sudah panggil ambulans. Aku akan langsung ke rumah sakit.
Setelah mengirim pesan, dia menatap lurus ke depan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu.
Freya duduk di sampingnya, tangannya menggenggam erat tangan Tama di atas transmisi. "Kita akan sampai tepat waktu, Tama. Ayahmu pasti kuat," ucapnya, berusaha menenangkan.
Tama tidak menjawab, pikirannya terlalu penuh dengan kekhawatiran dan rasa bersalah atas pertengkarannya dengan Arman tadi. Rasanya seperti semua beban dunia ada di pundaknya saat ini. Dia menambah kecepatan, berharap bisa tiba di rumah sakit secepat mungkin.
Setibanya di rumah sakit, mereka berdua segera keluar dari mobil, hampir berlari menuju pintu masuk. Di saat yang bersamaan, sebuah ambulans berhenti di depan gedung, dan pintu belakang terbuka. Dua paramedis dengan cepat membawa tandu keluar, di atasnya terbaring Arman dengan wajah pucat.
Rini, yang tampak lemah dan sangat cemas, mengikuti di belakang dengan langkah terburu-buru. Matanya langsung tertuju pada Tama yang berlari mendekat, diikuti oleh Freya. Begitu melihat putranya, Rini segera memeluk Tama erat, air mata masih mengalir di pipinya.
“Tama … ayahmu …,” suaranya hampir tak terdengar di antara isak tangisnya.
Tama membalas pelukan ibunya, namun matanya terpaku pada sosok ayahnya yang dibawa masuk ke ruang gawat darurat.
"Bu, kita harus percaya, Ayah akan baik-baik saja," kata Tama, meskipun hatinya sendiri dipenuhi ketakutan.
Rini melepaskan pelukan, dan saat itulah pandangannya tertuju pada Freya yang berdiri di belakang Tama. Mata Rini membesar sejenak, terkejut melihat wanita yang dia tahu adalah Freya, kekasih putranya. Wanita yang selama ini menjadi pusat pertentangan dalam keluarga mereka.
Freya, yang menyadari tatapan Rini, tersenyum kecil meskipun merasa canggung. "Bu, saya ... Freya," katanya dengan suara lembut, merasa ini bukan waktu yang tepat untuk memperkenalkan diri, tetapi juga tak ingin menambah ketegangan.
Rini menatap Freya sejenak, tampak bimbang. Ada begitu banyak perasaan berkecamuk di dalam dirinya, rasa khawatir pada suaminya, rasa bersalah melihat Tama, dan keraguan melihat Freya di hadapannya. Namun, dalam situasi darurat seperti ini, dia hanya bisa mengangguk pelan.
"Terima kasih sudah menemani Tama," ucapnya singkat, dengan nada yang masih dipenuhi kesedihan.
Freya, yang merasakan ketegangan di antara mereka, mengangguk dan tetap berdiri di samping Tama, memberikan dukungannya tanpa banyak bicara.
Tak lama setelah mereka menunggu dengan cemas, pintu ruang gawat darurat terbuka, dan seorang dokter keluar dengan wajah tenang. Rini, Tama, dan Freya langsung bangkit dari tempat duduk, menunggu penjelasan yang mereka harap adalah kabar baik.
"Bagaimana kondisi Ayah saya, Dok?" Tama bertanya dengan nada penuh harap.
Dokter itu tersenyum kecil. "Keadaannya sudah lebih baik sekarang. Kami berhasil menstabilkan kondisinya setelah serangan jantung tadi. Namun, kami harus mengingatkan bahwa beliau perlu istirahat total, dan tidak boleh terlalu dibebani dengan pikiran yang berat. Jika tidak, serangan berikutnya bisa berakibat fatal."
Rini langsung menarik napas lega, wajahnya yang tegang perlahan melunak. "Terima kasih, Dokter," ucapnya, suaranya masih terdengar lemah tapi penuh syukur. Tama mengangguk, berusaha menenangkan pikirannya yang masih kalut.
Freya, yang berdiri di samping Tama, ikut merasa lega. Meskipun dia tidak begitu mengenal Arman secara langsung, ia tahu betapa pentingnya ayah Tama bagi kekasihnya. Dia ingin ikut bersama Rini untuk melihat kondisi Arman dari dekat. Saat melihat Rini berjalan menuju ruang IGD di mana Arman dirawat, Freya berbalik ke arah Tama.
"Aku akan menyusul ibumu," katanya lembut, bersiap mengikuti langkah Rini.
Namun, dengan cepat, Tama meraih tangan Freya, menahannya agar tidak melangkah lebih jauh. Freya menghentikan langkahnya dan menoleh, bingung dengan tindakan Tama.
"Kenapa, Tama? Aku hanya ingin memastikan keadaan Ayahmu."
Tama menghindari tatapan Freya sejenak, wajahnya menegang, seperti ada beban berat yang tidak bisa ia ungkapkan. "Freya, jangan ... tolong jangan sekarang," ucapnya dengan suara rendah.
Freya memandangnya dengan alis yang berkerut. "Kenapa? Bukankah aku harus ikut melihat bagaimana keadaannya? Aku juga ingin menunjukkan bahwa aku peduli."
Tama terdiam, tidak bisa langsung menjawab. Ada ketakutan yang tiba-tiba merasuk dalam dirinya, sebuah ketakutan bahwa pertemuan Freya dengan ayahnya akan memperparah keadaan. Dia tahu betapa besar penolakan ayahnya terhadap hubungan mereka, dan dia tidak ingin risiko itu menambah beban di tengah kondisi yang rentan ini.
Freya, yang melihat kegelisahan di wajah Tama, semakin bingung. "Tama, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu menahanku?"
Tama menggenggam tangan Freya lebih erat, namun tetap tak mampu menjelaskan. Lidahnya kelu, pikirannya kacau. Dia tahu Freya pantas mendapatkan jawaban, tapi ia tidak sanggup mengatakan bahwa ayahnya mungkin akan semakin marah jika tahu Freya ada di sini, apalagi dalam kondisi seperti ini. Tama hanya bisa menunduk, berusaha meredam kekacauan dalam dirinya.
Tama masih menggenggam tangan Freya erat, rasa bersalah semakin memenuhi dadanya. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya dia menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Dia menatap Freya dengan tatapan penuh penyesalan.
"Freya, ada sesuatu yang perlu kamu tahu," ucap Tama pelan, suaranya terdengar berat.
Freya mengerutkan kening, merasa bahwa apa pun yang akan Tama katakan akan sangat penting. "Apa itu, Tama? Kamu bisa ceritakan padaku setelah kita melihat keadaan Ayahmu."
Tama menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya berkata, "Sebelum aku datang ke apartemenmu tadi, aku sempat bertengkar dengan Ayah ... pertengkaran itu—" Ia berhenti sejenak, menundukkan pandangan, seolah berusaha meredam emosinya. "Yang jadi alasan kami bertengkar adalah kamu, Freya."
Freya terkejut. "Aku? Kenapa?"
Tama mengusap wajahnya dengan tangan, rasa frustrasi jelas terpancar di wajahnya. "Ayahku ingin menjodohkanku dengan orang lain, Nisa ... dan dia sangat menentang hubungan kita. Itulah sebabnya kami bertengkar. Aku menolak perjodohan itu dan bersikeras untuk tetap bersamamu."
Freya menatap Tama dengan perasaan bercampur aduk—ada rasa sakit, bingung, dan bersalah. "Tama, aku ... aku nggak pernah mau jadi alasan kamu bertengkar dengan keluargamu. Aku tahu betapa pentingnya keluargamu bagimu."
Tama menggeleng cepat. "Bukan salahmu, Freya. Ini pilihan yang aku buat. Aku ingin bersamamu, dan aku akan memperjuangkan hubungan kita. Tapi Ayah tidak bisa menerima itu ... dia marah besar, dan setelah pertengkaran itulah dia terkena serangan jantung."
Freya terdiam, hatinya terasa berat mendengar bahwa dirinya menjadi sumber pertentangan dalam keluarga Tama. "Tapi ... kenapa Ayahmu menentang hubungan kita? Dia bahkan belum mengenalku, Tama."
Tama menggenggam tangan Freya lebih erat, menatapnya dengan tekad yang kuat. "Freya ... satu-satunya alasan mengapa Ayahku tidak merestui hubungan kita adalah karena kita berbeda."
don't forget to like and vote ❤️🔥❤️🔥❤️🔥❤️🔥