NovelToon NovelToon
Saat Aku Bernafas Aku Berharap

Saat Aku Bernafas Aku Berharap

Status: tamat
Genre:Tamat / Mafia / Konflik etika / Mengubah Takdir / Romansa
Popularitas:10.4k
Nilai: 5
Nama Author: Rurri

Mengejar mimpi, mencari kebahagiaan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, Raka harus menghadapi keadaan pahit atas dosa-dosa sosialnya, juga konflik kehidupan yang tak berkesudahan.

Meski ada luka dalam duka, ia harus tetap bersabar. Demi bertemu kemanfaatan juga kebahagiaannya yang jauh lebih besar dan panjang.

Raka rela mengulang kembali mimpi-mimpinya. Walaupun jalan yang akan dilaluinya semakin terjal. Mungkinkah semesta akan mengamini harapannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rurri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sidang Pertama

Pertemuanku dengan pak andre ternyata membawa dampak yang baik untukku. Pandangan para tahanan sektor dua berubah drastis. Orang-orang menjadi sok kenal, juga akrab, sebuah keuntungan bagiku.

"Raka, naik ke sini," suruhnya Palkam, Kepala Kamar sel tahanan yang paling di takuti oleh para tahanan senior.

Aku naik mendekati.

Ruangan sel tahanan berbentuk seperti anak tangga. Di lantai bawah ditempati tahanan yang baru datang dan di lantai atas ditempati tahanan lama, para senior.

"Malam ini, kamu tidur di sini, di sebelahku." Memberi sekat di atas lantai serta menyuruh dua orang pengikutnya untuk turun ke bawah.

"Terima kasih, tadinya juga, aku mau tidur di atas sini, sekalian dengan saudaraku." Aku menunjuk ke Tegar. "Sini," suruhku.

Tegar bergegas naik.

"Bro, kalian turun dulu," perintah Palkam pada pengikut yang lainnya. Dua orang turun ke bawah lagi, lantai bawah menjadi penuh sesak.

Dua belas anak buahnya, indra kuncoro langsung menunduk panik, berdesakan.

Aku menahan emosiku, berpikir. Mengatur rencana.

Tegar berbisik. "Kok, bisa?"

"Sudah ... nikmatin saja," jawabku pada Tegar,

Tegar menyeringai puas.

Aku berbicara basa-basi dengan Palkam, juga bercerita pada Palkam tentang obrolanku dengan pak andre, sesaat yang lalu.

"Begitulah ... " pungkasku pada Palkam.

Sesaat kemudian. "Semuanya, dengarkan sebentar. Ada yang mau di sampaikan oleh Raka," pekik Palkam di sela-sela ke ramaian ruang tahanan.

Serentak semua terdiam.

Suasana terasa canggung. Aku berdiri. "Aku minta waktunya sebentar, sebelumnya aku tegaskan pada kalian. Apa yang akan aku sampaikan ini, hanya menyambung lidahnya pak andre. Karena aku nggak berhak membuat aturan di sini." Aku menghentikan kalimatku, beberapa ada yang gaduh.

Palkam menatapku, mengangguk, mengisyaratkan untuk meneruskan.

"Makanan yang kalian makan setiap hari, sekarang punya harga." Aku menahan kembali kalimatku berikutnya, para tahanan riuh berbisik-bisik.

"Woi ... bisa diam nggak?" Palkam berdiri, naik pitam.

Aku meneruskan. "Ini terkhusus pasal dua empat empat. Di sini, nggak ada tempat juga barang yang gratis," ungkapku pada mereka.

Para anak buahnya indra kuncoro mulai gaduh.

"Hai, Raka!" serunya salah satu anak buahnya indra kuncoro yang berbadan kekar. "Jangan macam-macam dengan kami," protesnya Aryanto yang berbadan kekar.

Dari atas lantai, Palkam lari melompat, melayangkan tendangannya tepat di dadanya Aryanto.

Semua anak buahnya indra kuncoro melawan.

Baku hantam antara dua kubu berlangsung. Anak buahnya indra kuncoro melawan Palkam dan para pengikutnya. 

Suasana gaduh tak terkendali.

Jelas, dua belas anak buahnya indra kuncoro itu, dibuat tak berdaya oleh Palkam dan para pengikutnya yang berjumlah dua puluh satu orang. Dan dari dua puluhan satu orang tersebut, ada beberapa dari mereka yang terjerat pasal tiga tiga delapan. Kasus pembunuhan berantai.

Tegar, merasa senang kegirangan mendengar anak buahnya indra kuncoro, merengek memohon ampun.

"Palkam ... ." Aku memanggilnya.

Tegar berbisik padaku. "Biarkan saja." Menyikut pelan.

"Palkam, tolong ... lepaskan mereka. Mereka sudah nggak melawan, tolong berhenti." Aku melerainya. Aku tidak mau menjadi api seperti apa yang dilakukan oleh indra kuncoro dan anak buahnya. Karena aku bukan mereka, dan aku sadar betul, dendam tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

Suasana kembali tenang, kondusif.

Aku meneruskan. "Apa yang tadi aku sampaikan hanya perintah dari pak andre. Kalau diantara kalian ada yang keberatan, silakan sampaikan sendiri nanti, saat pak andre datang."

Wajah garang pengikutnya Palkam mendekati anak buahnya indra kuncoro. "Aku bisa saja matikan kalian semua." Mengacam keras.

"Tahan, Bimo!" seru Palkam pada pengikutnya.

Anak buahnya indra kuncoro tak bergeming.

Tegar mengumpat pada anak buahnya indra kuncoro. "Mana taring kalian."

"Sudahlah, kita jadi penonton saja, nggak perlu ikut-ikutan," ucapku pada Tegar.

Suasana sempat bergemuruh lagi. Tetapi hanya sesaat. Benar apa yang dikatakan oleh orang-orang suci, di atas langit masih ada langit. Begitupun, sebaliknya, di bawah tanah masih ada tanah lagi. Sesulit apapun keadaannya seseorang, masih ada yang lebih sulit lagi. Namun, mereka bisa melewati masa-masa sulit itu. Seperti, anak dan istrinya, seorang maling sepeda itu. Sekalipun, anak dan istrinya di rumah sudah ditinggal oleh tulang punggungnya. Anak dan istri tersebut masih dapat bertahan melanjutkan kehidupannya mereka di atas buminya, Sang Maha dari Segala Maha. Kasih sayangnya tak terbatas waktu dan ruang. Hanya saja maukah kita bersabar menjalaninya.

Pagi kembali. Kepala dan telingaku sudah kebal mendengarkan keluh kesah, kegaduhan, rintihan, kutukan, tangis air mata, juga canda dan tawa. Semua satu irama tak ada beda, silih berganti. Riuh tak ada yang abadi, hanya kesunyian malam yang sanggup bernyanyi memberi arti.

Mantra-mantra langit, aku genggam kembali. untuk ditanamkan di relung hati yang terdalam di sanubari. Kemarin, hari ini, besok pagi dan lusa nanti. Semoga tertanam sampai mati.

Pagi berganti lagi bersama selembar kertas dari pengadilan yang menjemputku. Melangkahkan kaki yang telanjang di jalanan beraspal, tak ada raut bahagia di dalam ruangan itu. Kami berbaris menunggu ketukan palu.

"Marto, Bagaimana? Apakah semua bukti yang diperlukan sudah terkumpul," tanyaku.

"Sudah," jawabnya.

"Terus aku harus bagaimana, menghadapi persidangan ini." Merasa bingung.

"Tenang saja, Raka. Kamu tinggal mengikuti jalannya persidangan. Di sidang pertama ini, agendanya hanya pembacaan surat dakwaan oleh penuntut umum. Nanti ada tahap-tahap berikutnya, nggak langsung selesai hari ini juga sidangnya," ungkapnya Marto.

"Oh, begitu yah," sahutku, pura-pura paham.

Marto menjelaskan banyak hal tentang tahapan persidangan yang rumit.

Aku hanya mengiyakan. "Atur saja deh, Marto. Ini bukan bidangku, aku percayakan saja semuanya padamu. Permintaan ku hanya satu, masukkan lagi indra kuncoro ke dalam sel tahanan."

"Harus itu," balasnya Marto dengan nada yakin.

Aku melangkah, memasuki ruang sidang bersama Tegar dan seluruh anak buahnya indra kuncoro.

Tegar bertanya. "Raka, apakah ada tugas buat aku?"

"Nggak ada. Katanya, di sidang pertama ini, kita tinggal mengikuti dan mendengarkan saja," sahutku.

Sidang dibuka dengan ketukan palu oleh Majelis Hakim.

Timbul tenggelam dosa yang telah aku lakukan hingga saat ini, menunggu diadili. Terkadang aku enggan mengatakannya sebagai dosa, hanya saja kekhilafan yang buta. Dikubur dalam sunyi percuma saja. Jika masih mengulanginya. Kini, aku sudah tak bisa memutar waktu kembali untuk menghindari kesalahanku. Biarlah, aku jalani saja untuk menebus dosa-dosaku. Biarlah, luka juga duka melekat dalam ingatan.

Usai sidang, di pintu keluar. "Raka ... ."

Suaranya tak asing, aku berhenti. "Riana ... " ucapku.

Riana berjalan cepat dan mendekat, sampai saatnya memelukku. "Maafkan aku, Raka."

Aku tidak bisa meraih tubuhnya, kedua tanganku terborgol. "Keadaan yang sedang aku jalani ini, nggak ada hubungannya dengan kamu, Riana. Jadi kamu nggak perlu merasa bersalah," ungkapku.

Riana berucap. "Aku tahu, tahu semuanya, Raka. Kamu melakukan ini, gara-gara aku."

"Bukan - bukan, Riana. Aku melakukannya, atas kemauan diriku sendiri," sahutku.

Bus tahanan sektor dua sudah menunggu di halaman pengadilan negeri. iya, itu artinya kami akan di pulangkan lagi ke tahanan sektor dua.

Riana melepaskan pelukannya dan berkata. "Aku masih memegang janjiku, Raka. Aku akan menunggumu sampai kamu keluar." Matanya berkaca-kaca.

"Iya, aku tahu." Aku tersenyum. "Jaga diri baik-baik, yah." Aku berjalan menuju bus tahanan.

Langkah Riana terhenti. "Kamu juga, yah, Raka. A-aku akan menunggumu!" serunya Riana sembari melambaikan tangan.

1
sean hayati
Setiap ketikan kata author sangat bagus,2 jempol untuk author ya
sean hayati
Saya mampir thour,salam kenal dari saya
sean hayati: terima kasih sudah mau membalas salam saya,saling dukung kita ya
Rurri: salam knl juga kak 😊
total 2 replies
tongky's team
Luar biasa
tongky's team
Lumayan
tongky's team
mantap saya suka kata katanya tentang senja dan sepasang merpati
tongky's team
lanjut seru /Good/
Santi Chyntia
Ceritanya mengalir ringan dan pesan moral nya jg dapet, keren kak/Good//Heart/
Choi Jaeyi
cieeee juga nih wkwkk
Amelia
👍👍👍👍👍👍❤️❤️
Rurri
makasih kak, atas pujiannya 😊

karya² kk juga sama bagus²🌷🌷🌷
Amelia
aku suka sekali cerita nya... seperti air mengalir dan tanpa karekter yg di paksa kan👍👍👍
Jecko
Aku tersentuh/Sob/
Amelia
😚😚😚😘😘😘😘
Amelia
mantap...👍👍👍👍
Amelia
🤭🤭🤭🤭🤭🤭🤭
Amelia
wkwkwk...
😅😅
Amelia
hahahaha...🤭🤭
Choi Jaeyi
selalu suka bgt sama kata tiap katanya author😭
Amelia
bagus Thor....👍👍👍👍❤️❤️❤️❤️
Amelia
memang itu lah realita kehidupan...yg kuat dia yg akan dpt banyak...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!