NovelToon NovelToon
CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Leova Kidd

Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.

Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.

Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kejutan yang Mengejutkan

 

Brrr, dinginnya udara pagi di kaki gunung Lawu menyapa tubuhku yang baru keluar dari Villa. Kulihat jam tangan pink yang nangkring di pergelangan tangan kiriku.

Pukul 05.00 WIB.

Kalau di rumah, pada jam yang sama aku sudah berangkat sekolah dan berjibaku mengejar bus atau bahkan tengah berdesak-desakan dengan penumpang lain dalam badan bus. Tak peduli seperti apapun cuaca subuh—mau itu hujan, panas, atau badai, pada saat orang lain masih hangat bergumul dengan selimut, aku sudah berjuang melawan kemalasan.

Selama libur panjang kenaikan kelas, sehabis salat subuh aku biasa ikut Ibu belanja ke Pasar Krempyeng di Jalan Indragiri. Tetap bangun pagi juga. Bedanya, kali ini tidak harus berebut bus. Kami cukup jalan kaki, menikmati segarnya udara pagi. Aku paling senang ikut Ibu ke pasar. Bisa beli donat, bubur kacang hijau, bubur candil, maupun jajanan pasar lain.

Kenapa pasar itu dinamakan Pasar Krempyeng? Ternyata ada sejarahnya. Konon, nama tersebut tercipta karena pasar hanya buka di pagi hari—selepas subuh hingga pukul 7 pagi saja, alias sak krempyengan (hanya sekejap). Pasarnya pun bukan pasar permanen yang besar. Di situ hanya semacam halaman rumah orang yang digunakan untuk aktivitas berjualan sekelompok pedagang sayur dan makanan.

Itu rutinitasku ketika di rumah Madiun. Sementara di Sarangan, dengan udara yang dinginnya ekstrem, mungkin sebagian besar orang akan malas keluar dari pelukan selimut. Jika saja tidak ingat bahwa itu wajib, shalat subuh pun malas. Untung antara setan dan iman masih kuat iman.

Aku berjalan keluar dari halaman, menengok kanan-kiri di tepi jalan menanjak yang sekarang sudah menjadi penghubung antara Kabupaten Magetan dengan Kabupaten Karanganyar. Sejauh mata memandang, jalanan terlihat lengang. Tapi, aku ingin jalan-jalan. Aku adalah tipe orang yang kalau sudah bangun pagi, tidak bisa tidur lagi.

Kulangkahkan kaki menuruni jalanan. Tak ada tujuan mau ke mana. Yang penting jalan, menikmati indahnya Telaga Sarangan dengan background perbukitan hijau membentang. Kabut tebal mulai turun membawa tetesan-tetesan embun yang serasa butiran salju. Kurapatkan jaket untuk menghalau rasa dingin.

Dari jauh terlihat bayangan seseorang sedang berjalan berlawanan arah denganku. Aku tidak bisa mengenali orang tersebut. Kabut menyamarkan pandangan. Jika menilik dari bentuk tubuh, aku yakin dia laki-laki.

Jarak kami semakin dekat, dekat, dan dekat. Hingga tiba saat berpapasan. Dalam jarak yang hanya satu hasta, barulah kukenali siapa dia.

Kevin!

Iya, Kevin! Kevin Karunia Hermawan, sahabatku. Pemuda tampan berwajah mirip Suppapong Udomkaewkanjana yang diam-diam mencuri hatiku. Entah dari mana, jam segitu dia sudah balik dari bawah.

Tatapan kami bertautan lumayan lama. Dia sempat menghentikan langkahnya sejenak. Aku yakin cowok itu pasti mengenaliku. Aku yakin dia tahu orang yang tersenyum kepadanya saat itu adalah aku. Jarak kami sangat dekat, dan jelas sorot matanya mengarah kepadaku.

"Koko dari mana?" Suaraku ramah dan ceria, diiringi senyum lebar.

Namun, apa yang terjadi? Pemuda itu tak memberi respons. Alih-alih menjawab, dia bahkan berlalu begitu saja seperti orang yang tak saling kenal. Senyumku yang semanis kelengkeng madu, diabaikannya. Aku tercengang menyaksikan itu semua. Kupandangi punggungnya yang terus bergerak menjauh.

Dia kenapa ya...!?!

Saat itu, sebetulnya aku ingin mengejarnya dan meminta penjelasan atas sikap tersebut. Akan tetapi, gengsi sebagai gadis yang merasa tertolak menahanku untuk melakukannya.

 

🍁🍁

 

Usai menyantap sarapan pagi spesial—Raga yang masak, aku duduk-duduk di teras belakang—tempat semalam mengobrol bersama Raga hingga nyaris subuh. Apa saja yang kami perbincangkan? Jangan ditanya. Yang jelas, semua berinti ke masalah hati. Dan dari obrolan yang sempat alot tersebut, akhirnya dicapailah beberapa kesepakatan.

Satu, Raga tidak melarang aku dekat dengan siapa pun. Dua, aku tidak boleh melarang Raga jika dia masih ingin menunggu. Tiga, aku harus jujur ketika sudah menentukan sikap, entah itu memilih dia atau memilih orang lain. Empat, Raga tidak mau dipaksa move on.

Jangan protes!

Bukan aku yang meminta kesepakatan. Dia yang membuat semua aturan tersebut. Aturan aneh yang menguntungkan diriku secara sepihak. Aku juga tidak mengusulkan satu poin pun dari empat kesepakatan yang Raga tawarkan. Dan sumpah, cowok itu tidak aku hipnotis sama sekali. Dia sadar seratus persen, tidak sedang mabuk. Justru aku heran, pada tahun segitu—2002, kok masih ada generasi geblek macam dia? Bucin over dosis.

Pada saat aku bengong menikmati semilir angin yang menerpa wajah, sekonyong-konyong telingaku mendengar suara di balik tembok. Suara itu sepertinya berasal dari teras samping. Jika saja namaku tak disebut-sebut, mungkin aku akan bersikap masa bodoh. Masalahnya, dua orang yang tengah berbincang—atau lebih tepat disebut berdebat—tersebut berkali-kali menyebut namaku di antara perdebatannya.

"Nada itu suka sama kamu!" Suara salah satu dari mereka, yang aku hafal sebagai suara Raga.

Telingaku menegak seketika. Ada apa nih namaku dibawa-bawa?

"Kamu pikir aku yang mau dia seperti itu?" sahut lawan bicaranya yang ternyata adalah Kevin. Bergegas kupasang pendengaran baik-baik. "Tanyakan ke dia sekarang! Apa pernah aku kasih dia harapan?"

"Makanya, sejak awal aku sudah peringatkan kamu! Jaga sikap di depan dia!"

"Lalu sekarang apa mau kamu? Bersikap seperti ini tidak akan mengubah apa pun!"

Hening beberapa saat. Raga tak kunjung menjawab. Aku tegang sendiri menanti jawaban cowok itu. Aku takut mereka berantem seperti kejadian pada tahun sebelumnya.

"Ingat ini ya, Pit! Sebangsat-bangsatnya aku, nggak mungkin jatah teman aku embat juga!" seru Kevin kemudian setelah cukup lama mereka diam. “Sikapku selama ini hanya untuk membuatmu sadar. Ini karma yang harus kamu tanggung!”

"Tapi kamu sudah tahu sejak lama kan, kalau sebetulnya Nada suka sama kamu?"

"Yang aku tahu dia tuh sukanya sama kamu."

"Aku nggak bego, Nyet!" sentak Raga dengan suara seperti menahan geram. Entah apa yang dia lakukan? Aku mendengar Kevin mengerang lirih. "Sikap dia jelas, sorot mata dia jelas. Bahkan setelah semua usahaku untuk membuat dia senang pun, tetap kamu yang dipandangnya."

"Jadi kamu mau apa? Ngelempar kesalahan itu padaku?” Sinis sahutan Kevin.

“Justru karena itu, aku ajak kamu bicara berdua!”

“Kamu pikir aku yang berusaha menggoda dia?”

“Dengarkan aku dulu, njing!”

“Menurut kamu, aku harus bagaimana? Semua yang kamu minta sudah aku lakukan. Menghindar, menjauh, bersikap acuh, kurang apa lagi?"

"Bahagiakan dia," cetus Raga, terdengar santai dan seenak udelnya sendiri. Ciri perkataan yang tak disaring oleh otak. "Aku tahu, kamu pun menyukai Nada. Buat dia senang. Aku rela."

"Nggak! Nggak mungkin!" Giliran Kevin yang nge-gas. "Kamu jangan gila!"

"Yang penting dia bahagia, Nyo."

"Aku yang nggak bisa, bangsat! Taik lo! Pengecut! Nggak punya tanggung jawab!"

Air mataku menetes tanpa permisi. Sedih sekali mendengar pertengkaran yang disebabkan olehku. Lebih sedih lagi ketika mengetahui ternyata Raga menyadari perasaan yang selama ini kupendam.

Saat itu yang aku pikirkan adalah Raga. Kesedihan justru timbul ketika membayangkan betapa sakit dan terlukanya menjadi dia. Anehnya, perasaanku datar saja ketika mendengar Kevin tidak bersedia membuatku bahagia. Hati mungilku seolah berkata, “oooh, nggak mau? Ya sudah.”

"Nyo, kamu nggak usah munafik di depanku. Kita kenal bukan sehari dua hari. Aku paham kamu, bahkan lebih dari pemahamanku terhadap diriku sendiri."

"Apa sih!?" ketus Kevin dengan nada judes ala dia.

"Kamu juga suka sama dia, ‘kan?"

"Penting ya sampai harus diperjelas?" kilah si Kevin sewot. Aku semakin serius menyimak, sembari harap-harap cemas, takut mereka memergoki keberadaanku. Sepertinya Raga menyangka aku masih di kamar. Selesai sarapan tadi, aku pamit mau rebahan. "Aku nggak bisa jadi teman yang bangsat! Kan kamu tahu aku sudah pernah nyoba, tapi gagal!"

"Kalo aku yang minta, kamu nggak perlu jadi bangsat!"

"Sudah aku bilang sejak awal, lebih baik aku maling, daripada makan teman."

"Ini aku yang minta, anjing!"

"Bodo amat! Kata-katain aja aku sepuas kamu. Maki-maki kalau perlu. Tapi aku udah mutusin nggak mau berurusan dengan Nada lagi! Persetan dengan cinta! Mau itu Nada, mau itu perempuan lain, siapa pun, aku nggak peduli!"

"Maksud kamu apa?!" Raga terdengar emosi.

"Heh! Asal tahu saja, ya! Dia itu sukanya sama kamu! Di sini justru aku yang bertepuk sebelah tangan!"

"Siapa bilang?"

"Nada!"

"Bohong! Kamu jangan mendustai aku."

Kevin diam sesaat, lalu berucap lirih, "dia nggak bisa nerima kamu karena minder."

Alamak! Seketika aku tepuk jidat. Alasan itu. Padahal, itu hanya alasan kedua.

“Kalau memang kamu serius suka sama dia, aku sarankan untuk mengusahakan hubungan kalian, sebelum menyesal,” lanjut Kevin ketika Raga masih diam.

"Nggak!" Raga menyangkal tegas ucapan Kevin. "Jangan kasih aku harapan palsu. Semalam aku lihat sendiri, gimana panik dan galaunya dia hanya gara-gara kamu memergoki kami. Itu bukti nyata."

“Bukti apa? Dia kayak gitu bisa jadi karena takut disangka macam-macam di villa orang tuaku. Kan kamu tahu sendiri, Nada orangnya mudah sungkan.”

“Sungkan juga nggak akan sepanik itu!” tukas Raga tak mau kalah. Namun, aura perang dalam nada bicara mereka sudah mereda. Lumayan melegakan karena sejak awal aku takut terjadi baku hantam seperti waktu itu. “Dia tuh khawatir kamu salah paham.”

“Salah paham mengenai apa?” Suara Kevin kembali meninggi. “Kami tidak ada hubungan apapun, Pit! Nggak ada yang patut aku salah pahami dari dia. Dengan siapapun Nada berhubungan, itu bukan urusan aku!”

“Kenapa sih kamu nggak berterus terang saja? Katakan kalau memang suka sama dia! Tidak perlu kamu pandang aku!”

"Arghhh, terserah! Bodo amat!" sahut Kevin sewot, diikuti dengan suara langkah menjauh yang disusul oleh langkah satunya.

“Nyo! Dengerin dulu! Monyet! Anjing!”

"Apa, sih? Aku mau tidur!" Suara cowok itu kian jauh. Sepertinya kembali ke depan.

Tak ada sahutan dari Raga. Suasana kembali sunyi. Tinggal aku yang terdiam, menikmati panorama tanpa bisa meresapi keindahannya dengan sempurna.

Hatiku dilanda kekacauan tingkat semesta. Apa-apaan mereka itu? Bisa-bisanya berebut untuk menolakku. Astaga, pedihnya tak terkira. Tanpa mereka bersikap demikian pun, aku sudah cukup tahu diri untuk tidak berharap lebih.

 

🍁🍁

 

 

1
leovakidd
👍
Mugini Minol
suka aja ceritanya
leovakidd: masya Allah, makasih kakak 😍
total 1 replies
Kiran Kiran
Susah move on
leovakidd: pasukan gamon kita
total 1 replies
Thảo nguyên đỏ
Mendebarkan! 😮
leovakidd: Thanks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!