NovelToon NovelToon
Hidup Yang Tidak Terpenuhi

Hidup Yang Tidak Terpenuhi

Status: tamat
Genre:Tamat / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Keluarga
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Rifaat Pratama

Menganggur selama 3 tahun sejak aku lulus dari Sekolah Menengah Atas, aku tidak mengetahui ada kejadian yang mengubah hidupku.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifaat Pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 15

Ibuku dan Adik-adikku duduk bersamaku. Saat kami sedang duduk di samping Ayah, Pak Kepala Desa mendatangi kami.

“Ibu maaf, tinggi Bapak berapa ya? Ini buat tanah kuburannya.” Kata Kepala Desa.

“175cm, Pak.” Ibuku menjawab.

Pak Kepala Desa saat itu mencoba membantu mengurus semua perihal pemakaman Ayah, beliau adalah orang mencarikan tanah untuk Ayah. Beliau saat ini sedang berbicara dengan seseorang melalui telpon, menanyakan perihal harga tanah kuburan untuk tempat Ayah dimakamkan.

Saat dia berbicara, dia tidak berada jauh dariku, jadi aku bisa mendengar pembicaraannya.

“3 Juta, Pak?” Pak Kepala Desa itu tampak terkejut dengan harga tanah yang ditawarkan, aku tidak tahu apakah itu mahal atau murah untuk harga tanah kuburan. Tetapi saat itu Pak Kepala Desa mencoba bernegosiasi dengan seseorang yang sedang dia telpon.

“Kalau kurang bisa gak ya, Pak?” Tanya Pak Kepala Desa itu.

Terjadi keheningan untuk beberapa saat, Pak Kepala Desa hanya diam menunggu jawaban, di sisi lain orang yang berada di sisi lain telpon seperti sedang memikirkan harga yang cocok untuk dikatakan.

Setelah itu Pak Kepala Desa kembali menghampiri kami, dia menurunkan badannya dan menyandarkan kedua lututnya ke tanah.

“Bu, ini ada tanahnya. Kalau 2 juta mau ga, Bu? Saya tadi sudah nego lagi cuma kata dia udah mentok.” Pak Kepala Desa berbicara dengan lembut, tampak dari wajahnya seperti seseorang yang sudah mencoba berbagai cara, tetapi saat ini beliau mengalami kebuntuan. Ibuku melihat ke arahku, uang 2 juta bukanlah sesuatu yang sedikit untuk kami. Namun, untuk situasi seperti sekarang aku anggap itu sangatlah sedikit.

Gaji Ayahku yang selalu dibayarkan tiap bulan memang hampir menyentuh angka 10 juta, tetapi itu sangat cukup untuk menyekolahkan Adik-adikku dan untuk makan kami sehari-hari. Keluargaku jarang membeli makanan cepat saji atau sekedar membeli cemilan untuk makanan ringan, karena Ibu sangat menghargai kerja keras Ayah. Namun, Ayah selalu meminta Ibu setidaknya membelikan anak-anaknya apa yang mereka mau.

Aku tidak tahu apakah Ibu menyimpan uang sebanyak itu saat ini. Dengan cepat, aku menyela pembicaraan dalam keheningan itu.

“Yaudah gapapa, Pak.” Aku berkata kepada Kepala Desa. Kepala Desa itu melihatku dan melihat Ibuku, saat kami berdua setuju, beliau kembali berdiri dan berbicara dengan seseorang di telponnya.

“Udah biarin, Bun. Saya masih ada uang.” Kataku mencoba menenangkan Ibu, aku memang memiliki beberapa tabungan dari permainan yang sudah kujual. Walaupun aku awalnya mengumpulkan uang itu dengan tujuan jika ada sesuatu yang mendesak, aku bisa menggunakannya. Dan mungkin ini adalah situasi yang tepat untuk aku keluarkan.

Setelah itu, Ibu-ibu di lingkungan rumahku berdatangan. Mereka menyampaikan belasungkawa dan memeluk Ibuku, mereka meminta Ibuku untuk sabar dan tetap tabah.

2 jam berlalu, Nenekku, Ibu Ayah sampai di rumah. Ketika dia sampai di depan pintu dan melihat anaknya terbaring kaku di atas lantai dengan pakaian serba putih, Nenek tidak bisa menahan tangisannya. Dengan tubuh tuanya Nenek berlari dan langsung memeluk Ayah. Nenek meminta maaf kepada Ayah karena hanya bisa berbicara melalui telpon dan belum menengoknya akhir-akhir ini.

Sepupuku juga datang, ekspresi mereka seakan tidak percaya bahwa Ayahku telah berpulang. Pamanku, Adik Ayah hanya memperhatikan Ayah sambil berdiri. Paman menggunakan kacamata hitam saat itu, membuatku tidak bisa melihat matanya. Dia bukanlah tipe orang yang suka menggunakan kacamata hitam, bahkan ini pertama kalinya bagiku melihat Pamanku menggunakan kacamata hitam.

Aku tidak tahu apakah Paman menggunakan itu untuk menutupi matanya agar orang lain tidak bisa melihatnya menangis atau dia hanya spontan menggunakannya untuk berkendara. Bibiku memeluk Nenek, mereka berdua menangis di depan Ayah.

Nenek mengecup dahi Ayah dengan lembut, begitu juga dengan Bibi. Paman hanya diam berdiri, bersandar di tembok melihat Ayah dengan dari kacamata hiramnya. Saat Nenek dan Bibi sudah selesai, Paman mendekat dan berbicara kepada Ayah.

Paman adalah orang yang sangat dekat dengan Ayah, walaupun sifat mereka berbeda seperti dua sisi koin. Mereka sangat tidak terpisahkan.

“Maafin saya ya, bro. maafin kalau saya ada salah.” Paman mungkin menggunakan kacamata hitam untuk menutupi matanya, tetapi dia tidak bisa menutupi nada suaranya yang sedih ketika mengatakan itu. Sambil mengusap wajah Ayah, Paman juga mencium Ayah.

Melihat Nenek, Paman dan Bibiku yang mencium Ayah, aku juga ikut mencium Ayah. Jika dipikir-pikir, aku tidak tahu kapan terakhir kali aku mencium Ayahku. Kapan terakhir kali aku menyentuh wajahnya juga aku tidak ingat. Tetapi sekarang aku ingat, hari ini adalah hari terakhir aku melakukan itu.

Setelah itu seorang pemuda yang tidak kukenal tapi sering kulihat masuk ke dalam.

“Pak, mobilnya udah siap.” Pemuda itu berkata kepada Kepala Desa. Kemudian Kepala Desa menyampaikannya kepada kami. Ternyata mereka sudah menyiapkan mobil untuk mengangkut Ayah ke tempat pemakaman.

Untuk terakhir kalinya kami berkumpul di sekitar Ayah, mencium kening Ayah secara bergantian karena itu akan menjadi saat terakhir kami bisa melihat wajah Ayah secara langsung.

Beberapa orang tua dan anak muda masuk, mereka mencoba mengangkat Ayah ke dalam peti mati. Aku membantu mereka, saat aku menyetuh tubuh Ayah, tubuh Ayah sudah sangat kaku dan keras. Ketika kami sudah memasukkan Ayah ke dalam peti mati, kami semua menggotong peti mati itu untuk naik di atas mobil.

Tempat pemakaman yang sudah dipesan berjarak 15 menit dari rumahku. Karena ini adalah hari kerja, jalanan sangat ramai dengan motor dan mobil yang melewati jalan itu. Semua orang dengan pakaian kantor dan seragamnya selalu terlihat setiap kali aku melihat ke arah jalan.

Karena kami membawa peti mati di atas mobil terbuka, semua orang melihat ke arah kami. Mereka melihat seperti seseorang yang terkejut dan merasa emosi yang tidak tergambarkan. Mereka seakan melihat tempat peristirahatan terakhir mereka ada di depan mata mereka.

Saat kami tiba di tempat pemakaman, seluruh warga desa di lingkunganku ternyata mengikuti kami dari belakang. Mereka semua menggunakan sepeda motor dan ada lebih dari 60 orang yang mengawal kami. Tempat pemakaman saat ini juga sangat ramai. Selain Ayah, aku melihat ada 1 peti mati lagi ketika aku tiba di sana.

Kami menurunkan peti mati Ayah, menggotongnya ke tanah yang sudah disiapkan oleh pihak pemakaman. Aku berdiri paling depan, menggotong bagian kanan dari peti mati itu. Sementara Adikku yang laki-laki menggotong di bagian kiri.

Tempat terakhir peristirahatan Ayah ternyata cukup jauh dari tempat parkirnya. Beberapa kali aku merasa pegal di bahuku karena ini terasa sangat berat, tetapi aku tidak terlalu memikirkan tubuhku sekarang.

Momen ini adalah momen terakhirku bersama Ayah, mengantar Ayah pulang ke tempat peristirahatan terakhirnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!