Setelah dikhianati sang kekasih, Embun pergi ke kota untuk membalas dendam. Dia berusaha merusak pernikahan mantan kekasihnya, dengan menjadi orang ketiga. Tapi rencanya gagal total saat Nathan, sang bos ditempatnya kerja tiba tiba menikahinya.
"Kenapa anda tiba-tiba memaksa menikahi saya?" Embun masih bingung saat dirinya dipaksa masuk ke dalam KUA.
"Agar kau tak lagi menjadi duri dalam pernikahan adikku," jawab Nathan datar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BELANJA
Sebenarnya Bu Salma melarang Nathan dan Embun pulang. Dia masih ingin lebih mengenal menantunya tersebut, tapi apa daya, Nathan sudah sangat memaksa.
"Kapan-kapan, Mama nginep dirumah kami saja," tawar Embun.
"Gak usah sok-sok an deh," sahut Navia cepat. "Emang kamu bisa ngurus Mama?" tanyanya sambil tersenyum meremehkan.
"Dulu alm. Ayahku juga sakit kayak Mama. Aku udah biasa ngurus orang stroke," ujar Embun.
"Mama percaya sama Embun. Dia pasti bisa ngurus Mama." Bu Salma menggenggam tangan Embun, rasanya dia belum rela berpisah dengan menantunya.
Navia berdecak kesal, sambil menatap Embun sengit. Bahkan saat Embun berpamitan mau pulang, Navia tak mau menjabat tangannya, yang ada malah melengos.
Bu Salma hanya bisa mengelus dada. Tapi memarahi Navia didepan orang, hanya akan membuat putrinya itu kesal. Jadi lebih baik, dia menunggu momen untuk bicara dengan Navia. Dan setelah Embun dan Nathan pulang, baru Bu Salma mengajak Navia bicara berdua.
"Kamu itu kenapa, kelihatannya kok gak suka benget sama Embun?" Bu Salma bukan orang bodoh yang tak bisa menyadari itu.
"Mama jangan mudah ketipu sama dia. Dia itu cuma baik didepan doang, aslinya mah kebalikannya."
"Kebalikannya gimana?" Bu Salma mengerutkan kening. "Mama lihat Embun baik kok, sopan, dan perhatian sama Mama. Daripada mantannya Nathan yang dulu, jauh banget sama Embun."
"Mama," Navia memekik tertahan. "Mama itu belum tahu aja aslinya Embun gimana."
"Aslinya? Aslinya gimana maksud kamu?"
"Dia itu pe_" Navia hampir saja keceplosan.
"Pe, pe apa?" Bu Salma mengerutkan kening.
"Dia pelakor."
"Astaghfirullah," Bu Salma mengelus dada. "Jangan nuduh sembarangan kamu Nav. Pelakor darimana, orang Nathan itu masih single, bukan suami orang."
"Bukan Kak Nathan maksud Navia Mah, tapi orang lain. Sebelum nikah sama Kak Nathan, dia pacaran sama laki orang." Navia jelas tak mau menyebut jika laki-laki itu adalah Rama. Dia tak mau nama Rama jelek dimata mamanya.
"Masak sih, Mama gak percaya. Masa Embun yang cantik dan pinter mau sama laki orang? Buktinya ngegaet Nathan aja dia bisa, masa iya dia mau sama laki orang? Laki itu kali yang ngejar-ngejar Embun."
Mata Navia seketika melotot. Kenapa gak Nathan gak mamanya, semua pada nyalahin Rama. "Udahlah, percama Nav ngomong sama Mama. Mama itu udah terlanjur kemakan omongan wanita itu. Jadi apapun tentang dia, terlihat baik dimata Mama." Navia yang kesal pergi begitu saja. Lagi lagi, Bu Salma hanya bisa mengelus dada melihat perangai putrinya.
.
Sementara Nathan dan Embun, mereka mampir ke supermarket untuk belanja. Embun tampak bersemangat, berbeda dengan Nathan yang tampak ogah ogahan. Bahkan pria itu sejak tadi hanya sibuk dengan ponsel, sama sekali tak mau membantu Embun.
"Kesukaan Bapak apa? Ikan, ayam, atau apa?" Embun ingin tahu agar dia bisa memasak apa yang Nathan suka.
Tapi yang ditanya, malah kayak orang bisu dan tuli, diam seribu bahasa dan hanya fokus menatap ponsel.
Sabar Mbun, sabar. Orang sabar disayang Tuhan.
"Salmon suka gak, Pak?" Yang ditanya masih setia dalam diam. "Kalau cumi?" Embun menunjuk kearah Nathan. Tapi masih sama, suara Embun dianggap seperti sirine mobil polisi, meski meraung raung, tak butuh ditanggapi.
Karena tak ada jawaban, Embun mengambil semua yang menurutnya enak untuk dimasak lalu menaruhnya kedalam troli. Mereka lanjut berjalan hingga bagian sayur.
"Bayam suka gak? Kalau brokoli? Jagung, sawi, timun, terong, wortel?" Embun menunjukkan satu persatu dimuka Nathan hingga pria itu geram. Embun telah mengganggu konsentrasinya.
"Terserah," desis Nathan. "Ambil saja apapun yang kamu mau, gak usah banyak nanya."
"Ya aku kan pengen tahu, apa saja kesukaan Bapak. Aku cuma tahu, Bapak gak suka makan daging. Tapi lainnya, aku tidak tahu."
"Kamu beneran pengan tahu apa yang aku tak suka?" tanya Nathan.
Embun mengangguk cepat.
"Aku tak menyukai orang yang banyak bicara," tekannya sambil melotot. "Dan satu lagi, aku tak suka dipanggil BAPAK."
Embun membuang nafas berat. "Baiklah, aku tak akan banyak nanya lagi. Dan aku juga gak akan manggil bapak tapi manggil sa_"
"Embun!" potong Nathan sambil melotot.
"Iya, iya, gak manggil bapak ataupun sayang."
Menyebalkan! Sebenarnya dia minta dia minta dipanggil apa sih?
"Panggil Nath atau kakak saja."
What! Dia bisa denger gitu suara hatiku.
Mereka lanjut menyusuri rak demi rak yang ada disupermarket. Kali ini, Embun langsung mengambil apapun tanpa banyak bertanya. Karena kalau bertanya, pasti kena marah.
Mengingat tak ada bahan makanan apapun dirumah, belanjaan yang diambil Embun cukup banyak kali ini. Sampai-sampai, trolinya hampir penuh.
Tak jauh darinya seorang laki laki terlihat mendorong troli saat menemani istrinya belanja. Tapi Nathan, alih alih membantu mendorong troli, ditanya saja, gak mau jawab.
"Beruntung sekali wanita itu, suaminya perhatian, mau bantu dorong troli." Kalimat bernada sindiran itu dia tujukan pada Nathan. Tapi percuma, Nathan sama sekali tak menggubris omongannya.
Embun berdecak sambil menghentakkan kakinya kelantai. Sebenarnya dia belanja dengan suami apa dengan patung, kaku sekali. Bahkan untuk mengeluarkan sepatah kata, rasanya beratt banget. Dah kayak disuruh ngangkat batu 1 ton.
Rasa kesal yang menumpuk, membuat Embun berjalan cepat, meninggalkan Nathan yang sedang sibuk dengan ponsel. Saat dia menoleh, Nathan masih terlihat santai. Sama sekali tak ada niatan untuk mengejarnya. "Benar-benar pria itu," Dada Embun bergemuruh, rasanya pengen meledak.
Embun hendak mengambil sesuatu yang terletak dirak paling atas. Dia sampai berjinjit karena kesulitan mengambil.
"Biar saya ambilkan," seseorang tiba-tiba bicara pada Embun.
"Em....apa tidak merepotkan?"
Pria itu tertawa ringan sambil meraih benda yang hendak diambil Embun. "Sama sekali tidak," ujarnya sambil menyodorkan benda tersebut.
"Makasih."
"Belanjaannya banyak juga," pria tersebut menatap troli milik Embun. "Sendirian?"
Embun hanya tersenyum. Mau bilang sendirian, kenyataannya dia bersama Nathan. Mau bilang berdua, eh...sejak tadi dia berasa sendirian.
"Kalau gak keberatan, saya bisa bantuin dorong trolinya."
"Eng-gak usah." Embun melirik Nathan, suaminya itu terlihat masih sibuk dengan ponsel.
"Daniel," pria tersebut mengulurkan tangan kearah Embun.
Embun hanya diam beberapa saat, hingga akhirnya, demi kesopanan dia menjabat tangan Daniel sambil menyebutkan nama.
"Masih banyak yang mau dibeli?" tanya Daniel.
"Eng-enggak kok. Ini udah mau kekasir."
Daniel menarik troli milik Embun lalu bersiap mendorong. "Ayo, aku bantu dorong sampai kasir." Embun menggeleng cepat, tapi Daniel mengabaikannya dan memilih terus mendorong.
Daniel tersentak kaget saat seseorang menarik kasar troli yang dia dorong. "Biar saya saja yang dorong," ucap pria yang ternyata adalah Nathan.
"Siapa anda?" Daniel menyeringai tipis.
"Anda yang siapa?" Nathan tampak kesal dengan pertanyaan Daniel. "Ini belanjaan saya dan dia," Nathan menunjuk dagu kearah Embun. "Istri saya."
"Astaga, jadi nona cantik itu tak sendirian," Daniel malah tersenyum sambil menatap Embun sesaat. Setelah itu, dia beralih menatap Nathan. "Lain kali kalau nemenin istri belanja itu dibantuin, bukan dilihatin dari jauh doang kayak satpam. Untung baru trolinya yang pindah tangan, kalau istrinya?" Daniel tersenyum miring. "Yakin gak nyesel kehilangan istri cantik," lanjut Daniel sambil menepuk bahu Nathan lalu pergi.
"Sialan pria itu," umpat Nathan. Dia lalu menatap Embun tajam.
"Kok ngeliatin aku sampai segitunya?" Embun sampai salah tingkah. "Aku gak minta bantuan dia, dia sendiri yang maksa bantu."
Nathan membuang nafas kasar lalu berhenti menatap Embun tajam. "Sekarang ngomong, apa lagi yang kamu butuhin, biar aku ambilin."
"Telat," sahut Embun sambil melotot. "Siniin, biar aku bawa kekasir," dia hendak mengambil aloh troli tapi Nathan melarang.
"Biar aku aja yang bawa sekalian bayar." Nathan nyelonong menuju tempat kasir, meninggalkan Embun yang masih mematung sambil melipat kedua tangan didada.