Mentari merupakan seorang perempuan yang baik hati, lembut, dan penuh perhatian. Ia juga begitu mencintai sang suami yang telah mendampinginya selama 5 tahun ini. Biarpun kerap mendapatkan perlakuan kasar dan semena-mena dari mertua maupun iparnya , Mentari tetap bersikap baik dan tak pernah membalas setiap perlakuan buruk mereka.
Mertuanya juga menganggap dirinya tak lebih dari benalu yang hanya bisa menempel dan mengambil keuntungan dari anak lelakinya. Tapi Mentari tetap bersabar. Berharap kesabarannya berbuah manis dan keluarga sang suami perlahan menerimanya dengan tangan terbuka.
Hingga satu kejadian membuka matanya bahwa baik suami maupun mertuanya dan iparnya sama saja. Sang suami kedapatan selingkuh di belakangnya. Hanya karena pendidikannya tak tinggi dan belum juga dikaruniai seorang anak, mereka pun menusuknya dari belakang.
Tak terima perlakuan mereka, Mentari pun bertindak. Ia pun membungkam mulut mereka semua dan menunjukkan siapakah benalu sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH SEMBILAN
Lagi-lagi Shandi bangun terlambat. Saat melihat jarum jam di dinding, Shandi langsung menyibak selimut dan berlari menuju kamar mandi. Ia benar-benar khawatir terlambat tiba di kantor. Apalagi hari ini akan ada penyambutan kedatangan pemimpin perusahaan yang sebenarnya.
Shandi pun sebenarnya penasaran dengan sosok pemilik perusahaan tempat dirinya mengais rejeki lebih dari 5 tahun ini. Apalagi menurut beberapa orang yang melihatnya, sosok itu sangatlah cantik, ramah, dan pasti tidak sombong seperti para pemimpin lainnya.
Sekeluarnya dari dalam kamar mandi, Shandi langsung menuju ranjang. Kemudian ia mengumpat, ternyata ia belum bisa melupakan kebiasaan Mentari yang selalu menyiapkan pakaiannya agar setiap ia selesai mandi, ia tak perlu mencari-cari pakaian lagi.
"Sial!" umpatnya kesal. Diliriknya jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 7 lewat 12 menit. Sedangkan lama perjalanan menuju kantor sekitar 30 menit. Dan jam kerja mulai pukul 8. "Erna, apa kau tidak bekerja?" teriak Shandi sambil bergegas menuju lemari pakaian.
"Emangnya ini jam berapa?" tanya Erna sambil menggeliat kemudian menguap.
"Lihat sendiri, bisa kan!" ketus Shandi kesal. Bila biasanya Mentari di jam segini sudah bangun dan membantunya menyiapkan segala hal, berbeda dengan Erna. Yang bangun tidur saja harus selalu ia yang membangunkan. Bila Shandi menasihati, ia selalu beralasan bawaan hormon kehamilan. Sudah, akhirnya Shandi terdiam. Membantah pun percuma. Ia tak ingin terus berdebat yang ujung-ujungnya ia lah yang disalahkan karena dianggap tak peka, tak perhatian, tak pengertian.
Erna pun gegas turun dari atas ranjang. Bahkan tanpa rasa malu sedikitpun, ia berjalan begitu saja dengan tubuh dalam keadaan polos tanpa sehelai benangpun.
Lagi-lagi Shandi teringat Mentari yang meski telah 5 tahun menikah, ia masih suka malu-malu membuat Shandi tanpa sadar tersenyum sendiri mengingat ekspresi Mentari yang menggemaskan.
"Astaga, apa-apaan aku ini! Kenapa aku malah teringat perempuan murahan itu sih!" Shandi berdecak kesal. Entah apa yang telah dikatakan ibu, adik, dan istrinya tentang Mentari hingga membuat Shandi makin membenci sosok mantan istrinya itu.
"Shiiit, baju-baju aku kemana sih?" geram Shandi. Padahal jarum jam terus bergulir, tapi ia belum menemukan pakaian yang cocok untuk ia segera pakai.
"Erna, baju-baju aku mana?" pekik Shandi yang mulai tak sabar.
"Coba liat di tempat pengeringan. Biasanya pakaian yang belum disetrika ada di sana," tukas Erna menyahuti dari dalam kamar mandi.
"Tempat pengeringan? Dimana itu?" gumam Shandi yang langsung berhambur mencari tempat itu. Selama ini, karena segalanya telah disiapkan Mentari, ia sampai tak tahu kalau ada tempat semacam itu di rumah ini. Setelah menemukan tempat tersebut, dahi Shandi mengernyit sebab di sana ada 2 tumpukan pakaian. Di hampir ya salah satu tumpukan itu lalu diambilnya salah satu kemeja yang ada di sana. Namun saat kemeja itu telah berada di tangan, aroma tak sedap justru menguar.
"Shiiit! Ternyata ini belum dicuci."
Kemudian Shandi menghampiri tumpukan lainnya. Ternyata itu merupakan tumpukan pakaian bersih. Tapi masalah adalah semua pakaian itu kusut semua. Shandi mendesah frustasi. Ingin menyetrika dahulu, Tapi waktu sudah tak cukup lagi ia bisa benar-benar terlambat kita harus menyetrika lebih dahulu. Apalagi hari ini pimpinan perusahaan yang sebenarnya akan datang. Ia tak mau menciptakan citra yang buruk di depan pimpinan perusahaannya tersebut. Justru ia berharap bisa mencari perhatian pada pimpinan perusahaannya agar jabatannya bisa dinaikkan kembali.
"Astaga, masa' aku harus pergi ke kantor dengan baju kusut begini sih? Tapi aku sudah tak punya pilihan lain," desah Shandi saat melihat penampilannya di depan cermin yang terlihat begitu kacau. Sungguh, ia tak pernah seperti ini sebelumnya. Biasanya ia selalu berpenampilan rapi dan necis. Tapi kali ini, ia tidak seperti Shandi yang biasanya. "Bagaimana mau mencuri perhatian pimpinan kalo penampilanku aja sudah kayak gembel."
Shandi meraup wajahnya frustasi. Kemudian ia segera meraih tasnya tanpa mempedulikan Erna yang masih bersiap-siap. Shandi berjalan menuju dapur, sama seperti kemarin-kemarin selama beberapa bulan ini, meja itu selalu kosong. Tak pernah ada menu sarapan di atasnya. Padahal perutnya sudah sangat lapar. Shandi akhirnya memilih mengambil segelas penuh air putih dan menenggaknya hingga tandas. Setelahnya ia segera menuju kantor.
...***...
Setibanya di kantor, Shandi langsung berlarian masuk ke dalam lobi kantor. Ia sudah panik sebab keadaan kantor sudah sepi. Ia yakin, pasti semua orang sudah berkumpul di aula gedung yang ada di lantai 4. Ia pun segera masuk ke dalam lift dan memencet lantai nomor 4. Setelah sampai, Shandi kembali berlarian dan masuk begitu saja ke aula. Dan benar saja, semua orang tampak sudah berdiri rapi. Mereka sudah tak sabar menantikan saat-saat untuk melihat sang pimpinan yang konon katanya memang sangat cantik. Shandi saja sampai berdebar-debar, ikut antusias dan penasaran dengan sang pimpinan yang kini sedang jadi idola para staf laki-laki di perusahaan itu.
"Loe kemana aja , Shan? Untung aja pak Galih belum muncul, coba kalau udah, bisa-bisa kena SP loe!" bisik salah seorang rekannya.
"Kesiangan," jawab Shandi sambil nyengir.
"Loe aneh, Shan sekarang. Semenjak loe turun jabatan, loe jadi sering telat. Padahal dulu nggak pernah. Malah kamu terkenal sebagai karyawan disiplin," tukas rekan Shandi heran.
Shandi hanya tersenyum masam, tak mungkin ia menceritakan alasannya kan. Tentu saja ini karena beda istri, beda cara melayani.
Kruakkk ...
"Loe lapar? Belum sarapan?" tanya rekannya saat mendengar suara perut Shandi yang berdemonstrasi meminta jatah makan paginya.
Shandi meringis sambil mengusap belakang kepalanya, 'sial, malu-maluin aja.' gumamnya dalam hati.
Tak lama kemudian, suara riuh terdengar dari arah depan dekat dengan panggung. Ternyata satu persatu dewan direksi muncul dengan setelan yang super rapi. Sepertinya mereka begitu antusias dan ingin menyambut kedatangan pimpinan perusahaan dengan begitu totalitas. Bahkan rekan setimnya pun tampil lebih rapi dari biasanya, berbeda dengan dirinya yang tampak sangat kacau.
Tak lama kemudian, Galih pun muncul. Di sampingnya ada seorang perempuan yang terlihat masih begitu muda dengan kemeja putih slim fit di balut blazer berwarna navy dan rok abu-abu sebatas lutut. Mungkin itu merupakan pemimpin mereka, pikir Shandi. Karena Mentari memakai kacamata hitam dan rambutnya sudah dipotong pendek sebatas pundak, membuatnya tidak bisa mengenali sosok itu.
Suasana tampak makin riuh apalagi saat Mentari telah berdiri di atas podium menghadap semua karyawannya.
Kemudian Mentari membuka kacamatanya membuat dahi Shandi mengernyit. Ia merasa begitu familiar dengan wajah itu.
"Nggak, nggak mungkin itu Tari kan? Kenapa pikiran ku jadi kacau sih? Kok keingetan Tari melulu? Hah, sudahlah Shandi, buat apa mengingat-ingat perempuan itu. Lagipula kalian sudah bercerai. Sudah, lupakan dia, tak usah ingat-ingat lagi," gumam Shandi.
Namun fokusnya masih ke arah depan. Namun, saat sosok itu memperkenalkan dirinya, mata Shandi langsung terbelalak sempurna. Wajahnya pias. Bibirnya memucat.
"Halo semua, perkenalkan, saya Mentari Dwi Pertiwi. Mulai hari ini, saya akan memimpin secara langsung perusahaan ini setelah tahun-tahun sebelumnya selalu bekerja di balik layar. Mohon kerjasamanya!" ucap Mentari lalu ia menganggukkan sedikit kepalanya.
Kemudian Galih meminta seluruh karyawan bersalaman satu persatu dengan Mentari sebagai salam perkenalan. Mereka pun menyambut dengan antusias kemudian melakukan sesuai titah atasan mereka itu. Hingga tiba saatnya Shandi berhadapan dengan Mentari. Mentari tersenyum sinis, sedangkan Shandi tampak linglung.
"Ta-Tari ... ini ka-mu?" tanya Shandi terbata sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Surprise," desis Mentari sambil menyambut tangan Shandi dengan tersenyum menyeringai membuat nafas Shandi tercekat. Pasokan oksigen dalam dadanya seakan tiba-tiba menipis. Tubuhnya berkeringat dingin. Matanya mengerjap beberapa kali.
"Heh, kamu! Minggir sana, masih banyak karyawan yang mau bersalaman dengan ibu Mentari," tukas salah satu petinggi perusahaan bernama Arga. "Maaf Bu, kalau ada karyawan yang kurang sopan," ujar Arga yang memang sedang mencari perhatian pada Mentari.
"Ah, tidak apa pak Arga!" sahut Mentari seraya tersenyum. Shandi pun terpaksa menyingkir dari sana setelah beberapa karyawan mendorongnya agar menjauh sebab mereka pun ingin berkenalan dengan atasan mereka tersebut.
'Nggak, nggak, ini pasti mimpi! Mana mungkin tiba-tiba Tari jadi pemilik perusahaan ini?' batin Shandi bermonolog.
"Woy, bro! Kenapa loe liatin Bu bos sampai nggak berkedip kayak gitu? Terpesona loe? Nggak usah mimpi loe, bro. Saingan loe berat," tukas rekan kerja Shandi sambil menunjuk ke arah podium dimana banyak laki-laki berjas mahal mengelilingi Mentari sudah seperti bodyguard yang mengawal tuannya.
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...