NovelToon NovelToon
Danyang Wilangan

Danyang Wilangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Horror Thriller-Horror / Mata Batin / Roh Supernatural
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: neulps

RONDHO KANTHIL SEASON 2

4 tahun setelah tragedi yang menjadikan Desa Wilangan tak berpenghuni. Hanum masuk usia puber dan kemampuan spesialnya bangkit. Ia mampu melihat kejadian nyata melalui mimpi. Hingga mengarah pada pembalasan dendam terhadap beberapa mantan warga desa yang kini menikmati hidup di kota.
Hanum nyaris bunuh diri karena setiap kengerian membuatnya frustrasi. Namun seseorang datang dan meyakinkannya,
“Jangan takut, Hanum. Kamu tidak sendirian.”

CERITA FIKTIF INI SEPENUHNYA HASIL IMAJINASI SAYA TANPA MENJIPLAK KARYA ORANG LAIN.
Selamat membaca.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon neulps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rekan

“Aku inget!” pekik Nayla sambil menggebrak meja tiba-tiba. Membuat kaget teman sekelas yang sedang asyik bercanda. Bahkan sesosok kuntilanak yang mondar-mandir di depan kelas dan dua tuyul yang sedang mengobok isi tas teman juga terkejut lalu menghilang.

“Apaan sih, Nay?”

“Ngagetin aja!”

Nayla tak mengindahkan protes teman-temannya. Ia berjingkat keluar kelas tanpa peduli apa pun bahkan mengabaikan Sandi yang baru tiba di depan pintu. “Naya, kita―” Kalimat Sandi terhenti karena Nayla malah berlari. Sandi menoleh ke dalam kelas dengan wajah malu. Teman-teman Nayla menatapnya dengan simpati.

Nayla celingukan di depan pos satpam. Sepi. Di halaman sekolah pun tak tampak siapa pun berlalu lalang. Mendadak bulu tangannya berdiri. Menerka bahwa dirinya masuk ke alam seberang lagi. “Pak Satpam? Pak Mahesa? Om ganteng?” Nayla mencoba memanggil beberapa kali.

Bahu kanan Nayla ditepuk pelan dari belakang. Gadis itu terperanjat lalu memutar badan. Mahesa menatapnya dengan sorot mata tenang dan raut wajah sangar.

“Ada apa?” tanya Mahesa.

Nayla mundur selangkah. Diamatinya setiap detail pada diri pria di hadapannya itu. “Om yang pernah dateng ke SD sama Mbak Mirandani, kan?” cecar Nayla, “yang waktu itu Lik Warsih ngamuk nyariin Hanum sambil bawa parang?”

Sejenak Mahesa terdiam. Nayla makin memberondongnya, “Jangan coba-coba bohong ya, Om, aku inget soalnya. Aku pernah lihat Om ngekorin Mbak Mira nganter katering waktu itu dari jendela kelasku.”

“Kalo iya, kenapa?”

Nayla mendengus singkat. “Berarti Om sengaja kerja di sini buat ngawasin anak-anak Wilangan? Terutama aku yang anak penjahat ini?”

“Kenapa kamu mikirnya gitu?”

“Karena Om orangnya Mbak Mira,” jawab Nayla segera. “Aku tahu kalian musuhin Ayahku sama komplotan sesatnya.”

Mahesa mendengus sarkas. “Ayahmu yang jahat, bukan kamu. Jadi nggak ada alasan buatku ngawasin kamu.”

“Bohong!” hardik Nayla. “Tujuan kalian kan memberantas sekte sesat itu sampai ke akarnya!”

“Kamu ngerasa jadi akarnya?” tukas Mahesa. Ditariknya tangan Nayla dan menekan bahu gadis itu sampai terduduk di kursi. “Emang bener tujuan kami kayak gitu. Tapi kamu kan tahu, para pengikut Mijah udah kekubur bersama.”

Napas Nayla tercekat di tenggorokan. Ia merasa tak pantas membicarakan masalah itu karena rasa malunya yang besar. “Apa jasad Mbak Mira... juga nggak bisa ditemuin kayak Ayahku?” tanyanya dengan ragu-ragu.

Mahesa mengangguk pelan. Tampak wajah galak itu kini sedikit menyebak. “Warga desa sama orang-orang kota emang bisa ditemuin. Bahkan jasad anak-anak yang selama ini jadi korban tumbal juga terevakuasi berkat longsor itu yang bikin para penyelamat nggak sengaja ngegali mereka. Tapi Kak Mir, Ayahmu, Ki Dalang, Mijah, dan beberapa pengikut tersesat seolah ditelan bumi.”

Tangan Nayla meremas sisi roknya. Dadanya bergemuruh karena kembali mengingat tragedi kala itu. “Aku bukan orang jahat, kok.”

“Aku tahu,” sahut Mahesa. “Aku harap kamu bisa jadi pribadi yang kuat dan melindungi yang lemah.”

Nayla mendongak. “Apa Om tahu soal keistimewaan adikku?”

“Hanum?”

Nayla mengangguk. Mahesa menghela napas panjang. Melipat tangan di dada lalu menyandarkan punggung di gawang pintu. “Anak itu jadi target lelembut. Aku ke sini buat jagain dia biar nggak dimangsa.”

Seketika Nayla berdiri. Sorot matanya berapi-api. “Berarti kita sekutu dong, Om?”

Mahesa mengernyit. Nayla ngeyel, “Iya, Om, kita sekutu, soalnya aku juga lagi usaha lindungin dia dari mereka. Akhirnya aku nggak sendirian!” Nayla tersenyum lega dan penuh antusias menatap Mahesa.

“Seneng amat?”

“Jelas seneng lah, Om!”

Mahesa tersenyum sekilas lalu melengos. “Tapi aku nggak menoleransi orang lemah.”

Nayla nyengir. “Aku janji nggak akan jadi beban.”

“Yaudah, sana kamu balik ke kelas. Mentang-mentang lagi jamkos. Kalo kamu di sini terus malah ngerecokin kerjaanku.”

“Iya, iya!” Nayla mengentak keluar pos sambil bersungut-sungut. Baru beberapa langkah langsung berhenti. Dilihatnya Sandi sedang berdiri mematung menatapnya dan Mahesa secara bergantian.

“Naya, kamu suka ya sama satpam baru itu?”

Nayla membelalak. Lalu menggeleng cepat. “Ngawur!”

***

Hanum termenung dengan wajah pucat di kursi belakang. Seorang anak perempuan yang sedang bergurau dengan teman-teman langsung diam lalu menghampiri Hanum. Anak itulah yang kemarin mengantar Hanum ke UKS karena buru-buru pulang jadi ia titipkan pada perawat.

“Hanum? Kamu kenapa ngelamun?”

Hanum mendongak menatap teman sekelasnya itu. “Siska?” gumam Hanum.

“Ikut aku nimbrung sama temen-temen, yuk! Kamu kan belum kenalan sama yang lain?”

Hanum mengalihkan pandangan ke teman-teman sekelas yang menatapnya dengan datar. Ia sudah merasakan ketidaknyamanan sejak masuk ke kelas itu beberapa hari yang lalu. Teman-teman sekelas terkesan dingin terhadapnya. Ia sampai berpikir negatif bahwa mungkin saja perlakuan mereka yang seperti itu karena tahu dirinya berasal dari desa petaka.

Hanum menatap lagi ke arah Siska. Ia menggeleng pelan dan berkata, “Nggak usah. Aku lagi nggak enak badan, jadi di sini aja.” Di saat teman-teman tak mau menyapanya lebih dulu, hanya Siska yang segera mengulurkan tangan dan menolongnya saat sakit kemarin. Meski mereka tak sebangku, Hanum tetap lega karena setidaknya ada satu orang di kelas yang mau peduli padanya.

Siska menghela napas panjang. Kemudian duduk di bangku kosong sebelah Hanum. “Kamu masih sakit, ya? Bu UKS nggak kasih kamu obat?”

Hanum tersenyum. “Aku dikasih, kok. Tapi itu obat sakit perutku, kalo sekarang ini kondisi badanku aneh gitu.”

“Aneh gimana?”

Hanum menggeleng. Ia pun tak yakin dengan dirinya. “Aku lemes banget. Kayaknya efek aku kebangun mulu pas tidur semalem. Aku mimpi buruk dikejar-kejar hantu.”

Siska membekap mulutnya, matanya membelalak. “Kok sama. Aku juga akhir-akhir ini sering mimpi dikejar hantu, lho!”

“Oh, ya?”

Siska mengangguk penuh antusias. “Ternyata kita senasib.”

Hanum tertawa kecil. Siska menyahutnya dengan terbahak-bahak. “Ayo, kenalan sama temen-temen!”

Akhirnya Hanum mengangguk setuju lalu menurut saat gadis cantik berambut bob itu menarik tangannya ke tempat teman-teman berkumpul lesehan di depan kelas.

“Hai...” sapa Hanum lebih dulu.

Teman-teman saling pandang lalu berebut mengulurkan tangan. “Kamu Hanum, kan? Aku Janet!”

“Aku Valen!”

“Galuh!”

“Amran!”

Dan seterusnya. Hanum merasa dadanya tergelitik karena teman-teman yang dianggapnya dingin ternyata seru semua.

“Kamu bisa lihat hantu?” celetuk salah seorang anak laki-laki bernama Tiar.

Hanum seketika terdiam. Pikiran negatif kembali melandanya. Bingung harus menjawab apa yang kira-kira sesuai harapan teman-temannya. Namun Siska lebih dulu merangkul pundak Hanum. “Jangan tanya yang aneh-aneh. Jelas nggak bisa lihat lah dia. Kalo bisa pasti udah histeris dari pertama masuk sini.”

Teman-teman mengernyit. “Kok kamu bisa ngomong gitu, Sis? Emang kamu tahu apa?”

“Kata Kakakku yang lulusan sini sih sekolah ini angker buanget!”

“Hiii!!”

Bibir Hanum kembali tersenyum. Ia merasa sikap teman-temannya cukup lucu. “Aku nggak punya kemampuan bisa lihat hantu, kok.”

Begitulah pengakuan Hanum beberapa jam yang lalu. Nyatanya saat ini, setelah bel tanda pulang sekolah berbunyi, Hanum dibuat bergidik ngeri oleh satu penampakan siswa SMP dengan wajah hancur dan leher tengkleng ke samping yang berjalan pelan di belakang teman-teman.

Hanum hampir menangis saking takutnya. Nyaris pingsan pun sekuatnya ia tahan untuk tetap tersadar. Tak mau merepotkan teman lagi sekaligus takut dianggap gadis lemah hingga dijauhi oleh mereka. Kakinya lemas, ia hanya berdiri setengah membungkuk sambil bersandar di tiang luar kelas.

“Kamu kenapa nggak buruan ke depan?” Kedatangan Siska cukup mengagetkan.

Hanum segera membenahi postur berdirinya. “Aku―”

“Hanum!” Suara Nayla. Kemudian gadis itu merangkul Hanum dari belakang. “Makasih udah nungguin aku,” dustanya.

Hanum mengerjap beberapa kali, coba memahami situasi. Ia lirik Siska yang menatap heran ke arah Nayla. Lalu Hanum mengangguk-angguk. “Iya, Sis, aku nungguin Mbak ini.”

Siska maju lalu menarik bahu Hanum hingga lepas dari rangkulan Nayla. “Mbak ini yang waktu MPLS ngebimbing kelas kita, kan? Kulihat kamu mepetin Hanum mulu, Mbak. Jangan-jangan kamu mau malakin dia?”

“Pfft!” Nayla membekap mulutnya, menyembunyikan tawa. “Kamu kebanyakan nonton drakor, ya?”

“Nggak usah ngeles!”

“Nggak usah ngegas,” tukas Nayla dengan santainya. Ia beralih menatap Hanum. “Hari ini mau kuanter pulang lagi, nggak?”

Hanum tampak bingung. Tiba-tiba Siska menarik tangannya. “Kuanter, yuk! Di mana rumahmu? Nanti kasih tahu ke sopirku,” ujar Siska dengan tatapan memaksa.

“Kamu siapa sih sampe ngeyel kayak gini ke Hanum?” tanya Nayla. Ia mulai kesal karena gadis berambut bob itu mengintervensinya.

Siska menatap sinis pada Nayla. Kesal karena kakak kelas itu melupakan dirinya yang selama tiga hari MPLS cukup menonjol. “Aku Siska, temen sekelasnya.”

“Oh...” Nayla manggut-manggut. “Yang kemarin nganter Hanum ke UKS?”

“Iya. Kenapa?”

“Makasih, ya! Tapi cukup gitu aja dan sekarang biarin aku anter dia pulang.”

Hanum mulai cemas melihat dua gadis itu berdebat. Keringat dingin merembes di telapak tangan. Jantung berdegup tak karuan. Dilihatnya sesosok kuntilanak muncul dan mengintip dari balik pohon mangga di taman. “AAAKH!” jeritnya ketakutan.

“Hanum, kamu kenapa?”

Nayla dan Siska panik bersamaan. Hanum refleks mendekap erat lengan Nayla untuk menyembunyikan wajahnya. “Mbak Nayla, tolong anterin aku pulang sekarang juga!” desaknya.

Nayla terhenyak. Gelagat Hanum membuatnya merasa yakin bahwa anak itu melihat penampakan di sekitar mereka.

1
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
reska jaa
wahhh.. masih sempat up.. thank you👌
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
Yulia Lia
lanjut thoor
reska jaa
bagus cerita muu thour.. di lanjut 🥳🥳
n e u l: terima kasih /Pray/ siapp /Good//Smile/
total 1 replies
Lyvia
suwu thor u/ upnya, matrehat
n e u l: sami-sami /Pray/ matur suwun juga terus mengikuti
total 1 replies
Ali B.U
apa yang terjadi sama Pak Dirman.?

lanjut
n e u l: masih misteri ya pak /Joyful/
total 1 replies
Lyvia
lagi thor
Ali B.U
next.
Ali B.U
next
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
Yulia Lia
jangan2 Siska anak yg punya panti tempat kinar yg mau di jadiin tumbal ...nah lho thor
n e u l: identitas asli Siska ntar direveal /Sneer/ ikuti terus ya kak /Joyful/
total 1 replies
Ali B.U
next
Yulia Lia
lanjut thor
n e u l: siap! /Determined/ terima kasih /Smile/
total 1 replies
Ali B.U
is the best
Ali B.U: semoga semangat dalam berkarya
n e u l: matur tengkiyu pak ABU /Pray//Determined/
total 2 replies
Ali B.U
next
Ali B.U
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!